Menulis Kebenaran Sejarah Versi Sastra

Agus Wibowo
__Kaltim Post, 20 Okt 2007

Tragedi G 30 S/PKI, kejadian pahit. Dalam peristiwa memilukan itu, beberapa petinggi militer dibunuh. Kejadian tragis berikutnya adalah ribuan manusia mengalami penyiksaan dan pembantaian akibat perbedaan ideologi. Orang-orang yang dituding sebagai penganut komunisme disingkirkan atau mengalami pengasingan berkepanjangan. Episode penuh kepahitan itu ditutup oleh sebuah layar yang bernama Kesaktian Pancasila. Sayangnya, sampai detik ini kita masih dibuat penasaran akan kebenaran sejarah peristiwa tersebut.

Selama hampir 32 tahun, kebenaran sejarah peristiwa tersebut kabur. Penjelasan sejarah versi penguasa Orde Baru kurang berimbang. Kadangkala malah menonjolkan salah satu sosok yang paling berjasa menuntaskan peristiwa tersebut. Memang, dengan cara tersebut Orde Baru berhasil mendapatkan keabsahan dalam menjalankan kekuasaan. Meski demikian, akankah kebenaran sepihak—yang mengarah pada kebohongan—akan terus diwariskan pada generasi mendatang ? Bukankah dengan begitu, kita mengajarkan kebohongan-kebohongan pada para penerus bangsa ? Orisinalitas dan kebenaran sejarah menjadi sebuah keniscayaan, agar generasi selanjutnya bisa belajar dan berhikmah dari peristiwa tersebut. Sebuah kebohongan yang ditutup-tutupi, pada akhirnya bakal ketara juga.

Hegemoni Penguasa

Peristiwa sejarah sering disebut fakta sejarah. Sementara fakta sejarah ini sering memiliki makna kembar. Pertama, fakta sejarah sebagai “aktual occurance” atau pemikiran, perbuatan dan kejadian tunggal di masa lampau. Misalnya peristiwa pembacaan Teks Proklamasi, baris berbaris dan pengibaran bendera pada tanggal 17 Agustus 1945. Kedua, fakta sejarah sebagai “a particular truth” atau pembenaran diri dan pembuatan gambaran sejarah versi sepihak. Misalnya peristiwa G 30 S/PKI versi pemerintah Orde Baru atau Babad Diponegoro dalam historiografi tradisional.

Guna mendapatkan tulisan sejarah yang valid, bahan baku yang berupa peristiwa sejarah diolah melalui proses tertentu. Selanjutnya seorang sejarawan harus melakukan kritik, interpretasi dan sintesa sehingga ia sanggup menyuguhkan rekonstruksi sejarah yang benar-benar orisionil. Bahkan seorang sejarawan dituntut mengemukakan apa yang mesti terjadi, dan merangkai peristiwa sejarah sebagai satu kesatuan yang utuh. Bagi sejarawan fakta sejarah, meminjam istilah psikolog William James (1965) merupakan “irreducible and stubborn fact”.

Dalam bengkel kerja sejarawan, tulisan sejarah bisa dalam bentuk sebenarnya—sepanjang ia memegang teguh disiplin metode ilmiah. Sayangnya, sejarawan sebagai individu kadangkala harus tunduk pada otoritas penguasa. Jika sampai berani menentang penguasa, karya-karyanya bakal di”berendel” bahkan bisa jadi yang bersangkutan dijatuhi hukuman kurungan atau hukuman mati. Lantaran hegemoni penguasa pula, sejarah menjelma bukan dalam bentuk sejatinya. Ia dipermak dan diputar-balik sehingga searah, sejalan dan sehaluan dengan kebijakan penguasa.

Berbentuk Karya Sastra

Ketidakberdayaan mengungkap kebenaran sejarah ini, mestinya disikapi secara kreatif oleh para sejarawan. Misalnya dicontohkan nenek moyang masyarakat jawa dengan tindakan, prilaku dan lambang-lambang simbolis. Relief-relief dan sengkalan pada candi, masjid, benteng, bangunan keraton, dan berbagai tari-tarian, dipergunakan para pujangga jawa guna merekonstruksikan peristiwa sejarah tanpa takut diketahui penguasa.

Melalui bangunan fisik yang simbolis, kebenaran sejarah ditata sedemikian rupa. Meski demikian, tidak setiap orang mampu memahaminya. Sementara kebenaran sejarah tetap harus disuarakan. Oleh karena itu para pujangga jawa beralih pada karya sastra.

Kecerdasan para pujangga jawa tersebut patut diteladani. Memang penulisan sejarah dalam bentu karya sastra memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: peristiwa sejarah dapat menjadi pangka tolak sebuah karya sastra, menjadi bahan baku, tetapi tidak perlu dipertanggungjawabkan terlebih dahulu. Peristiwanya, situasi, kejadian, cukup diambil dari khazanah accepted history-nya bagi hal-hal masa lampau, atau dari common sense bagi peristiwa kontemporer. Prosedur kritik, interpretasi dan sintesa tidak diperlukan oleh sastra sebagaimana sejarawan.

