Jumardi *
Riau Pos, 12 Feb 2012
SASTRA dalam Islam (Arab) disebut dengan adab. Dalam keseharian, kita bisa mengaitkannya dengan kesopanan, kesantunan, atau dengan istilah kelembutan kata. Sudah tentu untuk menilai sikap dan tingkah laku seseorang kita melihatnya dengan adab. Baik dengan melihat kesopanannya, kesantunannya, atau dengan kelembutan tutur katanya saat bicara. Namun defenisi adab di dalam sastra jauh lebih besar daripada itu.
Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran. Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan. Jadi sastra Islam lebih mengarah pada pembentukan jiwa.
Definisi seni dan sastra Islam menurut Said Hawa dalam bukunya Al Islam, adalah seni/sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam. Senada dengan Said Hawa, menurut Ismail Raja Al Faruqi, seni Islam adalah seni infiniti (seni ketakterhinggaan), di mana semua bentuk kesenian diakomodir pada keyakinan akan Allah. Ia juga menyatakan bahwa ekspresi dan ajaran Alquran merupakan bahan materi terpenting bagi ikonografi seni/sastra Islam. Dengan demikian seni Islam dapat dikatakan sebagai seni Qurani atau seni Rabbani.
Harun Daud berkata, “Tujuan kesusastraan adalah untuk mendidik dan membantu manusia ke arah pencapaian ilmu yang menyelamatkan. Bukan untuk membentuk makna spekulatif. Sebuah karya sastra atau karya seni dalam Islam adalah alat atau bantuan dan bukannya pengakhiran realita itu sendiri.” Sementara menurut Shanon Ahmad bersastra dalam Islam haruslah bertonggakkan Islam, yaitu sama seperti beribadah untuk dan karena Allah.
Dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta —yang dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963— para seniman, budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik, menyatakan bahwa yang disebut dengan kebudayaan, kesenian (kesusastraan) Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan umat manusia.
Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Illahi dan fitrah insani.
Setelah kita memahami definisi maupun tujuan dari sastra Islam, ada hal yang perlu kita jawab yaitu apakah yang akan menciptakan karya sastra Islam harus orang Islam? Atau bisa saja orang non muslim berkarya yang karya sastra mereka berdasarkan adab Islam, lalu apakah sastra mereka dapat dikatakan sebagai sastra Islam?
Kita perlu memahami maksud dari definisi di atas, bahwa yang dikatakan sastra Islam adalah sebuah karya yang berlandaskan adab islami yang orang yang membuat karya sastra itupun harus orang Islam. Jadi jika orang non muslim berkarya dengan ciri karya sastra Islam bukanlah disebut sastra Islam. Sastra itu bisa disebut dengan sastra yang bersumberkan Islam.
Untuk memudahkan kita untuk memahami maksud sebenarnya dari sastra Islam. Berikut beberapa ciri sastra Islam. Yaitu: (1) Jika sebuah cerpen, puisi atau novel Islam, misalnya, tidak melalaikan pembaca atau penulisnya untuk mengingat Allah. (2) ketika membacanya akan diingatkan kepada ayat-ayat kauliyah maupun kauniyah-Nya. (3) Ada unsur amar maruf nahi munkar dengan tidak menggurui. (4) Penuh dengan ibrah dan hikmah. (5) Ia kerap bercerita tentang cinta; baik cinta kepada Allah, Rasulullah, kedua orangtua, perjuangan di jalan-Nya. Cinta pada kaum muslimin dan semua mahluk Allah: sesama manusia, hewan, tumbuhan, alam raya dan sebagainya.
Ciri lainnya, karya sastra Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa ‘indahnya’ kemaksiatan, secara vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apapun. Ia juga tak membawa kita pada tasyabbuh bi’l kuffar, apalagi jenjang kemusyrikan.
Sastra Islam akan lahir dari mereka yang memiliki ruhiyah Islam yang kuat dan wawasan keislaman yang luas. Penilaian apakah karya tersebut dapat disebut sastra Islam atau tidak bukan dilihat pada karya semata, namun juga dari pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya pada masyarakat. Sastra Islam bagi pengarangnya adalah suatu pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada Allah dan umat. Sastra dalam kehidupan seorang muslim atau muslimah pengarang adalah bagian dari ibadah. Artinya tidak ada dari hasil karya mereka diniatkan selain untuk ibadah.
Sebuah karya tak bisa dikatakan sebagai sastra Islam hanya karena mengambil setting (latar belakang) pesantren, masjid, mengetengahkan tokoh ulama dan menampilkan ritual-ritual keagamaan atau unsur sufistik. Sastra Islam lebih dari sekadar slogan atau simbol. Sang pengarang, kehidupan, Islam dan karyanya menjelma satu kesatuan.
Para sastrawan Islam, berkarya tidak hanya sekadar berkarya, untuk menghasilkan sebuah kesenian yang indah, kata-kata yang mengagumkan. Tetapi mereka jauh lebih besar dari itu. Mereka berkarya atas dasar iman kepada Allah dengan tujuan dari karyanya itu dapat menjadikan dirinya dekat kepada Allah dan orang yang membaca karya-karyanya bisa ikut juga menjadi lebih baik.
Untuk mewujudkan itu semua tentunya sebelum berkarya haruslah memperbaiki pribadi terlebih dahulu secara matang sampai benar-benar memahami agama Islam secara kaffah. Sehingga apapun yang tertulis atau hasil karyanya benar-benar membawa kebaikan dunia dan akhirat.
*) Jumardi, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits UIN Suska Riau Co Kaderisasi FLP Pekanbaru
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/02/memahami-sastra-islam.html