Fedli Azis
riaupos.co
Hall B yang disulap menjadi gedung kampus Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) sejak 2002, tak lama lagi akan dirubuhkan. Gedung bernama Ediruslan Pe Amanriza (sastrawan Riau) itu, penuh coretan, baik tulisan maupun karikatur tentang luahan hati para mahasiswa dan alumni kampus seni swasta satu-satunya di Sumatera. Para mahasiswa itu segera meninggalkan gedung kenangan tersebut dan menumpang di gedung Dewan Kesenian Riau (DKR).
RATUSAN pasang mata tertuju pada layar putih berukuran 4×4 meter yang dipajang di salah satu dinding gedung tersebut. Mata yang berkaca-kaca itu hanya menatap suguhan gambar-gambar dari ruang-ruang seperti kelas, kantor, panggung dan lainnya. Visual ruang-ruang kosong itu menjadi ingatan bersama yang sulit lupakan. Di ruang-ruang itulah, mereka melakukan aktivitas kreatif sebagai mahasiswa.
Gambaran itu hanya berdurasi lima menit namun mampu membuat air mata mereka tumpah ruah. Bagi mereka, ruang itu akan menjadi kenangan terindah setelah gedung yang mereka manfaatkan sejak 10 tahun terakhir. Bahkan Pendiri AKMR Taufik Ikram Jamil terlihat ‘matan’ menyaksikannya, begitu pula Ketua Yayasan Pusaka Riau (YPR) Syaukani al Karim serta Pembantu Direktur III AKMR Menrizal Nurdin yang tampak hadir di malam itu. Sastrawan Riau Yoserizal Zen yang juga hadir tegas-tegas mengatakan, ‘’saya salut pada para mahasiswa dan alumni AKMR. Mereka tetap kompak meski sudah sekian lama terpisah oleh aktivitas masing-masing.’’
Pesta penutup pemakaian gedung tersebut mereka beri nama: Jelaga (Recup-recup Energi). Sebuah perhelatan seni yang dilaksanakan dari pukul 16.00 WIB hingga 03.00 WIB. Tidak kurang dari 20-an pertunjukan seni mereka bentangkan sebagai lanjutan dari upacara penghormatan yang dilaksanakan tepat pukul 18.00 WIB di halaman kampus yang tak lama lagi disulap pula menjadi kawasan bisnis. Apa nak dikata, layaknya orang meminjam harus rela mengembalikan pada yang empunya. Menariknya, dalam upacara yang berdurasi 30 menit itu, para peserta berikrar yang berbunyi:
Jelaja (Recup-recup Energi)
Hari ini, recup-recup energi kita perlihatkan bahwa di belakang tugu ini adalah kampus Akademi Kesenian Melayu Riau.
Beberapa hari lagi, kampus ini akan diruntuhkan dan kita sepakat.
… Dan kita sepakat bahwa kampus ini adalah tempat kita bertemu dan bertukar ilmu pengetahuan.
Jika dikemudian hari, pemerintah kita lupa, tetangga kita lupa, teman kita lupa dan di antara kita juga lupa, maka kita perlu mengatakan, …. Orang yang lupa dengan bisikan kata kimbek.
Pengucapan ikrar secara bersama-sama yang dibacakan Monda Gianes (staf pengajar) itu diakhiri dengan sorak-sorai semua peserta upacara serta ratusan warga yang menonton di halaman kampus AKMR, komplek Bandar Serai (purna MTQ) sebagai akhir acara di sore harinya. Sebelum itu, belasan anggota Sindikat Kartunis Riau (Si Kari) yang diketuai perupa Riau Furqon Elwe berekspresi menghiasi dinding kampus tersebut dengan dengan gambar-gambar syarat makna. Begitu juga performing art yang disuguhkan Husin dan Deni dan pagelaran musik di halaman kampus itu mendapat apresiasi dari pengunjung Bandar Serai.
‘’Dibilang sedih ya sedih. Bayangkan saja, di sinilah kami pernah belajar, bertukar pikiran membentang karya-karya, baik karya ujian atau mandiri selama menjadi mahasiswa dulu. Tapi mau dibilang apa, semuanya berakhir begini. Ya, kami harap kampus baru yang dijanjikan pemerintah itu benar-benar dibangun lebih layak dan representative,’’ ungkap Alumni Jurusan Tari, Lisda yang diamini beberapa alumni tari, musik dan teater.
Diramaikan Zapin dan Lukah Gilo
Kurang lebih 20-an karya seni ditampilkan sejak pukul 19.30 WIB hingga menjelang pagi. Tak hanya seni modern, kesenian tradisi seperti tari zapin, randai Kuantan dan permainan lukah gilo menjadi suguhan yang menarik untuk disaksikan. Lebih menariknya, suguhan pagelaran kesenian tidak sekadar diisi para mahasiswa dan alumni AKMR, bahkan pelaku seni lainnya seperti Suharyoto (Metateater), Ardiansyah alias Anud Solo Akordion, suguhan musik dari Mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR) dan lainnya. Bahkan seorang mahasiswa musik yang menjadi salah seorang pertukaran pelajar Australia dan Indonesia yakni Hanaka, melakukan kolaborasi dengan mahasiswa AKMR.
