Katrin Bandel *
http://boemipoetra.wordpress.com/
Berakhirnya Orde Baru membawa perubahan yang cukup berarti bagi dunia penerbitan di Indonesia. Antara lain, pasar buku kini diramaikan dengan berbagai macam buku yang pada zaman Orde Baru sulit atau tidak mungkin diterbitkan. Buku-buku lama yang disingkirkan penguasa kini diterbitkan kembali, buku-buku baru dengan tema yang sebelumnya dianggap tabu, bermunculan.
Salah satu jenis teks yang diterbitkan kembali adalah karya yang ditulis pada zaman kolonial dalam bahasa Melayu Lingua Franca (atau Melayu Rendah/ Melayu Pasar, yaitu bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa dagang dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari di Hindia Belanda – dalam esei ini, saya memilih menggunakan istilah yang dipakai Pramoedya Ananta Toer, yaitu “Melayu Lingua Franca”). Untuk beberapa di antaranya, alasan mengapa teks itu “terlupakan” sama sekali selama Orde Baru sangat mudah dilihat. Hikayat Kadiroen karya Semaoen (1920, diterbitkan kembali oleh penerbit Bentang pada tahun 2000) misalnya secara terang-terangan mempropagandakan ideologi Komunis, dan nama pengarangnya pun langsung terasosiasikan dengan Komunisme. Namun pada kebanyakan teks dari zaman kolonial yang diterbitkan ulang itu, alasan mengapa teks-teks itu tidak pernah diterbitkan dan dipelajari di masa Orde Baru, lebih sulit dicari. Cerita-cerita Melayu Lingua Franca dalam kumpulan Tempo Doeloe – Antologi Sastra Pra-Indonesia, misalnya, sama sekali tidak mengandung pesan ideologis yang dilarang penguasa seperti dalam Hikayat Kadiroen. Tampaknya kumpulan itu tidak boleh beredar pada masa Orde Baru semata-mata disebabkan oleh nama editor dan penulis pengantarnya, Pramoedya Ananta Toer.
Lalu bagaimana dengan teks-teks Melayu Lingua Franca yang dikumpulkan dan diterbitkan dalam antologi Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia? Antologi terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang konon direncanakan akan berjilid 25 itu (jilid 1 terbit tahun 2000, yang terbaru adalah jilid 9 yang terbit tahun 2005) mungkin memang tidak akan bisa digagas dan diterbitkan dalam bentuk seperti itu pada masa Orde Baru, yaitu dengan fokus khusus pada etnisitas Tionghoa. Meskipun begitu, tidak mudah untuk menilai apakah sebagian besar cerita Melayu Lingua Franca, baik yang ditulis oleh pengarang keturunan Tionghoa maupun oleh pengarang Indo atau pribumi, memang tidak mungkin diterbitkan ulang di bawah rezim Soeharto. Dengan isi yang menghindari isu-isu yang dianggap tabu dan tanpa keterlibatan orang-orang yang dimusuhi penguasa, barangkali penerbitan ulang teks Melayu Lingua Franca tidak akan dianggap berbahaya sama sekali. Pengaruh kekuasaan sensor pun tidak bisa sepenuhnya dijadikan penjelasan mengapa perhatian pada teks-teks Melayu Lingua Franca demikian kecil pada masa Orde Baru.
Kalau kita membayangkan bahwa teks-teks yang kita baca dalam antologi Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (selanjutnya akan disingkat menjadi KMTKI) adalah teks-teks yang lama disimpan dengan keinginan kuat untuk diterbitkan namun terpaksa ditunda karena tekanan dari penguasa, saya rasa kita keliru. Tampaknya kecuali Pramoedya dan segelintir orang lain, selama puluhan tahun tidak ada yang merasa tertarik untuk menggali teks-teks lama itu, misalnya untuk mempertanyakan kedudukan novel-novel Balai Pustaka sebagai karya sastra Indonesia yang paling awal, atau untuk membahasnya sebagai representasi masyarakat kolonial dari kaca mata yang berbeda daripada buku terbitan penerbit kolonial tersebut.
Mengapa situasi itu kini berubah? Penerbitan ulang karya-karya “Melayu Tionghoa” dalam bentuk seri-antologi oleh KPG merupakan proyek yang cukup besar. Apa latar belakang proyek ini? Mengapa tulisan-tulisan yang judul dan nama pengarangnya hampir tidak pernah kita dengar dalam pelajaran sejarah sastra Indonesia itu kini tiba-tiba diterbitkan ulang – bahkan diterbitkan dalam edisi yang cukup luks oleh penerbit besar yang mapan? Dalam pengantar berjudul “Sekapur Sirih” yang ditulis oleh “redaksi” (nama tidak disebutkan) di bagian depan setiap jilid antologi KMTKI, gagasan untuk menerbitkan ulang karya-karya lama itu selalu dikaitkan dengan situasi sosial-politik keturunan Tionghoa di Indonesia. Tekanan dan kekerasan terhadap keturunan Tionghoa dikecam, kebebasan baru untuk mengekspresikan budaya Tionghoa sejak reformasi disambut, tapi dinyatakan belum mencukupi. Dalam situasi seperti itu, pengakuan terhadap keterlibatan keturunan Tionghoa dalam sejarah Indonesia, termasuk di bidang sastra, dirasakan akan besar manfaatnya. Demikian kira-kira argumentasi yang diberikan dalam tulisan “Sekapur Sirih” tersebut.
Usaha untuk mengekspresikan identitas budaya yang lama tertekan tentu tidak ada salahnya. Penerbitan ulang karya-karya yang selama ini kurang dikenal, saya pandang sebagai pekerjaan yang sangat berguna dan menarik. Dan bahwa peran keturunan Tionghoa dalam sejarah Indonesia perlu lebih banyak diperhatikan dan dibahas, tentu juga dapat diterima. Namun setelah membaca ke-9 jilid KMTKI yang telah terbit, saya mendapat kesan bahwa antusiasme untuk memberi pengakuan pada “jasa” keturunan Tionghoa tidak sepenuhnya berdampak positif. Antusiasme itu tampak berlebihan sehingga mengurangi ketelitian dalam menilai teks-teks lama yang diterbitkan ulang. Kepentingan politik-budaya tersebut membawa tendensi yang bagi saya terasa terlalu kental dan ceroboh ke dalam proyek penerbitan antologi KMTKI. Tendensi dan kecerobohan seperti apa yang saya maksudkan akan saya jelaskan di bawah.
***
Saya ingin memulai dengan judul antologi. Judul itu mengundang sejumlah pertanyaan, mungkin juga kebingungan. Kata pertama saja sudah terasa janggal: apa yang dimaksudkan dengan kata “kesastraan”? Sejauh yang saya tahu, kata itu berarti “sifat sastra” (“literariness” dalam bahasa Inggris). Kalau kita berbicara tentang kesastraan sebuah teks, yang dimaksudkan adalah kekhasan-kekhasan estetik/artistik yang membuat teks itu pantas disebut “sastra”. Tapi dari pengantar antologi itu (“Sekapur Sirih”) kita mendapat informasi bahwa “kesastraan” ternyata dimaksudkan sebagai terjemahan kata “literature”, seperti yang terlihat antara lain dalam kalimat berikut:
“Pada 1977, John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Auckland tentang apa yang disebutnya Kesastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay Literature).”
Kata yang lazim digunakan sebagai terjemahan “literature” adalah “sastra” atau “kesusastraan”. Mengapa bukan istilah “Sastra Melayu Tionghoa” saja yang dipakai? Atau kalau memang ada kesengajaan dan maksud tertentu dalam pilihan kata itu, mengapa tidak ada penjelasan sama sekali mengenai hal tersebut?
Terlepas dari penggunaan kata “kesastraan” yang tidak lazim itu, istilah “Kesastraan Melayu Tionghoa” tetap mengundang pertanyaan. Apakah “Melayu Tionghoa” itu? Campuran Melayu dan Tionghoa? Atau Melayu yang Tionghoa? Dan istilah itu merujuk pada apa: Pada etnisitas pengarang, pada isi dan bentuk karya, atau pada bahasa yang digunakan?
Jenis sastra itu, begitu yang disampaikan oleh kelanjutan judul, punya hubungan dengan “kebangsaan Indonesia”. Hal ini pun mengundang sejumlah pertanyaan. Bukankah pada saat karya-karya dalam antologi itu ditulis negara “Indonesia” belum lahir? Dalam konteks itu, apa yang dimaksudkan dengan “kebangsaan Indonesia”? Apakah judul itu ingin menyampaikan bahwa ada semacam “semangat Indonesia” dalam teks-teks lama itu, meskipun bangsa Indonesia belum merdeka pada waktu itu? Atau mungkin “kebangsaan Indonesia” yang dimaksud adalah rasa kebangsaan warganegara Indonesia sejak kemerdekaan sampai sekarang, yang ingin dihubungkan dengan pengakuan terhadap teks-teks lama yang ditulis oleh pengarang keturunan Tionghoa itu?
Persoalan bertambah rumit kalau kita mempertimbangkan bahwa pada masa teks-teks itu ditulis, kata “bangsa” masih memiliki arti yang berbeda, yaitu kira-kira sama dengan “ras”. Yang dimaksudkan dengan istilah “bangsa Indonesier” dalam beberapa teks di antologi itu (misalnya Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay, KMTKI Jilid 3, hlm. 723) adalah pribumi yang pada masa itu (dan dalam teks-teks tersebut) dipahami sebagai tidak “sebangsa” dengan orang Tionghoa dan orang Eropa. Maka misalnya dalam Cerita Nyai Soemirah karya Thio Tjin Boen, seorang gadis Jawa yang jatuh cinta pada laki-laki Tionghoa ditegur oleh ibunya bahwa “perampuan bumiputra yang ikut lain bangsa, adalah orang yang tida baik” (KMTKI Jilid 2, hlm. 54). Contoh ini menunjukkan bahwa istilah “bangsa” mengalami perubahan makna yang sangat signifikan dari masa teks-teks lama dalam antologi itu ditulis sampai masa sekarang, saat teks-teks tersebut diterbitkan ulang dalam bentuk seri KMTKI. Konsep “bangsa” yang mana yang dimaksudkan dalam judul antologi?
Tentu tidak dapat dikatakan buruk bila sebuah judul menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Sebaliknya, hal itu sudah biasa terjadi: judul sebuah tulisan sering dengan sengaja diciptakan untuk membuat pembaca bertanya-tanya, menimbulkan rasa ingin tahu. Namun ekspektasi pembaca yang diciptakan judul semacam itu tentu memiliki efek: kalau tulisan ternyata tidak memuaskan rasa ingin tahu yang ditimbulkan oleh judulnya, pembaca tentu akan kecewa. Judul Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia bagi saya terkesan agak janggal sebagai judul sebuah antologi karya sastra. Sebuah tulisan dengan judul semacam itu kita harapkan akan memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah-istilah “Kesastraan Melayu Tionghoa” dan “kebangsaan Indonesia”, dan apa hubungan antara keduanya. Untuk menjelaskan semua itu, begitu yang saya bayangkan, dibutuhkan studi yang mendalam dan cukup panjang. Apakah penjelasan semacam itu mungkin diberikan oleh sebuah antologi teks-teks lama dengan pengantar-pengantar yang serba pendek seadanya saja?
Setelah membaca pengantar-pengantar KMTKI, ternyatalah bahwa penjelasan yang memuaskan tidak berhasil diberikan. Konsep dan tujuan antologi, definisi istilah “Kesastraan Melayu Tionghoa”, hubungannya dengan “kebangsaan Indonesia” – semua itu tinggal rancu dan tidak pasti. Akibatnya, bagi saya judul itu terkesan sebagai semacam asumsi yang tidak (bisa) dibuktikan.
***
Apa sebenarnya yang ingin dicapai lewat penerbitan antologi KMTKI? Dalam pengantar “Sekapur Sirih” dijelaskan bahwa “kepeloporan [Peranakan Tionghoa] dalam proses kebangsaan Indonesia melalui perkembangan Kesastraan Melayu Tionghoa” selama ini kurang mendapat pengakuan.
“Sekali pun kesastraan ini sudah ada sejak 1870, hingga detik ini, kesastraan Indonesia modern tetap masih dianggap baru mulai pada akhir Perang Dunia I, yaitu 1918, ketika Balai Pustaka membentuk Dewan Redaksi untuk mendorong kegiatan menulis di kalangan orang Indonesia dan untuk menyaring tulisan mereka itu.”
Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa tujuan penerbitan adalah untuk menuntut agar sekian banyak karya yang selama ini dilupakan, diakui sebagai bagian dari sastra Indonesia. Yang dimaksudkan tampaknya terutama pengakuan sebagai karya yang bernilai “sastra”, maka ada perbandingan dengan terbitan Balai Pustaka yang selama ini dianggap sebagai karya sastra Indonesia yang paling awal.
