Zulfikar Akbar *
Sastra tidak selalu harus menyembah pada keindahan. Kendati saat merujuk pada definisi sastra cenderung mengarah pada keindahan yang dicirikan sebagai ruh sastra. Tetapi, sastra itu, menurut saya yang sama sekali bukan pakar sastra, ia lahir sebagai perwakilan peradaban, wakil manusia yang tentu saja juga diperuntukkan pada yang diwakilinya, manusia.
Kesimpulan itu berkelebat, setelah siang tadi bertemu rekan tidak sebaya saya, Kang Pepih Nugraha di sebuah warung makan bersisian dengan kantor Kompas.
“Banyak yang seperti termakan pandangan, bahwa eksplorasi yang berhubungan dengan seks dipandang sebagai hal yang menarik. Lantas kemudian disulap menjadi air bah dalam tulisan-tulisan sastra atau sekadar berbau sastra,” demikian kira-kira katanya. Karena memang kalimat sesepuh Kompasiana yang juga jurnalis Kompas yang menggemari sastra tersebut saya rekam di kepala saja, bukan pergunakan recorder.
Nah, saat ia sedang menyampaikan pandangan yang berhubungan dengan penetrasi kelamin ke dalam sastra–yang sedikitnya juga merangsek ke Fiksiana. Saya sendiri membatin sambil tetap mendengar pandangan beliau,”Lha tetapi seks memang indah, toh?” Celetukan tanpa bunyi saya itu sama sekali bukan untuk mendebat kritik Pepih terhadap sastra berbau kelamin.
Hanya saja, saya sedang mencoba mematut-matut soal seks, sastra dan keindahan. Mencoba sedikit berempati pada mereka yang demikian berselera pada soal seks, sampai merasa sastra pun tidak lengkap tanpa adanya seks dengan semua bumbunya. Menerka-nerka, mungkin alasan mereka adalah karena yang berhubungan dengan seks itu memang indah, sampai meyakinkan mereka bahwa dengan menulis seks akan membuat sebuah tulisan–saya tidak menyebut sastra–akan menjadi lebih indah.
Mencoba jernih-jernihkan pikiran saya dari subjektifitas, namun tetap menduga-duga, mereka yang menulis demikian barangkali juga sedang mencoba memenuhi tuntutan materi baca yang demikian dari sebagian pembaca–pembaca yang memiliki interest lebih pada seks. Itu baik, saya kira. Hanya saja, sastra kukira tidak melulu mengabdi pada kebutuhan, apalagi sekadar kebutuhan bawah perut.
Sebab, jika mengembalikan ulang bahwa sastra adalah perwakilan peradaban. Maka seyogianya, sastra itu bermain di wilayah “perut ke atas” yang notabene terdapat hati, rasa, dan akal. Jika kemudian sastra malah mengabdi pada “perut ke bawah,” sulit saya cari-cari alasan bahwa karya ’sastra’ demikian adalah perwakilan peradaban. Sederhananya, tidak butuh pendidikan tinggi dan pemikiran mendalam jika sekadar untuk membicarakan seks!
Also Published in: Protagoni
(Untuk ikuti obrolan sastra, silakan bergabung di Forum Komunikasi Sastra)
*) Pegiat media, copy writer, content writer. Tertarik pada masalah-masalah sosial, sastra, juga budaya masyarakat nusantara. Selain juga berminat pada Sufistik dan Zen.