“Kekuasaan” Redaktur Sastra di Media Massa

PENCIPTAAN DAN PUBLIKASI KARYA SASTRA
Sudarmoko
harianhaluan.com

Kekuasaan arus utama yang digerakkan oleh redaktur sastranya ternyata masih berlangsung dan malah didukung oleh para pengarang.

Pertaruhan penciptaan karya sastra tidak hanya seka­dar estetika teks, namun juga sangat dipengaruhi oleh aspek lain di luar teks karya sastra. Sebabnya jelas, karya sastra tidak lahir dari dunianya sendiri, yang murni sastra, namun berkutat dan berjejaring dengan realitas di luar dirinya.

Pada tahapan yang paling sederhana, karya sastra misalnya berkelahi dengan bahasa yang menjadi medium utamanya. Pengucapan dengan pencarian bahasa ini menjadi tantangan yang pertama dihadapi oleh pengarang. Pada tahapan ini, bahasa juga tidak serta merta berdiri sendiri. Ia dipengaruhi oleh proses panjang kebahasaan yang terjadi dalam masyarakat. Belum lagi masalah politik bahasa yang saling bertikam dan saling mengunggulkan diri masing-masing. Kita dapat melihat, misalnya, bagaimana kata-kata daerah saling berebut untuk menggantikan term atau istilah yang sangat pesat, teruta­ma dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan.

Sampai pada tahapan ini pula, struktur dan gramatika bahasa Indonesia juga masih limbung menghadapi wacana yang hadir. Teknik narasi yang ada dalam cerpen-cerpen atau karya sastra secara umum sangat dipengaruhi oleh kerang­ka berpikir dan bertutur ma­sing-masing pengarang, lengkap dengan nuansa budaya masing-masing pengarang. Karena itu pulalah, kita akan sangat mudah menemukan nuansa budaya dari identitas budaya para pengarang kita. Pengarang yang berasal dari Jawa akan kentara kejawaannya dari karya-karya yang ditulisnya. Demikian juga dengan mereka yang berasal dari daerah lain. Tentu saja dengan pengecualian bagi sejumlah kecil pengarang yang berhasil mengatasi persoalan ini.

Perbedaan ini menjadi pelik ketika dihadapkan pada pengo­lahan estetika karya sastra, terutama dalam kaitannya dengan stilistika. Bagaimana peneliti bahasa mengungkapkan fenomena ini? Atau tidakkah ada usaha untuk melihat gejala ini dalam sebuah kerangka pembakuan bahasa Indonesia yang baik dan benar?

Hegemoni

Sementara para pengarang masing terbelenggu dengan masalah ini, persoalan yang tak kalah beratnya adalah masalah hegemoni komunitas dan jaringan dalam sastra Indonesia. Apa yang diungkapkan oleh Prasetyo Utomo (Sindo, Ming­gu 8/7/2007) merupakan per­so­alan klasik dan akan terus berlangsung. Kekhawatiran pada hegemoni jaringan dan media massa merupakan sebuah persoalan yang dilematis, walau juga sebenarnya mengandung hal yang positif. Kebebasan pengarang untuk berafiliasi atau mencari dukungan institusi merupakan hal yang lumrah dan bisa dipahami.

Ada baiknya kita melihat kekuatan jaringan dan media massa dalam konteks pengem­bangan strategi estetika dan juga lingkungan sosial sastra. Pada sisi strategi pengembangan estetika, kita melihat bagai­mana arus utama jaringan (komunitas) dan media massa memberikan warna dalam dunia sastra. Masing-masing media massa, dengan redaktur yang bertugas untuk rubrik sastranya, memiliki pandangan ideologi dan bentuk estetikanya masing-masing. Ini bersangkut paut dengan garis besar gerakan yang dibangun oleh media massanya. Untuk sejumlah media massa besar, kekuasaan arus utama yang digerakkan oleh redaktur sastranya ternyata masih berlangsung dan malah didukung oleh para pengarang. Dukungan ini dapat dilihat dari fenomena pengarang yang membaca kecenderungan esteti­ka dan mengirimkan karya-karya mereka yang sesuai dengan selera redaktur.