Namun di bagian akhir pengantar singkat itu terdapat keterangan yang berlawanan:
“Pemilihan bahan dilakukan berdasarkan kadar dokumentasi sejarah yang terkandung di dalam setiap tulisan. Setiap tulisan yang dipilih dinilai dapat menunjukkan peranan masyarakat Peranakan Tionghoa dalam proses terbentuknya kebangsaan Indonesia.”
Apakah karya dipilih terutama karena nilai kesastraannya atau sebagai dokumen sejarah? Bukankah sangat mungkin bahwa ada tulisan yang menarik sebagai karya sastra, tapi tidak mengandung informasi mengenai “peranan masyarakat Peranakan Tionghoa dalam proses terbentuknya kebangsaan Indonesia”, atau sebaliknya, bahwa ada tulisan yang menarik sebagai dokumen sejarah, tapi kurang bernilai sebagai karya sastra? Mengapa kemungkinan itu sama sekali tidak dipertimbangkan, dan kedua keterangan yang berlawanan mengenai tujuan penerbitan dan pemilihan karya begitu saja dihadirkan bersama-sama seakan-akan tidak ada persoalan?
Ketidaktegasan mengenai kriteria pemilihan karya tersebut mewarnai seluruh antologi. Di satu sisi ada usaha untuk mempresentasikan teks-teks “Melayu Tionghoa” sebagai karya sastra yang bermutu, misalnya dalam pengantar Jilid 3 (Drama di Boven Digoel) yang ditulis oleh “Prof. Liang Liji”:
“Bagi saya novel ini memang merupakan adikarya yang mutunya menandingi novel Abdul Muis, Salah Asuhan, yang diterbitkan dalam kurun waktu yang sama.” (KMTKI Jilid 3, hlm. XXI)
Di sisi lain, di KMTKI Jilid 1 terdapat dua teks yang jelas-jelas bukan karya sastra, yaitu sebuah “kitab eja” yang tampaknya disusun sebagai bahan pelajaran anak-anak sekolah, dan teks Riwayatnya Satu Bokser “Tionghoa” yang berisi kisah hidup seorang petinju yang terkenal pada masa itu dan berbagai informasi dan ulasan mengenai olahraga tinju. Anehnya, dalam pengantarnya, Myra Sidharta hanya memberikan keterangan singkat mengenai kedua teks itu, dan status teks yang bukan karya sastra tapi dimuat dalam sebuah antologi berjudul Kesastraan Melayu Tionghoa itu, sama sekali tidak dipersoalkannya. Hal yang sama juga berlaku untuk teks Ruma Sekola Yang Saya Impiken karya Kwee Tek Hoay dalam KMTKI Jilid 2, yaitu semacam renungan mengenai konsep pendidikan yang ideal, dan untuk Berkahnya Malaise dan Atsal Mulahnya Timbul Pergerakan Tionghoa yang Modern di Indonesia dari pengarang yang sama di KMTKI Jilid 4 yang disebut sebagai “karya non-fiksi” dalam pengantar (hlm. VI), tapi sekali lagi tanpa penjelasan mengenai status teks tersebut. Status keempat biografi dalam KMTKI Jilid 5 yang diberi sub-judul “Riwayat Empat Tokoh Tionghoa Masa Lalu” pun dapat dipertanyakan atas dasar yang sama.
Pemilihan tulisan merupakan persoalan yang sama sekali tidak sepele untuk proyek penerbitan ulang sejenis KMTKI. Dalam pengantar “Sekapur Sirih” disebutkan bahwa “menurut Claudine Salmon […] selama hampir 100 tahun (1870-1960) Kesastraan Melayu Tionghoa melibatkan 806 penulis yang menghasilkan 3005 karya”. Sebagian – tepatnya 992 karya – dari jumlah yang sangat besar itu merupakan karya terjemahan. Hal ini tidak disebutkan dalam “Sekapur Sirih”, tapi dapat kita ketahui dari buku Salmon Literature in Malay by the Chinese of Indonesia (1981). Seandainyapun terjemahan kita kecualikan, tetap jumlah karya lebih dari 2000. Dapat dibayangkan bahwa memilih di antara bahan yang begitu banyak tentu bukan pekerjaan yang mudah. Tanggung jawab redaksi/penyunting luar biasa besar karena, berbeda dari penyusunan antologi karya yang sudah pernah diterbitkan sebelumnya seperti Cerpen Pilihan KOMPAS, kebanyakan pembaca dapat diperkirakan tidak memiliki akses lain terhadap (belum pernah membaca) teks-teks lama itu, sehingga pembaca tergantung penuh pada kemampuan redaksi dan penyunting untuk memilih karya yang paling layak dibaca. Dalam situasi seperti itu, bukankah sudah sewajarnya pembaca diberi penjelasan yang memadai mengenai prosedur dan kriteria pemilihan karya?
Justru penjelasan semacam itu tidak diberikan. Apakah penyunting KMTKI memang sudah membaca semua karya yang terdapat dalam daftar Claudine Salmon? Atau, paling tidak, mempunyai akses terhadap semua karya itu? Bagaimana cara/kriteria menyeleksinya? Satu-satunya informasi yang diberikan dalam “Sekapur Sirih” adalah:
“Sebanyak 15.000 halaman sudah dipilih, dan diperkirakan akan terbit dalam 25 jilid.”
Keterangan yang sama sekali tidak memadai ini pun kemudian terpaksa kita ragukan lagi. Kalimat di atas menimbulkan kesan bahwa isi ke-25 jilid itu sudah dipilih dan disiapkan. Namun mengapa dalam pengantar singkat jilid 2 alasan yang diberikan atas keterlambatan terbitnya jilid itu justru adalah “sulitnya mencari bahan”?
“Beberapa judul yang dimuat di buku ini boleh dibilang tidak dapat ditemukan di berbagai perpustakaan maupun koleksi pribadi di Indonesia. Kalau pun ada, biasanya jumlah halamannya tidak lengkap atau kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk digandakan. Jilid kedua Dengan Duwa Cent Jadi Kaya, misalnya, bisa kami peroleh berkat budi baik Ibu Claudine Salmon, ahli Melayu Tionghoa dari Perancis.” (KMTKI Jilid 2, hlm. VII-VIII)
Ternyata bahan bukannya sudah (di)siap(kan), malah harus dicari (dan dipilih?) pada saat jilid terbaru akan diterbitkan. Hal itu menjadi lebih jelas lagi dari keterangan dalam pengantar jilid 5 bahwa karya yang dimuat dalam jilid itu dipilih justru atas usulan dari seorang pembaca! Karena itu, bisa diduga, tidak terdapat kerjasama yang erat dan permanen antara penyunting/penerbit dengan Claudine Salmon yang bisa dipastikan memiliki akses yang baik terhadap bahan-bahan yang dibutuhkan. Dengan adanya informasi yang berlawanan dalam pengantar-pengantar singkat dan dalam pengantar berjudul “Sekapur Sirih” itu, proses seleksi karya menjadi semakin tidak jelas.
Semua ini membuat saya tidak yakin bahwa pilihan teks-teks Melayu Lingua Franca dalam antologi KMTKI memang representatif. (Kata “representatif” pun agak ragu saya gunakan, sebab tidak ada penjelasan yang memuaskan tentang maksud dan tujuan KMTKI, sehingga kita tidak tahu apa yang ingin direpresentasikan.) Jangan-jangan karya dipilih secara “ngawur” saja alias tanpa kriteria. Kecurigaan itu semakin dikuatkan oleh kenyataan bahwa dalam beberapa hal lain pun tampaknya penyunting/redaksi tidak bekerja dengan teliti dan serius.
Persoalan pertama adalah catatan kaki dengan penjelasan kata yang terdapat pada semua jilid KMTKI. Catatan semacam itu memang sangat diperlukan sebab teks-teks lama itu mengandung banyak kata dan istilah yang tidak digunakan lagi dalam bahasa Indonesia masa kini. Namun sayang catatan kaki tersebut kurang lengkap dan kurang memuaskan. Yang diberikan hanyalah terjemahan kata ke dalam bahasa Indonesia, tanpa keterangan tentang etimologi. Padahal asal-kata tidak selalu jelas. Misalnya di jilid 6 dalam cerita Berjuang karya Liem Khing Hoo terdapat kata “becik” yang diberi catatan kaki “Becik = baik” (hlm. 126). Dari bahasa apakah kata “becik” itu berasal? Kebetulan saya tahu bahwa dalam bahasa Bali pun “becik” berarti baik. Apakah mungkin kata “becik” di sini berasal dari bahasa Bali? Atau “becik” itu dari bahasa Betawi, yang konon banyak dipengaruhi bahasa Bali? Keingintahuan saya mengenai hal itu tidak terjawab.
Kadang-kadang penjelasan kata terlupakan atau terlambat (setelah sebuah kata beberapa kali digunakan, baru diberi terjemahan). Masih dalam cerita yang sama di KMTKI Jilid 6 misalnya terdapat kalimat sebagai berikut: “Maka, bukankah kita punya cara ko-ka-ti cuma-cuma buat merusak keadahan diri sendiri, kerna siahwee rusak pun berarti kita punya rusak?” (hlm. 127), tanpa penjelasan tentang arti kata “ko-ka-ti” dan “siahwee”. Dalam daftar kata di bagian belakang buku itu pun tidak terdapat penjelasan. Di samping itu kadang-kadang cara pemberian penjelasan tidak konsisten. Pada ungkapan bahwa “di itu waktu ‘Prang Dunia’ (Perang Dunia I) ada sangat hebat” dalam cerita Harta yang Terpendam (KMTKI Jilid 7, hlm. 426) keterangan tiba-tiba diberikan dalam kurung di tengah teks (jadi bukan sebagai catatan kaki seperti biasanya). Bahwa “(Perang Dunia I)” merupakan keterangan yang ditambahkan redaksi/penyunting hanya bisa kita simpulkan dari adanya anakronisme yang tidak masuk akal: bagaimana mungkin keterangan semacam itu terdapat dalam sebuah teks yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1928 di waktu perang dunia yang ke-2 belum ada bahkan tidak terbayangkan!
Beberapa penjelasan kata bahkan salah sama sekali. Dalam novel Pendekar dari Chapei (KMTKI Jilid 8 ) misalnya kata Belanda “bestuur” beberapa kali diterjemahkan sebagai “pemerintah”. Padahal kata itu digunakan dalam pembicaraan tentang sebuah perkumpulan Tionghoa, Peng Yoe Hwee. Jelas yang dimaksudkan dengan “bestuur dan leden Peng Yoe Hwee” (hlm. 11) bukanlah “pemerintah dan anggota Peng Yoe Hwee”, tapi “pimpinan dan anggota Peng Yoe Hwee”. Dan kata “lid bestuur” yang digunakan dalam konteks yang sama (hlm. 16) tidak tepat diartikan “pejabat pemerintah”, melainkan “anggota pimpinan”.
Sangat besar kontras antara keterangan kata dalam antologi KMTKI dengan keterangan yang serupa dalam buku Tempo Doeloe yang dieditori Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku Tempo Doeloe bukan saja penjelasan kata dilengkapi dengan keterangan tentang etimologi, berbagai informasi tambahan yang menarik dan bermanfaat pun diberikan. Misalnya salah satu catatan untuk cerita “Dari Boedak Sampe Djadi Radja” yang merupakan terjemahan karya Melati Van Java ke dalam bahasa Melayu Lingua Franca oleh F. Wiggers, berbunyi:
“pasar gambir, pasar malam tahunan di Betawi. Waktu cerita terjadi di Betawi belum ada pasar gambir. Kekeliruan anakronik ini berasal dari terjemahan F. Wiggers.” (Tempo Doeloe, hlm. 331)
Selain menunjukkan betapa Pramoedya menaruh perhatian pada segala macam detil cerita yang dieditorinya, catatan ini juga membuktikan bahwa Pramoedya sangat teliti dan tidak takut lelah dalam mencari informasi dan mempelajari latar belakang cerita-cerita tersebut: dia membaca versi cerita dalam bahasa asli dan membandingkannya dengan terjemahan, dan melakukan riset sejarah tentang sesuatu yang disebut dalam cerita.
Hal kedua yang tampaknya dilakukan dengan kurang teliti dan serius adalah penyesuaian ejaan. Alasan mengapa teks lama itu tidak diterbitkan ulang dengan ejaan asli adalah agar “dapat membuat cerita-cerita ini menjadi lebih menarik bagi pembaca masa kini” (pengantar Myra Sidharta, KMTKI Jilid 1, hlm. XVII). Menurut keterangan yang diberikan Myra Sidharta dalam pengantarnya itu, “penyesuaian ejaan ini memang tidak tanpa masalah, karena ternyata tidak saja ejaannya yang berbeda tetapi juga penggunaan kata-kata dan cara si penulis menginterpretasikan bunyi sesuatu kata menjadi kata yang ditulis dengan huruf, misalnya “dia” ditulis sebagai “dija”, atau “yang” ditulis sebagai “njang”” (hal. XVI-XVII). Dari keterangan singkat ini kita tidak memperoleh informasi lengkap mengenai penyesuaian ejaan yang dilakukan, kecuali bahwa ada persoalan teks yang lebih rumit daripada sekedar penyesuaian ejaan seperti pada kasus buku-buku lama terbitan Balai Pustaka dan sebagainya (“oe” menjadi “u”, “tj” menjadi “c”, “dj” menjadi “j”, “j” menjadi “y” dan beberapa perubahan kecil lainnya). Tapi untuk proyek penerbitan sebesar ini, bukankah sudah sangat wajar kalau penyunting buku memberikan keterangan lengkap tentang penyesuaian yang dilakukan agar pembaca juga tahu ejaan aslinya seperti apa yang tentu akan menambah nikmatnya pembacaan?
