Siti Muyassarotul Hafidzoh
Suara Karya, 24 Feb 2012
PERNYATAAN yang dilontarkan oleh Mark Twain tersebut mengindikasikan bahwa dunia pendidikan seakan bukannya menciptakan sosok kreatif masa depan. Namun, pendidikan malah membungkam kreativitas berfikir seseorang yang tidak hanya dalam jangka pendek bahkan dalam jangka panjang.
Pendidikan hanya membuang-buang waktu saja, tanpa memberikan ide-ide cerdas untuk masa depan. Proses belajar-mengajar antara guru-siswa bukannya mendorong siswa untuk berfikir, tetapi siswa malah merasa bosan dan ditahan dalam penjara yang mencekam. Dalam titik demikian, sekolah dianggap sebagai momok yang menakutkan yang bisa menjegal masa depan seseorang.
Ya, itulah gambaran apabila pendidikan gagal memanusiakan manusia: menciptakan dan melejitkan kreativitas kemanusiaan. Padahal, pendidikan yang humanistik memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Sebagai makhluk, batas antara hewan dan malaikat harus dipisahkan dengan tegas.
Sebagai makhluk dilematik, ia dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya. Sebagai makhluk moral, ia senantiasa bergulat dengan nilai-nilai. Sebagai pribadi, manusia memiliki kekuatan konstruktif dan kekuatan destruktif. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki hak-hak sosial dan harus menunaikan hak-hak sosialnya. Dan, sebagai hamba Allah, ia harus menunaikan kewajiban ubudiyah-nya. Pendidikan humanistik adalah pendidikan yang mampu memperkenalkan apresiasinya yang tinggi kepada manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang hakiki, dan juga sebagai khalifatullah.
Pendidikan humanistik bermaksud membentuk manusia yang mempunyai komitmen humaniter sejati, yakni manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, tanpa terangka dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah masyarakat. Manusia memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungannya, berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakatnya. Dengan paradigma pendidikan humanistik, dunia manusia akan terhindar dari tirani teknologi kehidupan dan akan mencipta suasana hidup dan kehidupan yang kondusif bagi komunitas manusia.
Untuk mewujudkan potensi humaniter sejati, pendidikan merupakan media paling strategis dalam merumuskan konsep humaniter sejati di masa depan. Dalam konteks ini, manusia sebenarnya ditempatkan sebagai makhluk pedagogik: yakni makhluk yang sejak lahir mempunyai potensi untuk dapat dididik sekaligus mendidik. Potensi dasar (fitrah) manusia, sebagai tabiat asli, perlu dikembangkan agar manusia menjadi baik serta tetap menduduki kedudukan sebagai makhluk Allah yang mulia. Mengembangkan potensi dasar ini harus melalui proses pendidikan, karena itu manusia harus melakukan proses pendidikan.
Proses pendidikan dengan optimalisasi potensi dasar (fitrah) manusia akan membentuk wajah baru dunia pendidikan yang sangat manusiawi. Pendidikan akan kembali kepada khittah-nya sebagai media pembebasan kemanusiaan. Berbagai tragedi pendidikan yang terus menyeruak di wajah bangsa ini menjadi penanda bahwa harus ada gerakan besar dalam menggemuruhkan filsafat dan praktik pendidikan yang sesuai dengan prinsip kemanusiaan universal. Dengan prinsip kemanusiaan itulah, maka terbentuk fondasi dan dasar yang bisa membuka cakrawala baru pendidikan yang selalu bernas, aktual, dan komprehensif dalam menjawab ragam soal yang terus datang silih berganti.
Mencerahkan
Pendidikan yang memanusiakan manusia selalu bervisi untuk pembebasan. Artinya, peserta didik diberikan kebebasan dalam menentukan arah pendidikannya di masa depan. Peserta didik bukanlah bank yang selalu dicekoki, diisi semaunya, dan disetir tanpa mempunyai kedaulatan untuk menentukan dirinya sendiri. Inilah yang oleh Paulo Freire dikritik sangat keras. Freire sangat keras mengkritik praktik pendidikan yang terus mendikte peserta didik. Freire melihat bahwa praktik pendidikan telah merampas hak peserta didik dalam menentukan kedaulatan dirinya untuk membentuk asa depan sesuai dengan potensi dasar yang dimiliknya.
Maka dari itulah, dengan melihat sekujur tubuh pendidikan kita yang penuh luka, sudah saatnya, – menurut analisis Freire -, pendidikan musti menjadi jalan menuju pembebasan permanen, yang dilakukan dalam dua tahap. Pertama, manusia menjadi sadar (disadarkan) tentang penindasan yang menimpanya; ia harus menjalankan praksis mengubah keadaan tertindas itu. Kedua, membangun kemantapan berdasarkan apa yang sudah dikerjakan di tahap pertama; proses permanen yang diisi dengan aksi-aksi budaya yang membebaskan.
Jalan pembebasan yang diwartakan Freire adalah media melangkah menuju pendidikan yang manusiawi. Wajah pendidikan di Indonesia yang masih compang-camping harus segara dibenahi. Semua harus kembali kepada potensi dasar (fitrah) manusia yang bersih, suci, dan bernas. Potensi dasar (fitrah) yang kemudian dijadikan media dasar dalam proses pembebasan dan penyadaran manusia akan menemukan makna substantif pendidikan yang terus menjaga nilai luhur bangsa. Pendidikan yang terus membuka jalan pencerahan (enlighment) dalam proses pembudayaan tata nilai hidup.
Siti Muyassarotul Hafidzoh, peneliti pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogykarta.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/02/menuju-humanisasi-pendidikan.html