Penciptaan karya sastra sejatinya juga memakai unsur-unsur yang tidak berbeda dengan penulisan sejarah. Karya sastra dalam bentuk drama misalnya. Ia juga memerlukan tema, situasi, dan tokoh yang saling terjalin guna menjadi sebuah plot (Bernard Grebanier, 1965). Demikian juga dalam pembuatan novel, mesti memakai unsur-unsur cerita, plot, fantasi, prophesi, serta pola-pola ritme (E.M Foster, 1978).

Pada prinsipnya, peristiwa sejara baik sebagai kejadian tunggal maupun situasi tertentu dapat menjadi dasar karya sastra. Misalnya karya Tolsteoy War and Peace yang mengambil setting waktu penyerbuan Napoleon ke Rusia. Demikian halnya fakta sejarah yang berbentuk “particular truth”. Dokter Zhivago karya Boris Pasternak misalnya. Karya sastra ini mengambil bentuk particular truth masa revolusi Rusia. Jika Tosley mengambil masa lampau, sementara Pasternak mengambil kejadian kontemporer sebagai bahan pembuatan karya sastranya.

Selain itu, dalam penulisan sejarah maupun sastra juga dibutuhkan fantasi atau imaginasi. Jika dalam sejarah, imaginasi diperlukan sejarawan untuk me-recontruction, resurrection atau reenactment masa lampau. Tanpa kapasitas imaginasi, seorang sejarawan tidak akan mampu menggambarkan peristiwa sejarah layaknya kehidupan alami manusia. Sementara dalam sastra, sejarah bukan saja sebagai ornamen-ornamen “paes-paes,” tetapi juga sebagai struktur. Ia turut berperan secara a priori dalam usaha merekonstruksi sejarah. Pendek kata, data sejarah dipergunakan karya sastra sebagai sarana mengejawantahkan gambaran yang koheren dan berkesinambungan.

Keterbatasan sejarah—meminjam istilah Kuntowijoyo—terletak pada obyeknya yang mengaktual dimasa lampau dan menutup diri di balik waktu. Sebaliknya dalam sastra, obyek justru terletak dalam jangkauan waktu, praktis tanpa pembatasan-pembatasan intelektual dan material. Pelaku dan kejadian dalam sastra bisa saja semuanya imaginer, sementara penulis hanya mempertanggungjawabkan pekerjaan cerita. Pertanggungjawaban kebebasan pengarang semata-mata hanya terletak pada kejujurannya.

Penulisan sejarah versi sastra berbentuk novel dibuat secara apik oleh Pramudya Ananta Toer dalam Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa—yang sempat kena cekal pemerintah orde lama dan orde baru. Dalam novel tersebut, Pram berhasil menyuguhkan kurun sejarah, hubungan antarmanusianya, perubahan-perubahan sosial pada peralihan abad 20. demikian halnya novel-novel karya Abdoel Moeis, Surapati dan Robert anak Surapati, atau Tjoet Nja Din—buku yang diterjemahkannya dari bahasa Belanda karangan M.H. Szikely-Lolufs.

Meski sastra (novel) sejarah tetap sebagai sebuah karya imaginer, tetapi kebenaran sekaligus realitas sejarah dapat diketemukan dari unsur historical authenticy (keaslian sejarah), historical faithfulness dan authenticity of local colour yang terkandung dalam karya tersebut.

Unsur historical authenticy (keaslian sejarah) yang dimaksud adalah kualitas dari kehidupan batin, moralitas, heroisme, kemampuan untuk berkorban, keteguhan hati, dan sebagainya, yang khas dari suatu zaman. Unsur historical faithfulness (kesetiaan sejarah) merupakan keharusan-keharusan sejarah yang didasarkan pada basis sosial ekonomi rakyat yang sesungguhnya. Misalnya kisah tragedi Roro Mendut yang menggambarkan “keharusan sejarah” dalam sistem birokrasi patrimonial Mataram, sistem alokasi kekuasaan dan perang tradisionalnya.

Sementara local colour adalah diskripsi yang setia tentang keadaan-keadaan fisik, tata-cara, peralatan dan sebagainya yang membantu memudahkan penghayatan sejarah. Meski ada komentar miiring J. Huizinga bahwa sejarah dalam versi sastra tetap tidak mampu menggantikan tulisan sejarah, tetapi setidaknya nilai-nilai kebenaran yang diusung karya sastra tetap merupakan keunggulan tersendiri yang independen tanpa bakalan terpengaruh pada hegemoni penguasa.

Sudah saatnya para sejarawan dan sastrawan saling bahu-membahu membuat sejarah dalam versi sastra, baik berujud novel, drama, puisi, prosa dan sebagainya. Melalui sejarah versi sastra, rekonstruksi sejarah yang autentik bisa disuguhkan pada masyarakat dan generasi penerus, tanpa merasa was-was pada otoritas penguasa. Jika kebenaran sejarah tidak mulai diungkap, sampai kapan bangsa ini hidup dalam kebohongan sejarah ?

*) Agus Wibowo, Esais Sastra, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Dijumput dari: http://agus82.wordpress.com/2007/10/21/menulis-kebenaran-sejarah-versi-sastra/

Bahasa »