Penyesuaian ejaan itu menimbulkan kejanggalan dalam Kitab Eja A.B.C. karangan Lie Kim Hok (1884). Penjelasan mengenai ejaan yang diberikan dalam kitab ini banyak yang menjadi “tidak nyambung” karena ejaan sudah diganti, misalnya pada keterangan bahwa “[h]uruf j, ny, c, ng, dan k, masing-masing […] terpandang […] seperti satu huruf saja” (KMTKI Jilid 1, hlm. 61). Menurut pandangan saya, kalau teks semacam ini memang dianggap perlu diterbitkan dalam antologi KMTKI, seharusnya ejaan asli saja yang digunakan. Bukankah teks itu justru dimuat untuk menunjukkan bahwa pada zaman itu ada keturunan Tionghoa yang mempunyai perhatian terhadap ejaan bahasa Melayu sehingga membuat kitab untuk “memberi pelajaran cara mengeja kata-kata bahasa Melayu” (pengantar Myra Sidharta, hlm. XVII)? Lalu apa manfaat teks tersebut kalau cara mengejanya sendiri tidak sesuai dengan aslinya?
Siapakah pembaca yang dibayangkan oleh redaksi antologi KMTKI? Kekurangtelitian dalam hal penjelasan kata dan penyesuaian ejaan menimbulkan kesan bahwa seri-antologi ini dibuat bukan untuk orang yang memiliki minat yang serius pada sastra dan bahasa. Namun di sisi lain, bukankah dengan adanya keinginan untuk menuntut pengakuan atas “Kesastraan Melayu Tionghoa” sebagai bagian yang sah dari sastra Indonesia, seperti yang diungkapkan dalam “Sekapur Sirih” dan dalam pengantar-pengantar yang lain, pembaca yang dituju seharusnya terutama orang yang punya perhatian khusus pada sastra Indonesia, yaitu peneliti, pengamat, dosen dan mahasiswa sastra Indonesia, termasuk sastrawan tentunya?
Tampaknya masih ada jenis pembaca lain yang tertarik pada KMTKI, yaitu mereka yang mengenal teks-teks “Melayu Tionghoa” pada masa mudanya dan kini ingin bernostalgia dengan membacanya kembali. Dalam pengantar KMTKI Jilid 2 terdapat anekdot berikut ini:
“Sekitar Oktober lalu, seorang pensiunan perusahaan konsultan asing berkunjung ke kantor mengeluh belum menjumpai KMTKI Jilid 2 di beberapa toko buku langganannya. Tak kuat menahan kerinduan untuk menikmati kembali cerita-cerita “tempo doeloe”, bapak itu mendesak untuk memperoleh foto kopi naskah-naskah yang kami miliki.” (KMTKI Jilid 2, hlm. VII)
Meskipun nostalgia seperti ini merupakan fenomena yang menarik, pasti bukan kalangan pembaca semacam itulah yang diharapkan. Lalu siapakah pembaca yang diharapkan itu? Dalam pengantar jilid 9, yaitu jilid yang terbaru, terdapat penjelasan seperti ini:
“Berbeda dari jilid sebelumnya, mulai edisi ini, buku dicetak terbatas dan bersampul tebal (hardcover). Perubahan ini dilakukan setelah kami melihat bahwa penggemar buku ini masih terbatas jumlahnya. Kalangan muda yang semula diharapkan akan membaca seri ini tampaknya belum banyak yang berminat. Alasan lain yang tidak kalah penting adalah dukungan yang senantiasa Anda berikan, terutama ketika gagasan perubahan ini kami lontarkan.” (KMTKI Jilid 9, hal. VI)
Perubahan lain yang tidak disebut adalah bahwa jilid 9 lebih tipis daripada jilid-jilid sebelumnya, yaitu hanya setebal 355 halaman (tebal jilid sebelumnya antara 467 sampai 761 halaman). Apa maksud penjelasan itu? Siapakah “kalangan muda” yang ternyata tidak berminat membeli KMTKI, dan siapa pembaca yang disapa dengan “Anda” di sini? Pembaca yang mestinya menjadi sasaran utama agar cita-cita untuk mengubah penulisan sejarah sastra Indonesia terwujud, yaitu sastrawan, pengamat, kritikus, peneliti, dosen dan mahasiswa sastra Indonesia, mungkin tidak semuanya dapat disebut “kalangan muda”, namun sebagian besar dapat disebut “kalangan tak berduit”. Lalu mengapa perubahan yang dilakukan justu memilih bentuk yang lebih mahal – padahal jilid-jilid yang bukan hardcover saja sudah cukup mahal! Apakah redaksi sudah putus asa sehingga memilih melanjutkan seri tersebut sekadar untuk kalangan bapak-bapak berduit yang ingin bernostalgia?
***
Seperti yang telah saya tunjukkan, dari segi editorial (pemilihan teks, penjelasan kata, penyesuaian ejaan) KMTKI tampaknya disusun dengan kurang serius. Tapi teks-teks lama yang dipilih dan ditampilkan sekenanya itu dibingkai dengan berbagai klaim yang cukup kontroversial dalam pengantar-pengantarnya. Selain “Sekapur Sirih” yang disertakan dalam setiap jilid (tulisan itu terus-menerus digunakan tanpa perubahan, sehingga di jilid 9 pun masih juga kita membaca bahwa “jilid pertama, misalnya, akan memuat tujuh dokumen, mulai dengan ‘Sair Kadatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (1870)’”!), setiap jilid (kecuali jilid pertama) diberi pengantar singkat (2-4 halaman), dan 6 di antara ke-9 jilid diberi esei pengantar yang agak lebih panjang, ditulis oleh Myra Sidharta (jilid 1, 2 dan 5), Liang Liji (jilid 3) dan Ibnu Wahyudi (jilid 4 dan 7). Berikut ini saya ingin membahas beberapa klaim mengenai posisi dan peran “Kesastraan Melayu Tionghoa” yang terdapat dalam pengantar-pengantar itu.
1. “Melayu Tionghoa” sebagai bahasa
Dalam pengantar singkat KMTKI Jilid 2 kita diberi keterangan seperti berikut:
“mulai edisi ini kami akan melampirkan daftar kata (glossary). Daftar kata tersebut akan terus ditambahkan pada jilid-jilid berikutnya, sehingga diharapkan bisa menjadi semacam kamus singkat Melayu Tionghoa.” (hlm. VIII)
Daftar kata yang dimaksud terdiri dari semua kata yang juga dijelaskan dalam catatan kaki, disusun menurut abjad, yaitu segala macam kata yang tidak digunakan dalam bahasa Indonesia masa kini sehingga dirasakan perlu diberi penjelasan. Karena keterangan tentang etimologi tidak ada, kita sulit mengetahui kata-kata itu berasal dari bahasa apa saja. Namun yang diberi keterangan terutama kata-kata dari bahasa Belanda, bahasa Tionghoa, beberapa bahasa daerah (Nusantara) dan kata-kata Melayu yang tidak lazim lagi digunakan pada zaman sekarang atau yang ejaannya telah berubah. Apa maksud istilah “kamus singkat Melayu Tionghoa” untuk daftar semacam itu? Kalau ada “kamus singkat Melayu Tionghoa”, apakah itu berarti ada yang disebut “bahasa Melayu Tionghoa”? Tampaknya Myra Sidharta memang beranggapan demikian. Dia menggunakan istilah itu dalam keterangan singkatnya mengenai Lie Kim Hok, pengarang Kitab Eja A.B.C, yang konon “sering disebut sebagai pelopor Bahasa Melayu Tionghoa” (KMTKI Jilid 1, hlm. XVII). Lebih jauh dia mengatakan mengenai bahasa yang digunakan oleh Peranakan Tionghoa:
“Bahasa mereka [i.e. kaum Peranakan Tionghoa] sebelum Kemerdekaan Indonesia merupakan campuran bahasa Melayu dengan bahasa Tionghoa, umumnya dengan dialek Fujian atau Hokkian. Dalam sastra mereka, yang ditulis dalam bahasa lisan sehari-hari, terdapat juga kata-kata dalam bahasa Jawa atau dialek [sic] setempat lainnya, seperti Sunda, bahkan seringkali Belanda.” (KMTKI Jilid 1, hlm. XIII, dan Jilid 2, hlm. XV – bagian pertama kedua pengantar itu sama)
Kesan yang ditimbulkan oleh penjelasan ini adalah bahwa kaum Peranakan Tionghoa di Hindia Belanda memiliki bahasa sendiri, yaitu sebuah bahasa campuran yang hanya digunakan dan dipahami oleh kalangan mereka sendiri. Namun setelah membaca karya-karya mereka dalam antologi KMTKI, saya berkesimpulan bahwa bahasa khas Peranakan Tionghoa semacam itu tidak pernah ada, atau paling tidak, tidak ada secara tertulis dalam teks-teks yang diterbitkan mereka. Tulisan mereka berbahasa Melayu Lingua Franca, tanpa perbedaan yang signifikan dari teks Melayu Lingua Franca yang ditulis oleh anggota kelompok etnis lain. Memang kata-pinjaman dari bahasa Tionghoa berjumlah lebih banyak pada karya Peranakan Tionghoa daripada pada karya penulis Indo atau pribumi. Tapi secara umum penggunaan kata dari bahasa Tionghoa sangat terbatas, kira-kira sebanding misalnya dengan penggunaan bahasa Jawa dalam Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari atau bahasa Dayak Benuaq dalam novel Upacara karya Korrie Layun Rampan – bukankah bahasa mereka tidak pernah kita sebut “Indonesia Jawa” atau “Indonesia Dayak”? Di antara kata yang dijelaskan dalam daftar kata di akhir KMTKI Jilid 2, misalnya, terdapat kurang dari 50 kata Tionghoa, sedangkan kata-pinjaman dari bahasa Belanda berjumlah lebih dari 130. Berdasarkan fakta ini, tidak tepat kalau kita bicara tentang sebuah “bahasa Melayu Tionghoa” di sini.
Myra Sidharta kemudian menyebut bahasa Jiddish sebagai perbandingan, yaitu “bahasa campuran Jerman dengan Yahudi yang dipakai oleh orang Yahudi yang hidup dalam pengasingan di Eropa” (KMTKI Jilid 1, hlm. XIV dan Jilid 2, hlm. XV). Secara sekilas memang ada kemiripan antara situasi orang Yahudi dan orang Tionghoa yang sama-sama menjadi perantau di seluruh dunia. Namun dalam soal bahasa perbandingan itu justru tidak mengena. Jiddish merupakan sebuah bahasa campuran antara bahasa Ibrani dengan berbagai bahasa Eropa yang hanya digunakan antar sesama orang Yahudi perantauan, tidak digunakan dan dipahami etnis lain, sedangkan bahasa Melayu yang digunakan orang Tionghoa pada zaman kolonial di Nusantara adalah sebuah lingua franca yang digunakan sebagai alat komunikasi antar-etnis, tapi tidak dipahami orang Tionghoa di luar “Nusantara”.
Dalam bukunya yang sering disebut sebagai studi awal yang mendasar mengenai karya sastra Melayu yang ditulis keturunan Tionghoa, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a provisional annotated bibliography (1981), Claudine Salmon pun membahas persoalan bahasa itu (hlm. 115-122). Menurut pandangannya, tidak terbukti adanya sebuah bahasa atau dialek tersendiri yang dapat disebut “bahasa Melayu Tionghoa”. Bahasa yang digunakan orang Tionghoa adalah bahasa Melayu yang lazim digunakan oleh anggota berbagai macam kelompok etnis sebagai lingua franca pada masa itu, yaitu bahasa yang pada masa itu umumnya disebut “Melayu Rendah”.
Menurut keterangan Salmon, istilah “Melayu Tionghoa” memang sudah sempat dilontarkan pada tahun 20an dan 30an: Kwee Kek Beng pada tahun 1923 mengatakan bahwa bahasa “Melayu Tionghoa” harus dibedakan dari bahasa Melayu yang digunakan pribumi, sebab banyak menggunakan istilah dari bahasa Tionghoa dan berbeda dalam hal gaya tulis dan ejaan. Namun konsep “bahasa Melayu Tionghoa” yang dikemukakan Kwee Kek Beng tidak begitu jelas dan sulit dibuktikan (Salmon 1981, hlm. 116-117). Menurut Salmon lagi ternyata tidak terdapat perbedaan yang berarti antara karya yang ditulis orang Tionghoa dan yang ditulis pengarang non-Tionghoa:
“The Malay that F.D.J. Pangemanann (1970-1910) uses in Tjerita Si Tjonat (1900) could just as well have been that of a Chinese.” (Salmon 1981, hlm. 120)
(Bahasa Melayu yang digunakan F.D.J. Pangemanann (1870-1910) dalam Tjerita Si Tjonat (1900) tidak berbeda walau seandainyapun penulisnya orang Tionghoa.)