Sastrawan Indonesia asal Riau Taufik Ikram Jamil juga ambil bagian lewat pembacaan puisi-puisinya. ‘’Saya bangga pada mahasiswa dan alumni AKMR sekarang. Mereka sudah mahir di percabangan seni yang mereka pelajari di kampus ini. Mudah-mudahan mereka akan terus melahirkan karya-karya bernas,’’ katanya di sela-sela pertunjukan seni lainnya.
Dalam berekspresi, para pelaku seni yang mengisi acara tak hanya memanfaatkan panggung utama sebagai tempat karyanya dinikmati. Mereka bisa main di mana saja dan keluar masuk dari mana mereka suka, terutama seni teater dan tari. Artinya hall yang luas itu adalah panggungnya. Suasana malam itu benar-benar akrab dan cukup melenakan ratusan orang yang memadati gedung tersebut.
Tari zapin tradisi yang dipersembahkan dua putra terbaik Meskom (kampung zapin Bengkalis) Hendra dan Pian menjadi suguhan yang paling mengesankan. Keduanya benar-benar fasih mengikuti rentak musik zapin yang dimainkan Desmaridit dan kawan-kawan dengan gerak langkah serta memperlihatkan berbagai ragam dalam tarian zapin. Meski di AKMR keduanya mengambil jurusan musik, namun menari masih menjadi ‘makanan’ sehari-hari mereka.
‘’Kami memainkan beberapa ragam/bunga tari zapin yang sudah kerap kami mainkan di kampung dan berbagai acara di Pekanbaru. Bahkan saat tampil tadi kami tidak perlu latihan. Cukup sepakat saat akan memainkan ragam/bunga dalam tarian tradisi tersebut,’’ ulas Hendra usai penampilan.
Menurutnya, di Meskom, baik musik dan tari zapin masih tetap lestari hingga hari ini. Apalagi, hampir semua masyarakat di sana bisa memainkannya, dari anak-anak sampai orang tua. Kedua mahasiswa ini, selain mahir menari zapin juga cukup baik dalam memainkan musiknya. Ditambah lagi, di kampus AKMR, baik tari maupun musik zapin dipelajari secara intens oleh mahasiswanya. ‘’Semoga saja seni tradisi ini tetap dipertahankan, dipelihara dan terus dikembangkan sesuai dengan kemajuan zaman,’’ timpal Pian.
Sedang permainan lukah gilo yang disuguhkan Adi Firma, mahasiswa jurusan musik AKMR juga menambah kesan sakral pada acara Jelaga (Recup-recup Energi). Adi mengatakan, bahwa malam ini ia ingin benar-benar menggila dengan menampilkan dua karya yakni musik dan lukah gilo yang biasa dimainkan di kampungnya Rokan Hilir. ‘’Malam ini, saya akan benar-benar menggila sebagai kenangan terakhir di kampus kita tercinta ini,’’ katanya meyakinkan.
Adi Firma sendiri bertindak sebagai sentral dari permainan yakni sebagai bomo (dukun, red) yang ditemani dua mahasiswa AKMR, Slamet dan Ridho sebagai pemegang lukah genting yang sudah dihias seperti manusia dengan kostum baju hitam. Untuk menggerakkan lukah ke kiri dan ke kanan, Ade hanya menggunakan selendang (cindai, red) berwarna putih. Ia membisikkan sesuatu kepada lukah yang di atasnya diberi seperti kepala manusia, terbuat dari labu kering. Suasana menjadi lebih magis saat mantera-mantera mulai ’muntah’ dari mulutnya yang diiringi dengan lambaian selendang ke kiri dan ke kanan. Lukah gilo menggila, pemegang lukah berusaha menahan gerakan lukah yang digerakkan entah oleh siapa hingga beberapa menit. Gerakan lukah semakin cepat sehingga kedua pemegang lukah menyerah dan melepaskan begitu saja. Permainan itu dilakukan berkali-kali dengan pemegang lukah yang berbeda-beda.
Pertunjukan malam itu, ditutup dengan penampilan musik komposisi oleh Blacan Aromatic (Matrock Cs), kolaborasi Akordion Angga dan Ridho, Solo Akordion (Anud) dan pagelaran teater tradisi randai Kuantan. Meski berlangsung hingga pagi, tidak banyak dari penonton yang hadir meninggalkan gedung tersebut. Bahkan belasan orang Australia dari pertukaran pelajar Australia-Indonesia tetap bertahan hingga usai. ‘’Inilah akhir dari pertunjukan seni yang kami gelar di gedung tercinta ini,’’ kata Monda Gianes mengakhiri. Baik alumni, terutama mahasiswa AKMR tentunya sangat mengharapkan bangunan baru kampus mereka segera terealisasi.
Ditambah lagi, dalam berbagai pertemuan Gubernur Riau HM Rusli Zainal berjanji akan membangunnya sesegera mungkin dengan bantuan tahap pertama sebesar Rp5 miliar. Paling tidak, bangunan akademi kesenian satu-satunya di Sumatera dan kampus seni kedua di Sumatera yang sedang mengupayakan naik kelas ke Starata Satu (S1) dalam tahun ini dapat memiliki bangunan layak guna. Walaupun gedung Ediruslan Pe Amanriza terbilang teramat sederhana namun mampu memacu kreativitas para mahasiswa, apatah lagi gedung baru yang mudah-mudahan setera dengan kampus lain di Riau.
***
5 Februari 2012