Bagi redaktur, mereka akan memilih sejumlah naskah dari tumpukan karya yang dikirim­kan para pengarang, yang sesuai dengan selera estetikanya. Maka kita akan melihat media massa yang menjaga para pengarang langganannya. Demikian juga dengan karya-karya pengarang yang sering menjadi langganan media massa tertentu. Apa yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah bahwa ternyata terjadi transaksi tidak resmi antara pengarang dan redaktur. Ini hanya dapat dipahami dalam kerangka berpikir yang terbuka dan realistis menghadapinya.

Kredit yang dapat diberikan pada Prasetyo Utomo adalah bahwa dia mengungkapkan bagaimana mengerasnya jari­ngan komunitas dan media massa dalam kesusastraan Indonesia sekarang. Pertikaian di luar masalah estetika men­jadi menonjol dan sering kali mengatasi masalah esetika sastra itu sendiri. Wacana yang dibangun dan disebarkan malah terfokus pada persoalan ini. Kita jadi bingung sendiri, apakah pembicaraan sastra yang demi­kian ini berguna dan penting dibandingkan dengan berbicara masalah teks sastra. Saya pikir, dengan membicarakan perso­alan di luar sastra, kita menjadi kehilangan arah dan fokus. Sementara teks sastra berjalan sendiri, dan hal-hal di luar sastra yang menjadi pendukung dalam pertumbuhan sastra malah merajai pembicaraan.

Ketegangan seperti ini tampaknya tidak berpengaruh secara signifikan bagi bangunan estetika teks sastra yang dikem­bangkan oleh para pengarang. Para pengarang tetap akan kembali ke ruangannya, untuk menulis karya-karya mereka. Ruangan yang sangat personal dan terbebas dari polusi hiruk pikuk hegemoni di luar sana. Setidaknya, saya melihat tidak munculnya nafas pertarungan yang eksplisit dari perkem­bangan wacana sastra (jaringan dan media massa) dalam karya-karya sastra yang ada.

Tema-tema karya sastra masih bergerak pada keter­tarikan masing-masing penga­rang. Dan keterlibatan penga­rang pada kehidupan riil sastra seperti komunitas dan seba­gainya malah menjadi ruang yang berbeda. Mungkin kea­daan seperti ini menjadi penye­garan artikulasi dan ekspresi pengarang dalam dunia kepe­ngarangannya. Seperti Gus tf, yang disinggung Prasetyo, untuk tidak terlibat pada komunitas tertentu, adalah menjadi sebuah pilihan. Saya pikir ini juga akan terjadi pada pengarang yang secara aktif menggerakkan komunitas dan terlibat dalam berbagai aktivitas sosial. Bisa jadi, pilihan seperti ini diper­lukan dalam proses kreatif masing-masing.

Estetika teks sastra dan aktivitas sosial dalam kondisi tertentu dapat saling mendu­kung. Komunitas sastra atau media massa juga dapat diguna­kan untuk mengarusutamakan sebuah gerakan estetika. Ge­rakan seperti ini biasanya didukung oleh pikiran-pikiran idealistik dan obsesi pada konsepsi yang ideal. Pobia pada gerakan komunitas, jaringan, atau kelompok ini memang dapat ditelusuri pada kekhawa­tiran masa lalu. Namun kita juga dapat memberikan penilai­an lain pada sejumlah kelom­pok seperti FLP, TUK, KSI, atau media massa, yang ternya­ta memberikan pengaruh yang penting dalam kehidupan sastra Indonesia.

Dan yang harus disadari juga adalah bahwa banyak penga­rang sastra Indonesia yang tidak memiliki atau secara sadar tidak terlibat atau berafiliasi pada kelompok tertentu. Meski ketika berupaya memublika­sikan karya-karya, mereka tetap akan berhadapan dengan masalah hegemoni estetika yang ada pada media massa. Namun untuk saat ini, kemana kita akan mencari ruang publikasi yang bersih dari masalah hegemoni ini? Bukan saja pada karya-karya kreatif, namun juga pada karya-karya akademis.

Atau mungkin saja pada diri pembaca juga terdapat hegemoni estetika, pada pilihan untuk membaca karya-karya pengarang tertentu, menafikan pengarang tertentu, atau apriori pada karya-karya tertentu. Benak dan nalar yang subversif ini seakan telah menjalar ke segala ruang sastra kita. Membelenggu dan menelikung keinginan yang bebas dan kreatif.

_____________23 Januari 2011
*) Sudarmoko, Visiting Lecturer di Hankuk University of Foreign Studies Korea.