Teks yang terbit di luar Balai Pustaka di zaman kolonial disatukan oleh satu ciri-khas utama, yaitu bahasanya. Karena itu kelompok teks yang terdiri dari karya yang ditulis pribumi, Peranakan Tionghoa, dan Indo itu disebut “sastra Melayu Rendah”, atau sastra Melayu Lingua Franca dalam istilah esei saya ini.
Tapi untuk kelompok teks yang diterbitkan dalam antologi KMTKI, bahasa bukanlah satu-satunya ciri pendefinisi. Nio Joe Lan yang pada tahun 1962 membahas jenis sastra itu dalam sebuah buku berjudul Sastera Indonesia-Tionghoa, membuat definisi sastra “Melayu Tionghoa” (yang disebutnya “Indonesia-Tionghoa”) yang cukup jelas dibanding Myra Sidharta:
“sastera Indonesia-Tionghoa ialah hasil-sastera jang keluar dari kalam orang Tionghoa-Peranakan dalam bahasa Melaju-Rendah sampai pada awal tahun 1942, tahun tumbangnja pemerintahan pendjadjahan Belanda di Indonesia.” (hlm. 13)
Dalam definisi ini disebutkan dengan terang bahwa kata “Tionghoa” pada istilah “Indonesia-Tionghoa” (dan tentu hal yang sama berlaku untuk istilah “Melayu Tionghoa”) merujuk pada etnisitas pengarang, bukan pada bahasa yang digunakan.
Dalam pengantar-pengantar KMTKI fakta bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya Peranakan Tionghoa bukanlah bahasa khas Peranakan Tionghoa melainkan lingua franca yang dipakai berbagai kelompok etnis, termasuk untuk menulis karya sastra, jarang diungkapkan dengan tegas. Penulis pengantar yang lain tidak menekankan unsur pengaruh bahasa Tionghoa seperti Myra Sidharta. Tapi kenyataan bahwa bukan hanya Peranakan Tionghoa yang memakai dan mengembangkan varian bahasa Melayu seperti yang digunakan dalam teks-teks di KMTKI tetap diabaikan, misalnya dalam tulisan Liang Liji:
“Kesastraan Melayu Tionghoa telah meningkatkan “Bahasa Melayu Rendah” ke taraf bahasa sastra dan mempopulerkannya ke seluruh Indonesia. Upaya ini telah banyak berperan dalam menciptakan syarat terbentuknya bahasa kesatuan Indonesia.” (KMTKI Jilid 3, hlm. XX)
Pernyataan Liang Liji ini dihadirkan begitu saja tanpa penjelasan mengapa hanya karya “Melayu Tionghoa” yang dianggapnya berjasa terhadap pengembangan bahasa Melayu Lingua Franca dan kemudian bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Lingua Franca yang menjadi medium komunikasi antar-etnis itu di sini diklaim menjadi milik orang Tionghoa semata: merekalah yang memajukan dan menyebarkannya “ke seluruh Indonesia”, oleh karena itu merekalah yang berjasa dalam memungkinkan “terbentuknya bahasa kesatuan Indonesia”. Sebuah klaim yang terlalu luar biasa untuk tidak dijelaskan penyuntingnya, bukan?
Kita tahu bahwa pada zaman kolonial ada dua jenis bahasa Melayu yang digunakan secara luas, yaitu Melayu Lingua Franca (“Melayu Rendah”) dan Melayu Van Ophuysen (“Melayu Tinggi”). Bahasa yang terakhir ini adalah Melayu yang distandardisasi berdasarkan Melayu Riau oleh ahli bahasa dari Belanda, Van Ophuysen, dan dipromosikan oleh pemerintahan kolonial lewat pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah dan lewat produksi bahan bacaan melalui Balai Pustaka. Kedua versi Melayu ini tidaklah sama dengan apa yang kemudian kita kenal sebagai “Bahasa Indonesia”. Kalau memang persoalan bahasa ini ingin kembali dibahas dalam rangka penerbitan ulang sejumlah karya Melayu Lingua Franca, hubungan antara ketiga bahasa atau versi bahasa itulah yang seharusnya dibicarakan. Apa hubungan bahasa Indonesia dengan Melayu Lingua Franca dan Melayu Van Ophuysen? Unsur-unsur apa yang diadopsi dari kedua varian bahasa Melayu itu, dan seperti apa dinamikanya? Tapi bahkan sebelum mulai membahas persoalan-persoalan mendasar tersebut, pengantar-pengantar KMTKI sudah membuat kesimpulan dan klaim mengenai jasa besar Peranakan Tionghoa terhadap pengembangan bahasa Indonesia!
2. “Semangat ke-Indonesiaan yang tegas”
Sesuai dengan judul antologi yang menghubungkan “Kesastraan Melayu Tionghoa” dengan “Kebangsaan Indonesia”, beberapa tulisan pengantar mencari “semangat ke-Indonesiaan” dalam karya-karya “Melayu Tionghoa”. Istilah “semangat ke-Indonesiaan” digunakan oleh Liang Liji dalam pembahasan novel Drama dari Boven Digul karya Kwee Tek Hoay (KMTKI Jilid 3, diterbitkan pertama kali sebagai cerita bersambung di mingguan Panorama 1928-1932):
“Tjoe Tat Mo [tokoh pengarang fiksional dalam novel tersebut] boleh dikatakan adalah penyalur pandangan dan pikiran Kwee Tek Hoay sendiri dan kita akan merasa kagum bahwa si pengarang pada kurun 1920-an sudah memiliki semangat ke-Indonesiaan yang tegas. […] Selain itu si pengarang juga sudah mempunyai gagasan yang mengarah terciptanya Bhineka Tunggal Eka [sic]. Ini termanifestasi dalam ‘Negeri Kebebasan’, satu utopia indah yang didambakannya, di mana semua orang hidup bercampur dengan rukun damai, saling menghormati identitas masing-masing, dan bebas dari segala penindasan. […] Dalam novel ini, tokoh Tjoe Tan Mo dan Dolores [i.e. putri Tjoe Tat Mo] yang mewakili Peranakan Tionghoa […] bertindak sebagai […] penunjang pelaksanaan cita-cita nasional Indonesia” (KMTKI Jilid 3, hlm. XXIV-XXV).
Menurut pandangan saya, interpretasi Liang Liji ini terlalu berlebihan. Tidak satu pun di antara tokoh positif dalam novel Drama di Boven Digoel meragukan perlunya kesetiaan pada pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan komunis yang bertujuan mendirikan negara merdeka (November 1926) digambarkan sebagai sebuah gerakan yang keliru. “Cita-cita nasional” yang ditunjang dalam novel ini adalah usaha untuk menyiapkan diri dan “memajukan negeri” sambil menunggu saatnya Belanda akan dengan sukarela memberikan kemerdekaan atau otonomi pada jajahannya. Soebaidah, salah satu tokoh utama, menjelaskan:
“kita punya maksud akan bekerja bersama-sama dengen samua bangsa dalem dunia, tidak peduli bangsa apa, buat memajuken ini negri, hingga jikalu orang Olanda beriken pada kita orang hak selfbestuur yang penuh sabagi orang Inggris berbuat dengen Australie, Canada dan laen kolonienya di sebrang laut, niscaya orang Indonesier tinggal tetep pandang bangsa Olanda sabagi sobat baek dan guru yang harus dihormatin dan diendahin.” (KMTKI Jilid 3, hlm. 139)
“Negeri Kebebasan” pun tidak seperti yang digambarkan Liang Liji. Dalam keadaan terdesak karena difitnah orang, tokoh Noerani, Moestari dan Soebaidah mengambil keputusan nekat untuk lari dari tanah pembuangan Boven Digul dan hidup di hutan di mana mereka mendirikan sebuah “kerajaan”. “Kerajaan” dengan Moestari sebagai raja, Noerani sebagai ratu dan orang Papua sebagai rakyat itulah yang mereka namakan “Negeri Kebebasan”. Karena “kerajaan” itu berada di tempat yang sebelumnya tidak terjangkau oleh orang luar, awalnya mereka seakan-akan mendirikan sebuah negara baru yang bukan bagian dari Hindia Belanda. Namun maksud mereka sama sekali bukan begitu. Sebelum berangkat ke hutan, Noerani menulis pada sahabatnya Dolores:
“kalu itu berbagi-bagi kaum biadab sudah bisa dibikin jinek, [Moestari] mau minta pamerentah tetepken kadudukannya sebagi wakil atawa utusan pamerentah di antara itu kepala-kepala Papua yang tinggal di pegunungan” (KMTKI Jilid 3, hlm. 619)
Hanya untuk beberapa waktu mereka hidup tanpa hubungan dengan dunia luar, namun setelah keadaan memungkinkan, kontak dengan “pamerentah” pun segera diadakan. Pada akhir novel Moestari berniat “meminta supaya kakuasaan di Negri Kabebasan nanti diaku oleh gouvernement, dan ia boleh memerentah sabagi raja kecil yang bertaluk pada pamerenah [sic] Blanda aken bikin maju pada bangsa Papua” (KMTKI Jilid 3, hlm. 738).
Mengenai utopia yang disebut Liang Liji sepertinya dia sendiri telah salah kaprah. Kerajaan utopis yang dibayangkan sebetulnya bukan “Negeri Kebebasan”, melainkan sebuah kerajaan masa depan yang dilihat Noerani lewat sejenis penglihatan atau wahyu yang dialaminya dalam keadaan sakit keras sebelum meninggal dunia:
“Dalem lagi lima ratus taon di ini bagian Nieuw Guinea bakal berdiri satu karajaan besar yang memegang perentah atas semua pulo-pulo yang terletak di sabelah timur dari pulo Lombok dan Borneo, dan berkuasa juga atas benua Australie dan laen-laen pulo di saputernya. […] yang berkuasa di itu negri ada satu bangsa baru yang terdiri dari satu campuran antara Indonesier, Papua, Indo-European dan Paranakan Tionghoa dan Arab. Ini pengleburan dari beberapa bangsa buat menciptaken pula satu bangsa baru yang lebih pandai dan cakep aken pegang itu kakuasaan besar, sekarang sudah dimulai di Java dan bakal berjalan terus dalem beberapa ratus taon yang aken dateng.” (KMTKI Jilid 3, hlm. 723)
Nyata bahwa yang dibayangkan di sini bukanlah sebuah masyarakat plural dengan anggota masyarakat yang “saling menghormati identitas masing-masing” seperti yang dikatakan Liang Liji, melainkan sebuah “pengleburan” yang justru melenyapkan perbedaan etnis, sehingga tercipta ras unggul yang tunggal.
Tulisan Liang Liji tentang Drama di Boven Digoel hanyalah salah satu contoh yang menunjukkan bagaimana, dalam pengantar-pengantar KMTKI, teks-teks “Melayu Tionghoa” dipelintir dan dijungkirbalikkan konteks historisnya demi terciptanya “semangat ke-Indonesiaan” yang sebenarnya tidak dimiliki teks-teks tersebut. Seorang penulis pengantar yang lain, Ibnu Wahyudi, membuat klaim yang tidak kalah menggelikan tentang “kesadaran kebangsaan” yang menurutnya terdapat dalam karya Kwee Tek Hoay:
“Kwee Tek Hoay bukan hanya berkeinginan untuk memotret lingkungannya sendiri – orang-orang Cina – melainkan juga orang-orang yang berkebangsaan lain yang menetap di Indonesia. Secara tidak langsung, hal ini mengindikasikan dan juga sekaligus menegaskan bahwa Kwee Tek Hoay telah memiliki semacam kesadaran kebangsaan (Indonesia) yang multietnis atau heterogen. Interaksi sosial di antara berbagai ras dan bangsa tersebut merupakan suatu kemestian.” (KMTKI Jilid 4, hlm. XXVII)
Kalau representasi interaksi antar-etnis saja dianggap cukup sebagai bukti adanya “kesadaran kebangsaan (Indonesia)” dalam sebuah karya, tentu nyaris semua cerita Melayu Lingua Franca dapat disebut memiliki “semangat ke-Indonesiaan”. Di antaranya misalnya karya-karya Thio Tjin Boen yang oleh Myra Sidharta dinilai “punya ciri khas, yakni menggambarkan masyarakat Peranakan Tionghoa dalam interaksi dengan etnis-etnis lain, seperti masyarakat Jawa, Sunda, Arab, dan sebagainya” (KMTKI Jilid 2, hlm. XIX). Dalam salah satu karya Thio Tjin Boen yang dimuat di KMTKI Jilid 2 tersebut, Dengen Duwa Cent Jadi Kaya (1920), terdapat beberapa bagian di mana orang Tionghoa dibandingkan dengan orang pribumi, antara lain:
“Pepata ada bilang “Su Seng yu beng – Hu Kui Cay Thian”. Begimana pinter juga manusia, kalu bukan dengen kurnia Tuhan, toch tida bisa senang. Maka saya brani bilang sala sekali orang bilang semua orang Tionghoa pande sekali cari harta. Kalu betul begitu, tentu semua orang Tionghoa jadi raja uwang. Kita orang cuma ada satu prangi yang baek, yaitu himat dan rajin, tida takut cape dan sabar, beda jau sekali dengan orang Melayu.” (KMTKI Jilid 2, hlm. 210)
Adegan kedua adalah bagian dari sebuah percakapan antara seorang laki-laki dengan bakal mertuanya mengenai pernikahan yang baru saja dibicarakan dan direncanakan:
“Jadi betul-betul encek berdua encim suda kasi sama saya dan tida buat seselan buat di blakang kali?”
“Kita orang bukan itu orang Melayu. Kita orang Tionghoa toch tau satu patah perkataan yang sudah kluar, empat kuda pun tida nanti dapet susul?”
(KMTKI Jilid 2, hlm. 213)
Apakah ungkapan-ungkapan rasis tentang “orang Melayu” yang malas dan tidak bisa memegang janji semacam ini pun bagian dari “semangat ke-Indonesiaan”!
Di Hindia Belanda orang Tionghoa tidak berstatus sama dengan pribumi. Mereka tidak dianggap bagian dari penduduk lokal, melainkan orang asing. Sudah sewajarnya kalau hal itu tercermin dalam karya tulis mereka. Dalam cerita-cerita nyai misalnya yang menjadi “tuan” bukan hanya laki-laki Eropa, tapi juga laki-laki Tionghoa. Meskipun kebanyakan teks yang dikumpulkan dalam KMTKI tidak mengandung rasisme eksplisit seperti Dengen Duwa Cent Jadi Kaya, perbedaan status “bangsa Tionghoa” dengan “bangsa Indonesier” umumnya tidak dipertanyakan. Hal itu, sekali lagi, sudah sewajarnya – tidak ada alasan mengapa pada masa itu orang Tionghoa mesti mengkritik sistem masyarakat yang justru menguntungkan mereka dan memberi mereka status yang cukup tinggi. Tapi mengklaimnya sebagai bagian atau wujud dari sebuah “semangat ke-Indonesiaan” tentu mengada-ada. Paling tidak sebagai gagasan (meskipun tidak pernah sungguh-sungguh terealisasi sampai saat ini), persamaan status, hak dan kewajiban bagi semua warganegara merupakan salah satu konsep dasar dari “semangat ke-Indonesiaan”. Bukankah justru dengan mengacu pada konsep persamaan hak itu redaksi KMTKI menuntut pengakuan atas karya-karya yang ditulis oleh Peranakan Tionghoa? Kalau rasisme terhadap keturunan Tionghoa dikecam dalam “Sekapur Sirih”, mengapa rasisme yang lain, yaitu rasisme orang Tionghoa terhadap pribumi, bukan hanya tidak dibahas secara kritis, tapi bahkan dinilai sebagai tanda “kesadaran kebangsaan”!
“Semangat ke-Indonesiaan” tampaknya merupakan sebuah isu penting bagi redaksi/penyunting KMTKI. Hal ini dapat dimaklumi sebab kalau dalam judul buku saja hubungan sastra “Melayu Tionghoa” dengan “kebangsaan Indonesia” sudah diasumsikan ada, tentu ada kepentingan atau keinginan yang cukup besar untuk membuktikan hubungan tersebut. Kepentingan semacam itulah yang rupanya bahkan sampai mempengaruhi sebuah catatan kaki yang terdapat di KMTKI Jilid 8. Dalam novel Pendekar dari Chapei, sekali lagi karya Kwee Tok Hoay (1932), terdapat sebuah konsep yang cukup utama bagi tema dan plot, yaitu “aykok”. Karena “aykok” merupakan kata-pinjaman yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia masa kini, tentu penjelasan perlu diberikan. Keterangan yang diberikan dalam catatan kaki adalah:
“Aykok = cinta negeri (tentu saja ketika itu ditujukan pada Tiongkok, karena Indonesia belum merdeka)” (KMTKI Jilid 8, hlm. 7)
Penjelasan ini terkesan aneh bagi saya. Apakah sebuah negeri yang belum merdeka tidak bisa dicintai? Dan bukankah keterangan ini berlawanan dengan klaim tentang “semangat ke-Indonesiaan” dalam karya-karya yang juga ditulis sebelum kemerdekaan, seperti yang saya bahas di atas?
Pendekar dari Chapei mengisahkan sikap orang Tionghoa di Hindia Belanda terhadap perang antara Tiongkok dan Jepang. “Aykok” dalam konteks ini dipahami sebagai kesetiaan dan cinta pada negeri Tiongkok yang antara lain berwujud pemboikotan terhadap barang-barang Jepang, donasi-donasi sebagai bantuan dana perang, dan keputusan sebagian laki-laki Tionghoa untuk “pulang” ke Tiongkok dan ikut berperang. Kwee Tek Hoay dalam novel itu menggambarkan usaha seorang laki-laki untuk merayu gadis yang disukainya dengan cara berpura-pura berangkat ke Tiongkok untuk berperang. Penipuan itu awalnya berhasil, sang gadis terpesona oleh “aykok” palsu pemuda gombal tersebut, namun akhirnya akal licik itu terbongkar dan sang gadis mendapatkan jodoh yang lebih pantas.
Tampaknya kehadiran konsep “aykok” tersebut dalam masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda merupakan persoalan yang agak meresahkan bagi redaksi/penyunting KMTKI. Meskipun “aykok” sebagian tokoh bersifat palsu dan dibuat-buat, Pendekar dari Chapei tetap mengungkapkan betapa hubungan dengan negeri asal merupakan sesuatu yang amat penting bagi masyarakat Tionghoa perantauan di Hindia Belanda, termasuk bagi peranakan yang sama sekali belum pernah menginjak tanah asal itu. Pada dasarnya tentu tidak aneh sama sekali bahwa sebuah kelompok imigran memelihara rasa cinta pada negeri asal mereka, dan bahwa hal itu terungkapkan dalam karya sastra yang mereka tulis. Namun ternyata redaksi/penyunting tidak merasa bahwa hal tersebut sudah sewajarnya, sebab sesuatu yang wajar tentu tidak perlu diberi penjelasan/pembelaan. Bahwa penjelasan mengenai “cinta negeri” yang “ditujukan pada Tiongkok” itu dianggap perlu diberikan, menunjukkan bahwa redaksi/penyunting merasakan sebuah kekurangan pada teks Pendekar dari Chapei: di manakah “semangat ke-Indonesiaan”nya?
Mencari “semangat ke-Indonesiaan” dalam karya sastra yang ditulis sebelum negara Indonesia lahir bukanlah hal yang baru. Dalam sebuah artikel tentang novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli (1922), indonesianis Prancis Pierre Labrousse mengatakan tentang resepsi novel itu sesudah kemerdekaan:
“Pour la génération de l’Indépendance priment bien-sûr les idéaux de résistance, de nationalisme, de révolution. On connaît les polémiques à propos des accusations de collaboration lancées aux écrivains de la génération dite Balai Pustaka. Samsulbahri fait alors figure de traître dans son uniforme d’armée des Indes et Datuk Meringgih serait presque réhabilité, sans quelques-uns de ses excès difficilement justifiables au plan de la morale élémentaire.” (Labrousse 1982, hlm. 181-182)
(Bagi generasi yang mengalami kemerdekaan, tentu perlawanan, nasionalisme dan revolusilah yang menjadi nilai utama. Kita mengenal polemik seputar tuduhan kolaborasi yang dilontarkan pada penulis-penulis dari generasi yang disebut Balai Pustaka. Maka Samsulbahri pun menjadi pengkhianat dengan seragam militer Hindia Belandanya, dan Datuk Meringgih hampir terehabilitasi, meskipun beberapa tingkah lakunya tetap sulit dibenarkan sebab berlawanan dengan nilai moral yang paling mendasar.)
Karena pembacaan yang memahami Samsulbahri sebagai pengkhianat dan Datuk Meringgih sebagai pahlawan sulit disesuaikan dengan penokohan dan alur novel, muncullah berbagai penjelasan yang aneh dan kurang masuk akal. Salah satu contoh yang cukup baru adalah analisis Sugihastuti dan Suharto dalam buku Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya (2002):
“Datuk Meringgih, […] walaupun menjadi pahlawan bagi bangsanya karena menentang belasting, hal itu dilakukannya dalam rangka kebakhilannya juga. Ia adalah orang materialistis, suka menumpuk harta, dan enggan membelanjakan hartanya. Pemungutan belasting, jika jadi dilaksanakan, hanya akan mengurangi kekayaannya. Contoh lain, meskipun Samsulbahri menjadi tentara Belanda, hal itu dilakukannya semata-mata untuk mencari kematian karena ia telah putus asa menghadapi hidup yang tidak berpengharapan lagi. Oleh karena itu, ia ragu-ragu ketika mendapatkan perintah untuk memerangi bangsanya sendiri.” (hlm. 145)
Seperti juga penyusun KMTKI, Sugihastuti dan Suharto tampaknya berangkat dari asumsi bahwa sebuah karya yang dikenal (atau ingin diakui) sebagai bagian dari “sastra Indonesia” sewajarnya memiliki “semangat ke-Indonesiaan”. Kenyataan bahwa sebagian besar karya sastra yang ditulis pada zaman kolonial tidak atau hanya setengah-setengah memiliki semangat semacam itu, membingungkan mereka. Padahal bukankah sama sekali tidak aneh kalau dalam sebuah novel yang diterbitkan pada tahun 1922 oleh penerbit kolonial Balai Pustaka sang protagonis ada di pihak Belanda sementara pemimpin pemberontakan terhadap Belanda adalah tokoh jahat?
Usaha Sugihastuti dan Suharto untuk mencari nasionalisme Indonesia dalam novel Sitti Nurbaya tampak dibuat-buat dan berlebihan, tidak jauh berbeda dari argumentasi Liang Liji dan Ibnu Wahyudi mengenai “semangat ke-Indonesiaan” dalam karya-karya “Melayu Tionghoa”. Samsulbahri ragu-ragu memerangi “bangsanya sendiri”, begitu keterangan Sugihastuti dan Suharto. Tapi bukankah sebelum Samsulbahri diperintahkan untuk ikut berperang di Padang melawan para “perusuh” yang dipimpin Datuk Meringgih sudah sekitar sepuluh tahun dia menjadi anggota militer Hindia Belanda. Meskipun dia mengungkapkan kesedihannya sebab banyak sekali orang yang dibunuhnya dan desa yang dihancurkannya dalam melaksanakan tugas, penyesalan yang sesungguhnya baru dirasakannya pada saat dia mendapat perintah untuk memerangi “kaum keluarga, sahabat kenalan”nya sendiri (Sitti Nurbaya, hlm. 243). Ikatan dengan “bangsanya sendiri” dalam arti sesama pribumi di seluruh Nusantara tampak tidak seberapa kuat, sehingga tugasnya sebagai letnan dapat dilaksanakannya dengan “gagah berani” dan “selamanya mendapat kemenangan” (Sitti Nurbaya, hlm. 242).
“Semangat ke-Indonesiaan yang tegas” jarang bisa ditemukan dalam karya sastra yang ditulis sebelum kemerdekaan, baik yang ditulis oleh pribumi, maupun yang ditulis oleh Peranakan Tionghoa atau Indo, dan baik yang diterbitkan oleh Balai Pustaka maupun di luar Balai Pustaka. Menolak menerima kenyataan itu dan memaksakan pembacaan “nasionalis” atas teks-teks tersebut bagi saya merupakan sikap yang konyol dan ketinggalan zaman. Ketidaktegasan atau ambivalensi yang terdapat dalam karya-karya dari zaman kolonial itu justru bisa dilihat sebagai unsur yang sangat menarik, pantas dibahas misalnya dengan pendekatan pascakolonial.
Sebagai contoh, kerajaan utopis dalam penglihatan Noerani di Drama di Boven Digoel tidak bisa disebut bersifat “Indonesia” sebab wilayah yang dimaksud bukanlah wilayah yang kini menjadi negera Indonesia, rakyatnya bukanlah masyarakat Indonesia yang plural seperti yang ada saat ini, melainkan sebuah ras baru, dan sistem kenegaraannya pun bukan republik, melainkan kerajaan. Tapi di sisi lain utopia itu tidak bisa dipahami sekadar sebagai lanjutan dari negeri terjajah yang ada pada saat itu. Dalam kerajaan masa depan itu tidak ada kelompok etnis yang menguasai dan yang dikuasai. Penduduknya bukan orang Eropa dan tidak dikuasai atau dijajah oleh orang Eropa. Di samping itu kerajaan utopis tersebut dibayangkan berdiri di sebuah tempat yang pada saat itu (dan sampai saat ini) merupakan tempat yang marjinal, dianggap tidak beradab, mengerikan dan tidak sehat. Dengan merujuk pada kasus Amerika Serikat yang “[d]alem tempo belon ampat satengah abad […] sudah bisa jadi negri yang paling maju dan kaya di dalem dunia” (KMTKI Jilid 3, hlm. 722), tokoh Noerani berargumen bahwa pinggiran bisa saja berubah menjadi pusat. Meskipun akan terkesan berlebihan kalau gagasan itu kita pandang sebagai kritik terhadap kolonialisme, utopia itu paling tidak bisa dibaca sebagai ekspresi keyakinan bahwa relasi kekuasaan global bukanlah sesuatu yang statis dan kekal tapi dinamis dan penuh perubahan. Unsur lain yang menarik pada utopia dalam novel Kwee Tek Hoay itu adalah bahwa keunggulan dan kehebatan “manusia baru” yang akan menjadi penduduk kerajaan masa depan itu dibayangkan akan tercapai lewat percampuran ras. Gagasan itu berseberangan dengan ideologi tentang perlunya menjaga “kemurnian ras” seperti yang sering ditemukan sebagai bagian dari wacana kolonial di berbagai belahan dunia. Dalam novel pengarang Belanda Louis Couperus yang berjudul De Stille Kracht (1900) misalnya, tokoh-tokoh Indo digambarkan secara negatif justru karena hibriditas identitas rasial mereka.
Dengan contoh novel Drama di Boven Digoel ini saya ingin menekankan bahwa meskipun saya tidak setuju dengan klaim-klaim tentang “semangat ke-Indonesiaan” dalam pengantar-pengantar KMTKI, saya sama sekali tidak beranggapan bahwa teks-teks Melayu Lingua Franca yang ditulis oleh Peranakan Tionghoa itu tidak menarik dibaca dan dibahas atau tidak pantas diterbitkan ulang. Hanya saja, saya tidak bisa menerima kerangka pembacaan dan asumsi-asumsi yang diajukan lewat judul dan pengantar-pengantar KMTKI. Kalau teks-teks lama itu sungguh-sungguh diharapkan akan “dapat menunjukkan peranan masyarakat Peranakan Tionghoa dalam proses terbentuknya kebangsaan Indonesia” (“Sekapur Sirih”), seharusnya ada sedikit keterbukaan untuk melihat sikap ambivalen terhadap kolonialisme dan nasionalisme yang memang terdapat di dalamnya, termasuk misalnya mengakui dan mempersoalkan rasisme terhadap pribumi yang tercermin dalam sebagian teks. Pengantar-pengantar KMTKI membuat saya curiga bahwa apa yang sebenarnya ingin dilakukan lewat antologi ini bukanlah sebuah usaha pembuktian tekstual tentang “peranan” Peranakan Tionghoa tapi justru sebuah konstruksi ekstra-tekstual tentang “jasa” yang diklaim memang mereka sumbangkan.
3. Pelopor sastra Indonesia tapi tidak diakui karena etnisitas Tionghoa mereka
Argumen utama yang selalu diajukan menyangkut pembahasan, pendaftaran atau penerbitan ulang karya Melayu Lingua Franca adalah bahwa karya-karya itu selama ini dilupakan dalam penulisan sejarah sastra Indonesia, maka kini perlu diperhatikan untuk mengoreksi “kelupaan” tersebut. Argumen ini tentu masuk akal dan bisa diterima: Memang sampai saat ini dalam pengajaran dan kajian sastra Indonesia karya dari zaman kolonial yang diperhitungkan umumnya hanya karya Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Perlunya revisi sejarah sastra karena ternyata ada sejumlah besar karya dalam bahasa Melayu Lingua Franca yang belum diberi perhatian sudah cukup lama disuarakan baik dari luar Indonesia (lewat tulisan Claudine Salmon dan sejumlah peneliti lain) maupun dari dalam Indonesia (terutama lewat tulisan Pramoedya Ananta Toer dan penerbitan ulang karya Melayu Lingua Franca yang dieditorinya). Namun tampaknya gagasan itu belum sampai pada (atau belum diperhatikan oleh) sebagian besar ahli dan pemerhati sastra di Indonesia, dan belum banyak berpengaruh pada pengajaran sastra di sekolah dan universitas. Dalam konteks ini tentu saja penerbitan antologi sejenis KMTKI dapat dianggap sangat menggembirakan karena diharapkan akan bisa memperkenalkan jenis sastra yang terlupakan itu pada khalayak yang lebih luas.
Dalam pengantar-pengantar KMTKI pun kontras antara karya sastra terbitan Balai Pustaka yang diakui sebagai karya awal sastra Indonesia dan karya sejenis cerita-cerita dalam antologi KMTKI yang terpinggirkan selalu ditekankan. Namun sayang dalam usaha mengangkat yang terpinggirkan tersebut ternyata telah terjadi peristiwa “peminggiran” baru.
Dalam pengantar “Sekapur Sirih” terdapat perbandingan antara dua jenis karya sastra yang dilakukan awalnya secara kuantitatif:
“Menurut perhitungan Claudine Salmon […] selama hampir 100 tahun (1870-1960) Kesastraan Melayu Tionghoa melibatkan 806 penulis yang menghasilkan 3005 karya. Sebaliknya, sesuai dengan catatan Prof. Dr A. Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918-1967), kesastraan modern Indonesia (tidak termasuk terjemahan) hanya melibatkan 175 penulis dan sekitar 400 karya.”
Kemudian disebutlah beberapa “suara yang mengakui kepeloporan Kesastraan Melayu Tionghoa, sekali pun terdengar hanya sayup-sayup”:
“Pada 1930-an Nio Joe Lan sudah menyerukan pentingnya peranan kesastraan ini. Dia menamainya Kesastraan Indo-Tionghoa (de Indo-Chineesche literatuur), yang berkembang sendiri di luar lembaga resmi. Segera sesudah merdeka, Pramoedya Ananta Toer berkali-kali menyebut masa perkembangan Kesastraan Melayu Tionghoa sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesastraan lama ke kesastraan baru. Pada 1971, C.W. Watson menyebutnya Pendahulu Kesastraan Indonesia Modern (antecedents of modern Indonesian literature).”
Dalam uraian di atas terdapat beberapa keanehan yang entah terjadi karena kecerobohan atau memang disengaja. Pada jumlah karya “Melayu Tionghoa”, misalnya, karya terjemahan ikut terhitung, sementara pada jumlah karya “kesastraan modern Indonesia” tidak. Dan dalam rujukan pada pandangan Nio Joe Lan, Pramoedya Ananta Toer dan C.W. Watson, referensi tidak disebut secara lengkap sehingga kita tidak tahu tulisan mereka yang mana yang dimaksud. Khususnya kalimat mengenai pendapat Pramoedya terkesan mencurigakan bagi saya. Pramoedya merupakan satu-satunya penulis Indonesia yang sudah sejak lama menunjukkan perhatian yang serius pada teks Melayu Lingua Franca. Namun sejauh yang saya tahu, Pramoedya tidak pernah secara selektif membahas karya Melayu Lingua Franca yang ditulis oleh Peranakan Tionghoa. Empat buku yang dia keluarkan, Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia (1982), Sang Pemula (1985), Hikayat Siti Mariah (1987) dan Cerita dari Digul (2001) memuat teks Melayu yang ditulis oleh peranakan Eropa (Indo), Peranakan Tionghoa dan pribumi. Pendapat Pramoedya tentang “masa asimilasi” yang disebut dalam pengantar “Sekapur Sirih” tidak diungkapkannya khusus mengenai karya “Melayu Tionghoa”, tapi oleh redaksi KMTKI diposisikan sedemikian rupa sehingga timbul kesan seakan-akan Pramoedya bukan membicarakan sastra Melayu Lingua Franca pada umumnya melainkan “Kesastraan Melayu Tionghoa”.
Lebih jauh lagi, perbandingan antara dua jenis sastra di atas secara implisit memberi kesan seakan-akan di luar kedua sastra tersebut di Indonesia/Nusantara pada periode yang disebut tidak terdapat karya sastra yang lain. Eksistensi karya Melayu Lingua Franca yang ditulis bukan oleh Peranakan Tionghoa sama sekali tidak disinggung dalam “Sekapur Sirih”, begitu pun dalam pengantar Myra Sidharta dan Liang Liji. Hanya Ibnu Wahyudi yang menyebut buku-buku yang dieditori oleh Pramoedya (KMTKI Jilid 4, hlm. XVI-XVII; Jilid 7, hlm. XIV-XV). Bahkan dia juga mengatakan masih terdapat banyak teks lain yang “telah termarjinalkan selama ini”, termasuk misalnya “roman Medan” (KMTKI Jilid 4, hlm. XX). Tapi semua itu hanya diungkapkan sambil lalu, posisi sastra “Melayu Tionghoa” dalam hubungannya dengan karya sastra Melayu Lingua Franca yang lain tidak dipersoalkan lebih jauh.
Kecenderungan untuk mengesampingkan atau mengabaikan karya Melayu Lingua Franca yang ditulis oleh pribumi dan Indo tampaknya mempunyai hubungan erat dengan agenda utama penerbitan KMTKI. Pengantar “Sekapur Sirih” diawali dengan pernyataan bahwa meskipun Peranakan Tionghoa di Indonesia telah “dinyatakan bebas kembali menjalankan acara-acara agama, kepercayaan dan adat-istiadat mereka” lewat Keppres No. 6/2000, hak sipil (Civil Rights) etnis Tionghoa masih perlu diperjuangkan. Kurangnya pengakuan terhadap karya “Melayu Tionghoa” pun dipahami sebagai persoalan hak sipil:
“Sepanjang yang menyangkut masyarakat Peranakan Tionghoa, salah satu masalah Civil Rights yang sudah lama terpendam adalah belum ada pengakuan atas kepeloporan mereka dalam proses kebangsaan Indonesia melalui perkembangan Kesastraan Melayu Tionghoa.”
Pandangan bahwa terpinggirkannya sastra “Melayu Tionghoa” merupakan pelanggaran hak sipil masyarakat Peranakan Tionghoa bisa dipertanyakan paling tidak dari dua sisi:
1. Yang terpinggirkan atau terlupakan bukan hanya karya yang ditulis oleh Peranakan Tionghoa, melainkan teks Melayu Lingua Franca pada umumnya. Jadi apakah memang ada sangkut paut antara etnisitas pengarang dan “ketidakadilan historis” (Ibnu Wahyudi, KMTKI Jilid 4, hlm. XXV) tersebut?
2. Sikap memandang rendah terhadap teks-teks Melayu Lingua Franca berasal dari masa kolonial. Lewat propaganda Balai Pustaka teks-teks itu diremehkan sebagai bacaan liar yang tidak bernilai. Sudah jelas bahwa ada ketidakadilan dalam permainan politik sastra kolonial tersebut. Namun hal itu terjadi di Hindia Belanda, bukan di Indonesia. Apa yang menyebabkan karya-karya itu tetap terpinggirkan setelah kemerdekaan Indonesia? Apakah hal itu disebabkan oleh sikap apatis semata terhadap standar nilai dan pilihan karya yang telah ditentukan di masa kolonial, ataukah terjadi penilaian ulang (revaluasi) di mana karya “Melayu Tionghoa” sekali lagi memang didiskreditkan? Kalau penyebabnya hanyalah sikap apatis, atau dengan kata lain, kalau karya-karya lama itu jarang diangkat sekadar karena jarang ada yang tertarik mengangkatnya (termasuk Peranakan Tionghoa sendiri), apakah itu masih dapat disebut pelanggaran hak sipil?
Pengantar-pengantar KMTKI tidak memberi jawaban yang tegas terhadap pertanyaan-pertanyaan ini. Tampaknya malah ada usaha untuk menghindar, misalnya dengan cara tidak menyebut karya-karya Melayu Lingua Franca yang ditulis oleh pribumi dan Indo. Dan mengenai penulisan sejarah sastra yang mengabaikan sastra “Melayu Tionghoa”, ada usaha untuk membuat kita percaya bahwa hal itu merupakan pelecehan yang disengaja, namun usaha itu tidak disertai pembuktian yang jelas. Liang Liji misalnya berargumentasi bahwa sastra “Melayu Tionghoa” tidak “diberi tempat dalam sejarah sastra Indonesia” karena pengarang-pengarangnya dianggap sebagai “perantau”, bukan sebagai penduduk tetap. Karena kemudian “mayoritas keturunan Tionghoa memilih [kewarganegaraan] Indonesia” dan dengan itu “seharusnya dipandang sebagai salah satu komponen dari nasion Indonesia”, maka “sudah semestinya Kesastraan Melayu Tionghoa juga termasuk dalam kategori sastra Indonesia” (KMTKI Jilid 3, hlm. XVI). Sebagai faktor kedua mengapa karya-karya “Melayu Tionghoa” tidak diakui dia menyebut bahasanya yang konon “tidak dipandang sebagai salah satu sumber dari Bahasa Indonesia sekarang” (ibid.). Membantah hal itu, dia mengatakan bahwa
“alasan untuk menolak Kesastraan Melayu Tionghoa sebagai mata rantai sastra Indonesia karena sastra tersebut menggunakan ‘Bahasa Melayu Rendah’ samasekali tidak ilmiah dan tidak dapat dipertahankan.” (KMTKI Jilid 3, hlm. XVIII)
Uraian Liang Liji tersebut menimbulkan kesan seakan-akan setelah kemerdekaan di Indonesia sastra “Melayu Tionghoa” dibahas dan dinilai ulang, dan hasilnya: sastra tersebut didiskreditkan atas dasar etnisitas pengarangnya dan bahasa yang digunakan. Namun dia “lupa” menyebut satu pun referensi. Siapakah yang berargumentasi bahwa sastra “Melayu Tionghoa” tidak pantas diakui sebagai bagian dari sastra Indonesia karena menggunakan bahasa “Melayu Rendah”, dan kapan dan di mana hal itu diucapkan atau ditulisnya? Di manakah kita bisa menemukan pernyataan tentang sastra “Melayu Tionghoa” bukan bagian dari sastra Indonesia karena pengarangnya “perantau” itu? Yang sama sekali “tidak ilmiah” jelas bukan hanya penghujat sastra “Melayu Tionghoa” fiksional dalam tulisan Ling Liji, tapi terutama argumentasi Liang Liji sendiri!
Persoalan lain dalam tulisan Liang Liji adalah anakronisme yang terdapat pada argumentasinya bahwa karena setelah kemerdekaan mayoritas Peranakan Tionghoa memutuskan untuk menjadi warganegara Indonesia, maka sastra “Melayu Tionghoa” (yang ditulis sebelum kemerdekaan) pantas dianggap sebagai bagian dari sastra Indonesia. Argumentasi yang serupa juga terdapat dalam tulisan “Sekapur Sirih” dan dalam pengantar Ibnu Wahyudi. Ibnu Wahyudi menyatakan ketidaksetujuannya dengan pendapat Pramoedya Ananta Toer yang menggunakan istilah “sastra pra-Indonesia” atau “sastra assimilatif” dalam pengantarnya untuk buku Tempo Doeloe:
“Khususnya berkenaan dengan khazanah “Sastra Melayu-Tionghoa” ini, mengapa kita sepertinya masih belum rela untuk menganggapnya sebagai Sastra Indonesia?” (KMTKI Jilid 4, hlm. XXII)
Tampaknya telah terjadi kesalahpahaman atas teks Pramoedya di sini. Dalam antologi Tempo Doeloe Pramoedya memang mengatakan bahwa menurut pandangannya,
“Cerita-cerita dalam anthologi ini bukan tergolong cerita Indonesia sekali pun terjadi di bumi Nusantara. Saya cenderung memasukkannya ke dalam golongan Melayu lingua franca, sastra assimilatif atau pra-Indonesia, sekiranya kata sastra boleh dipergunakan.” (Tempo Doeloe, hlm. 9)
Namun pengelompokan itu bukan dimaksudkan untuk memarjinalkan teks tersebut, apalagi untuk mengokohkan anggapan lama bahwa novel-novel Balai Pustaka adalah pelopor sastra Indonesia dan tulisan dalam bahasa Melayu Lingua Franca tidak pantas diakui sebagai bagian dari sastra Indonesia. Mengenai Balai Pustaka dan bahasa yang digunakan dalam terbitan penerbit pemerintah kolonial tersebut Pramoedya mengatakan:
“Melayu yang ditatar ini pun belum lagi dapat dikatakan bahasa Indonesia.” (Tempo Doeloe, hlm. 10)
Lebih lanjut dia menjelaskan mengapa dia memilih menggunakan kata “Melayu”, bukan “Indonesia”:
“Memang ada kecenderungan umum untuk menamai segala sesuatu tentang Nusantara atau Hindia Timur di masa lalu Indonesia. Juga di bidang sastra dan bahasa. Seorang sarjana Belanda pernah menyatakan, bahwa nama Indonesia dipergunakan ‘als het om de Indonesiër gaat en om zijn vaderland’ (apabila mengenai orang Indonesia dan mengenai tanahairnya). Saya pribadi sepenuhnya kurang setuju. Walau hidup dan berkembang di dalam masyarakat dan di atas bumi yang sama Nusantara atau Hindia Timur mempunyai makna yang tidak selalu sama dengan Indonesia. Yang belakangan ini mempunyai dimensi tertentu, isi tertentu, diakibatkan oleh daya-upaya politik dan sosial untuk mencapai kemerdekaan nasional dan berpemerintahan sendiri dengan segala konsekwensinya.” (Tempo Doeloe, hlm. 10-11, italik saya)
Selama ini makna kata “Indonesia” dalam istilah “sastra Indonesia” memang jarang dibahas atau dipertanyakan. Kata itu taken for granted dianggap sudah dengan sendirinya jelas. Tapi contoh analisis novel Sitti Nurbaya di atas menunjukkan bahwa ternyata dalam pengertiaannya sering terjadi kerancuan yang tidak disadari. Di satu sisi karya-karya yang ditulis sebelum negara Indonesia didirikan, dengan sendirinya dianggap bagian dari sastra Indonesia, tapi di sisi lain ada keyakinan bahwa karya sastra Indonesia haruslah mempunyai “semangat ke-Indonesiaan”. Rupanya oleh Sugihastuti dan Suharto kenyataan bahwa novel Sitti Nurbaya selama ini dianggap sebagai bagian dari sastra Indonesia, bahkan sering disebut novel Indonesia pertama yang pantas diperhitungkan, dipahami sebagai semacam jaminan bahwa novel itu “bersemangat Indonesia”. Usaha Pramoedya untuk mendefinisikan “Indonesia” secara lebih ketat dan teliti dan penggunaan istilah “pra-Indonesia” dapat dipahami sebagai cara untuk menghindari kerancuan semacam itu. Keith Foulcher pernah menyebut Pramoedya sebagai satu-satunya pengarang Indonesia yang dengan sadar dan dalam arti yang sesungguhnya menulis karya sastra pascakolonial (Foulcher 1995). Sikap hati-hatinya dalam membedakan sastra “Indonesia” dari yang “pra-Indonesia” mencerminkan kesadarannya akan kondisi pascakolonialitas negerinya. Dengan mengkategorikan teks tertentu sebagai karya “pra-Indonesia”, Pramoedya mengakui bahwa dalam teks itu tidak terdapat konsep “Indonesia” sebagai bangsa yang sedang berjuang untuk meraih kemerdekaan. Tapi bagi Pramoedya, tidak hadirnya semangat semacam itu dalam sebuah tulisan sama sekali tidak berarti bahwa tulisan itu tidak perlu dihargai dan diberi tempat dalam sejarah sastra di Indonesia:
“Tanpa perintisan karya-karya ini adalah sulit dibayangkan bagaimana sastra Indonesia kelak mendapatkan bumi untuk lahir dan berkembang.” (Tempo Doeloe, hlm. 12)
Persoalan lain yang bersangkutan dengan pengakuan terhadap karya sastra “Melayu Tionghoa” adalah kualitasnya sebagai karya sastra. Nilai kesastraan dipersoalkan oleh Pramoedya, seperti yang terlihat dalam kutipan dari pengantar Tempo Doeloe di atas: cerita-cerita dalam antologi itu disebutnya “sastra assimilatif atau pra-Indonesia sekiranya kata sastra boleh dipergunakan”. Ungkapan keraguan apakah teks-teks dalam antologi Tempo Doeloe itu pantas disebut sastra, tidak diberi penegasan lebih lanjut, mungkin karena Pramoedya memilih untuk “sengaja tak melakukan penilaian terhadap karya-karya dalam anthologi” itu (Tempo Doeloe, hlm. 12). Dalam buku Sang Pemula Pramoedya membuat klasifikasi yang lebih tegas: hanya satu dari tiga cerita karya Tirto Adhi Soerjo disebutnya “sastra”, yang lain dinilainya sebagai “cerita pop, ditulis hanya untuk dijual kepada mereka yang memerlukan hiburan” (Sang Pemula, hlm. 363). Di KMTKI Ibnu Wahyudi mempersoalkan nilai sastra karya-karya “Melayu Tionghoa” dalam pengantar-pengantarnya. Menurut pandangannya, karya “Melayu Tionghoa” umumnya “ditulis dengan tanpa pretensi bersastra oleh penulisnya” dan dapat dikategorikan sebagai “sastra populer” (KMTKI Jilid 7, hlm. XXI). Namun pengelompokan sebagai “sastra populer” tersebut tidak dipandangnya sebagai halangan dalam mengakui teks-teks itu sebagai bagian dari sastra Indonesia:
“Kalaupun […] perlu ada pembedaan antara karya-karya sastra yang ‘serius’ atau yang ‘sastra’ dengan karya-karya yang ‘picisan’, ‘pinggiran’, atau yang ‘populer’ […], hal tersebut tidak lantas harus segera dipakai sebagai pendeskriminasi [sic] terhadap penamaan suatu khazanah.” (KMTKI Jilid 4, hlm. XXII)
“Toh, tidak pernah – dan tidak perlu – ada keraguan berkenaan dengan keberadaan serial Lupus – yang ditulis Hilman – atau novel seperti Badai Pasti Berlalu – yang ditulis Marga T. – sebagai bagian integral dari Sastra Indonesia.” (KMTKI Jilid 4, hlm. XXII)
Tidak pernah ada keraguan tentang tulisan Marga T. dan Hilman sebagai bagian dari sastra Indonesia? Saya justru ingin bertanya, sejak kapan buku sejenis karya Hilman, Marga T. atau Mira W. dianggap karya sastra? Sejauh yang saya tahu, di toko buku saja buku semacam itu biasanya tidak diletakkan di rak sastra, melainkan di rak khusus bacaan populer. Memang belakangan ini, terutama akibat pengaruh Cultural Studies, bacaan populer tidak lagi dianggap sebagai teks bernilai rendah yang tidak pantas dipelajari. Namun itu tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan lagi antara sastra dan bacaan populer, atau bahwa bacaan populer kini dianggap sastra. Sangat tidak masuk akal dan tidak adil kalau tulisan sejenis novel Marga T. dan Mira W. yang “ditulis hanya untuk dijual kepada mereka yang memerlukan hiburan”, dinilai dengan standar yang sama dengan yang umumnya digunakan dalam menilai karya sastra. Sebagai karya sastra, novel mereka akan terlihat sangat tidak memuaskan: Dalam hal gaya tulis tidak ada eksplorasi, temanya hampir selalu seputar percintaan dan keluarga dengan plot yang cenderung melodramatis, penokohannya sangat stereotipikal (terutama dalam hal representasi gender). Kita justru hanya akan bisa menghargai teks-teks sejenis itu kalau kita mempertimbangkan bahwa novel-novel tersebut memang ditulis bukan sebagai karya sastra!
Contoh mengenai rak yang berbeda di toko buku yang saya sebut di atas tidak saya maksudkan untuk menyarankan agar kita menerima saja pengelompokan buku yang dilakukan misalnya oleh toko buku atau penerbit tanpa sikap kritis. Khususnya dalam hubungan dengan karya-karya Melayu Lingua Franca, saya pikir sudah sepantasnya kita merasa curiga terhadap politik Balai Pustaka yang mencoba untuk mempropagandakan terbitannya sendiri sebagai sastra yang “serius” dan karya Melayu Lingua Franca sebagai bacaan “picisan”. Penilaian ulang tentu sah dilakukan: Boleh saja kita berpendapat bahwa di antara karya Melayu Lingua Franca ada yang pantas disebut karya sastra, mungkin bahkan karya sastra yang bermutu tinggi. Sebaliknya pun, di antara karya Balai Pustaka mungkin saja ada yang kita nilai tidak layak dikategorikan sebagai sastra. Namun penilaian ulang semacam itu tidak dapat dilakukan sekadar lewat generalisasi dan klaim-klaim yang tidak (bisa) dibuktikan seperti yang terdapat dalam pengantar-pengantar KMTKI!
Konsep sastra dalam tulisan Ibnu Wahyudi cukup aneh. Di satu sisi nilai kesastraan diabaikan sama sekali: bacaan populer, baik di masa kini maupun di masa lalu, ingin diakuinya sebagai bagian dari sastra Indonesia. Tapi di sisi lain dia mengedepankan batas-batas yang ketat dan sangat ganjil terhadap apa yang pantas disebut “sastra”:
“Ketiadaan pretensi bersastra itu dapat dengan mudah dilihat dari cara menyampaikan cerita yang jauh dari upaya mematut-matut kejadian dengan, misalnya, memakai bahasa kias atau teknik bercerita yang surealis. Secara sederhana mereka sungguh-sungguh hanya ingin berkisah dan kisahnya pun cenderung urut atau kronologis saja.” (KMTKI Jilid 7, hlm. XIX)
Kedua konsep sastra yang berlawanan ini sama-sama tidak memadai kalau tujuannya adalah untuk menuntut pengakuan karya “Melayu Tionghoa” sebagai bagian dari sastra Indonesia. Kalau pemahaman “sastra” demikian luas sehingga segala macam bacaan populer menjadi bagian darinya, bukankah pengakuan atas karya ”Melayu Tionghoa” justru jadi tidak relevan lagi? Di sisi lain, definisi bahwa sastra adalah “mematut-matut kejadian dengan, misalnya, memakai bahasa kias atau teknik bercerita yang surealis” terlalu menyederhanakan apa itu sastra ke dalam satu atau dua jenis teknik bercerita belaka. Ibnu Wahyudi mungkin belum pernah mendengar kesederhanaan bahasa Hemingway yang anti-kiasan itu atau arus kesadaran James Joyce dan Virginia Woolf.
***
Selama beberapa tahun belakangan ini di Indonesia timbul kebiasaan untuk menyertakan pengantar, kalau bisa oleh pengamat yang namanya cukup tenar, dalam buku sastra, baik novel maupun kumpulan puisi, cerpen atau esei. Menurut hemat saya, pengantar-pengantar tersebut tidak selalu memberi nilai tambah, terutama kalau isinya sekadar ringkasan karya yang dipengantari atau puji-pujian yang berlebihan dan tidak berdasar. Namun dalam antologi karya lama sejenis KMTKI pengantar bukan sekadar hiasan, melainkan unsur yang benar-benar wajib ada dan dibutuhkan. Agar teks-teks lama yang diterbitkan ulang dalam KMTKI dapat bermanfaat bagi kita, kita membutuhkan informasi yang baik mengenai latar belakangnya. Siapakah pengarang-pengarangnya, bagaimana konteks penulisan dan penerbitan karya-karya itu di masanya? Mengapa karya-karya itu selama ini tidak pernah diperkenalkan, dan apa maksud penerbitan ulangnya? Informasi semacam itu memang terdapat dalam pengantar-pengantar KMTKI, namun sangat kurang lengkap. Tampaknya yang diutamakan adalah agenda untuk “membuktikan” peran Peranakan Tionghoa sebagai pelopor sastra Indonesia dan nasionalis awal. Jarak waktu ternyata tidak membuat penyunting/redaksi dan penulis pengantar mampu melihat teks-teks lama itu dengan cara yang lebih netral dan kritis daripada apa yang umum terdapat dalam pengantar-pengantar buku sastra (kontemporer) di Indonesia.
Sikap tidak kritis tersebut ingin saya ilustrasikan dengan satu contoh terakhir, yaitu sebuah karya yang dipuji bukan karena “semangat ke-Indonesiaan”nya, melainkan karena representasi perempuan yang dianggap maju. KMTKI Jilid 9 khusus “mengangkat kisah-kisah dengan perempuan sebagai tokoh utama” (KMTKI Jilid 9, hlm. VI); salah satunya adalah cerita Djeng Soepiah karya Sonja (1934). Dalam pengantar singkat (tidak ada esei pengantar dalam jilid itu) terdapat penjelasan bahwa
“perempuan-perempuan dalam empat cerita edisi ini digambarkan sebagai sosok yang tegar dan berani menerobos kungkungan masyarakat pada awal abad ke-20. Mereka berjuang melepaskan diri dari berbagai tabu dan larangan, seperti menyatakan pendapat, bersekolah tinggi, bekerja di luar rumah. […] Soepiah dalam “Djeng Soepiah” membulatkan tekadnya keluar dari kampung halaman untuk bekerja sambil menimba ilmu”. (KMTKI Jilid 9, hlm. VI-VII)
Djeng Soepiah mengisahkan pengalaman seorang gadis desa yang dikirim ke kota untuk menghamba di rumah sebuah keluarga priyayi. Untuk itu Soepiah tidak perlu melawan tabu atau “membulatkan tekad”, sebab orang tuanya sendiri yang mengirimnya ke kota, dengan rasa bangga bahwa anak mereka diterima di rumah priyayi. Memang beberapa tokoh dalam cerita Djeng Soepiah menganjurkan agar anak desa, terutama anak perempuan, dikirim ke kota untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dan agar “selaen bisa bertani orang-orang prampuan di desa bisa punya peradatan lebih halus” (KMTKI Jilid 9, hlm. 267). Namun benarkah hal itu dapat dipahami sebagai keberanian “menerobos kungkungan masyarakat”? Bukankah keinginan orang desa untuk mendapat sedikit cipratan “adat istiadat luhur” (ibid.) dengan menyuruh anak mereka bekerja pada priyayi kota tanpa menuntut bayaran (gaji), justru menandakan kuatnya “kungkungan masyarakat”, khususnya feodalisme!
Kecenderungan untuk melebih-lebihkan pencapaian sastra “Melayu Tionghoa” yang terlihat dalam kasus Djeng Soepiah ini, bagi saya, terkesan menggelikan. Kalau karya pengarang perempuan kontemporer dipuji-puji “kesadaran gendernya” dalam pengantar atau di sampul belakang, hal itu bisa dipahami sebagai bagian dari strategi pemasaran. Namun apa perlunya hal serupa itu dilakukan dalam penerbitan ulang karya pengarang perempuan dari tahun 1934? Tepatkah kalau pembaca diharapkan berminat pada cerita itu dengan alasan bahwa “[k]endati berlangsung hampir seabad yang lalu, cerita-cerita tersebut boleh jadi masih relevan dengan situasi sekarang” (KMTKI Jilid 9, hlm. VII)? Bukankah minat untuk membaca karya lama biasanya justru lahir dari rasa ingin tahu tentang nilai, norma dan pandangan hidup masa lalu yang sudah tidak berlaku pada saat ini? Dengan kata lain, “kekurangan” cerita Djeng Soepiah seharusnya tidak perlu ditutup-tutupi sebab yang menarik bagi pembaca justru bahwa baru sampai di situlah pencapaian pengarang perempuan pada masa itu.
Kecewa membaca pengantar-pengantar KMTKI yang penuh klaim yang berlebihan, asumsi tidak berdasar dan generalisasi yang asal-asalan, saya merasa tertarik untuk kembali pada sikap rendah hati Claudine Salmon dalam pendahuluan bukunya:
although we have been working on this literature for over ten years, we cannot presume to know it in its entirety, and many monographs will no doubt have to be produced before this so-called “Sino-Malay” literature can be appreciated properly and acknowledged to be an essential part of Indonesian literature. (hlm. 11)
(meskipun saya sudah mempelajari sastra ini selama lebih dari sepuluh tahun, saya tidak dapat berpretensi mengenal keseluruhannya, dan tidak bisa diragukan bahwa masih banyak monografi yang perlu ditulis sebelum sastra yang disebut “Melayu-Tionghoa” ini bisa diapresiasi seperti semestinya dan diakui sebagai bagian yang esensial dari sastra Indonesia.)
Pandangan Salmon bahwa agar karya-karya “Melayu Tionghoa” dapat diterima, masih dibutuhkan banyak kajian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai jenis sastra itu, sangat tepat menurut penilaian saya. Secara praktis saja perubahan dalam kajian dan pengajaran sejarah sastra Indonesia masih sangat sulit dibayangkan pada saat ini. Sejarah Sastra Indonesia Modern sudah terstandardisasi dalam arti terdapat pemahaman tentang angkatan, tentang pengarang dan karya yang dianggap paling penting dan bermutu pada setiap angkatan, dan sebagainya. Kita bisa saja mengkritik kekakuan standardisasi dan kanonisasi semacam ini, tapi tanpanya pengajaran sastra di sekolah dan di perguruan tinggi akan sulit dibayangkan. Kalau kini tiba-tiba ada yang menyodorkan informasi bahwa masih ada sekitar 2000 karya yang belum diperhatikan, lalu menuntut agar semua karya itu diakui sebagai bagian dari sastra Indonesia, sudah dapat diperkirakan bahwa tuntutan itu tidak akan ada efeknya. Bukankah persoalan praktis yang dihadapi seorang guru atau dosen adalah bahwa dia harus memilih bahan bacaan untuk murid/mahasiswanya? Bagaimana dia dapat mengakomodasi karya “Melayu Tionghoa” kalau tidak ada tuntunan apa pun dalam menentukan pilihan antara ke-2000 karya tersebut?
Sebagai pengamat yang mempunyai minat terhadap sastra Melayu Lingua Franca tapi tidak memiliki akses terhadap versi asli teks-teks tersebut, di satu sisi saya merasa bersyukur atas kehadiran antologi KMTKI yang memberi saya kesempatan untuk membaca sejumlah teks yang selama ini saya ketahui eksistensinya tapi tidak pernah saya lihat secara langsung. Tapi di sisi lain ketidakjelasan kriteria seleksi karya dan kelemahan editorial yang lain membuat saya ragu untuk menggunakan antologi ini. Di samping itu pengantar-pengantar yang penuh dengan asumsi yang menyesatkan pun terasa sangat mengecewakan.
Bahwa sebuah proyek penerbitan mempunyai agenda dan latar belakang politik tertentu adalah hal yang wajar. Bagi saya kenyataan bahwa penerbitan ulang karya tulis Peranakan Tionghoa dilakukan dalam konteks euforia budaya Tionghoa setelah melonggarnya tekanan terhadap golongan etnis tersebut dengan tumbangnya Orde Baru, sama sekali tidak menjadi persoalan. Sangat masuk akal bahwa momen itu dianggap tepat untuk memulai proyek penerbitan ulang tersebut. Tapi euforia budaya Tionghoa, rasa marah atas ketidakadilan dan kekerasan terhadap Peranakan Tionghoa dan keinginan untuk merehabilitasi posisi dan reputasi kelompok etnis Tionghoa di Indonesia, tidak bisa diterima sebagai alasan atau penjelasan mengapa KMTKI disusun dengan demikian ceroboh dan tendensius. Penyusunan antologi sebesar ini seharusnya dipandang sebagai pekerjaan intelektual yang tidak bisa dilakukan sambil lalu.
Menulis ulang babak awal sejarah sastra modern di Indonesia merupakan proyek yang sangat penting dan menarik. Karya lama yang belum dikenal dan sulit diakses di Indonesia perlu diterbitkan, peran Balai Pustaka dipertanyakan, karya yang selama ini dianggap “kanon” maupun yang terlupakan perlu dinilai ulang. Pendekatan yang sensitif terhadap konteks sejarah perlu dikembangkan. Setelah Pramoedya Ananta Toer – pekerja yang paling serius dan teliti dalam proyek penulisan ulang sejarah sastra Indonesia – meninggal tahun lalu, apakah kita kini akan terpaksa menggantungkan diri pada hasil kerja yang sangat tidak memadai seperti seri Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia ini?
*Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta
DAFTAR PUSTAKA
Foulcher, Keith, “In Search of the Postcolonial in Indonesian Literature”, Sojourn Vol. 10, No. 2 (1995), hlm. 147-171.
Labrousse, Pierre. “Le Tombeau de «Sitti Nurbaya». Essai de lecture sociale”, Archipel 23 (1982), hlm. 177-200.
Marah Rusli, Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, Balai Pustaka, cetakan ke-22, Jakarta 1992 (cetakan pertama 1922).
Marcus A.S. dan Pax Benedanto (penyunting), Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 1, KPG, Jakarta 2000.
– Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 2, KPG, Jakarta 2001.
– Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia: Drama di Boven Digul, Karya Besar Kwee Tek Hoay (Jilid 3), KPG, Jakarta 2001.
– Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia: Empat Karya Kwee Tek Hoay (Jilid 4), KPG, Jakarta 2001.
– Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia: Riwayat Empat Tokoh Tionghoa Masa Lampau (Jilid 5), KPG, Jakarta 2002.
– Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 6, KPG, Jakarta 2002.
Marcus A.S. dan Yul Hamiyati, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 7, KPG, Jakarta 2003.
– Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 8, KPG, Jakarta 2004.
– Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 9, KPG, Jakarta 2005.
Mukti, Haji, Hikayat Siti Mariah, Lentera Dipantara, dieditori oleh Pramoedya Ananta Toer, Jakarta 2003 (diterbitkan pertama kali sebaga cerita bersambung di Medan Prijaji 1910-1912).
Nio Joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa, Gunung Agung, Jakarta 1962.
Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia, Hasta Mitra, Jakarta 1982.
– Sang Pemula, Lentera Dipantara, Jakarta 2003 (cetakan pertama: Hasta Mitra, Jakarta 1985).
– Cerita dari Digul, KPG, Jakarta 2001.
Salmon, Claudine, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a provisional annotated bibliography (Études insulindiennes-Archipel 3), Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, Paris 1981.
Semaoen, Hikayat Kadiroen, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 2000 (diterbitkan pertama kali 1920).
Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2002.
Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2011/11/21/kesastraan-melayu-tionghoa-dan-kebangsaan-indonesia/