SULUK PESISIRAN
Penerjemah: Dr. Simuh, Drs. H.M. Wasyim Bilal, Drs. Mundzirin Yusuf, dan Drs. Mohammad Damami
Puitisasi: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Mizan, Bandung, 1989, 98 halaman
Peresensi : Sugiarta Sriwibawa
http://majalah.tempointeraktif.com/
Samudera yang luas/ Di mana tepinya/ Tentang papan tanpa tulisan/ Bunga teratai tanpa telaga/ … Lampu menyala tanpa sumbu/ Daun hijau tanpa batang/ Muazin tanpa bedug/ … Memintal sekali jadi/ Tanggal satu tapi bulan purnama/ Tuturkanlah, apa maknanya.
PUISI tersebut merupakan rangkuman pertanyaan seorang pengembara kepada seorang penghulu tentang ilmu sejati. Nukilan puisi itu adalah terjemahan dari sastra suluk, yaitu sastra dalam bentuk tembang macapat yang berisi wejangan, baik melalui perlambang maupun dengan penjabaran, perihal mistik atau tasawuf.
Dalam bentuk ganjaran atau prosa, disebut wirid. Adapun kata suluk, menurut pendapat umum yang diperkuat oleh Dr. Simuh yang ahli sastra kejawen, dapat dirunut dari kata Salak at-Tariq: menempuh jalan (tasawuf) atau tarekat.
Konon, pada abad ke-17 dan ke-18 di wilayah pesisiran, yaitu pantai utara Pulau Jawa, terutama di lingkungan Kesultanan Cirebon, di kalangan para ahli tasawuf atau mistik banyak dilantunkan tembang yang memanjatkan pujian akan keesaan dan keagungan Allah. Terkadang tembang itu diiringi dengan bunyi-bunyian.
Kata suluk selanjutnya lebih dikenal dalam dunia pewayangan karena para wali pun menggunakan wayang sebagai sarana dakwah. Lagi pula, dalam pedalangan sering dituturkan ajaran moral, kebatinan, dan mistik, yang memuncak pada lakon Bima Suci atau Dewa Ruci dari babon Nawa Ruci.
Lakon mistik ini banyak persamaannya dengan cerita Seh Malaya atau Seh Melaya dalam sastra Jawa, yang mengisahkan pembicaraan antara Sunan Kali Jaga dan Nabi Kilir. Naskah-naskah sastra suluk yang beraksara Jawa dan Arab Pegon itu sampai kini masih terawat baik di perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV), bahkan banyak yang sudah disalin ke dalam huruf Latin dan dalam bentuk mikrofilm. Adapun kutipan suluk di atas adalah nukilan dari Suluk Pesisiran (tercatat di bawah kode LOr atau Codese Leidse Orientalia 7375).
Mengapa naskah suluk Pesisiran yang terdiri dari 41 suluk itu melayang dari Cirebon sampai Leiden? Semula naskah itu milik Sultan Adiwijaya dan Penghulu Abdul Kahar, yang selanjutnya pada tahun 1896 oleh Patih Bratadiwijaya diserahkan kepada Dr. Snouck Hurgronje. Dan beberapa waktu yang lalu dalam rangka penelitian ilmiah, ke-41 suluk itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Simuh dan rekan-rekannya. Selanjutnya sepuluh suluk di antaranya dipuisikan oleh Emha Ainun Nadjib.
Ciri utama Suluk Pesisiran ialah menonjolnya paham manunggaling kawula lan Gusti, menghadapnya abdi kepada sesembahannya, atau dalam peristilahan yang lebih luas: menyatunya mikrokosmos dan makrokosmos. Hal ini sudah barang tentu mengingatkan kepada paham Al Hallaj dan Ibnu Arabi.
Sedangkan dalam suasana sastra sufi kita mudah teringat akan karya Faridu’d-din Attar Mantiqu’t-Thair, yang diterjemahkan oleh Hartoyo Andangjaya menjadi Musyawarah Burung (PJ 1983). Sastra suluk Jawa pun mengenal Suluk Peksi atau Suluk Burung karangan Yudha Nagara, yang menokohkan tiga ekor burung: puyuh, pelatuk, dan perkutut, yang dengan asyiknya berembuk tentang agama dan kehidupan makhluk.
Walaupun paham kawula-Gusti sedikit banyak menampakkan paham mistik zaman pra-Islam, suluk Cirebon ini cukup awas terhadap tarikan yang secara tidak sadar dapat menuju pada pembelokan:
Banyak orang tergelincir syirik/ Terjebak jadi kufur/ Atau munafik jalan sembahnya/ Atau sibuk meraba-raba/ Yang sejati tak jelas baginya/ Tapi guru tak dicarinya. Syariat pun dikumandangkan: Nyi Selobrangti turun pelahan-lahan/ Akan mengambil air sembahyang/ Shalat ashar hendak ditegakkan/ Nyi Centhini mengikuti/ Telah diambilnya air pemujan/ Mengikutinya bersembahyang/ Siap memuja, sajadah dihamparkan/ Kemudian shalat pun didirikan.
Masih banyak naskah suluk yang tersimpan di Leiden yang perlu kita terbitkan, baik dalam aksara Latin maupun terjemahannya, dalam bahasa Indonesia, antara lain Suluk Aspiya, Suluk Wujil, Suluk Jati Rasa, Suluk Lusang, Suluk Nala Kirdha Among Raga, Suluk Purwa Sari Rasa.
Hampir menjadi pendapat umum bahwa penerjemahan karya sastra hanya dapat ditangani oleh sastrawan pula, apalagi puitisasi. Barangkali perlu pula ada varian dari kata-kata Chairil Anwar: Yang bukan penyair tidak ambil bagian, menjadi: Hanya penyair yang dapat ambil bagian.
Dan ini dibuktikan oleh penghayatan Emha Ainun Nadjib atas Suluk Gedhong (15) sebagai ciri khas suluk:
Kalau dipandang ada, Ia ada, anakku/ Hendaklah engkau waspada manatap-Nya/ Lantaran tak ada lagi selain Ia/ Tinggal bagai keheningan/ Satu Wujud Abadi.
Penerjemahan atau puitisasi karya sastra menjadi hak sepenuhnya bagi penerjemah dan penghayatnya yang mempuisikannya.
10 Maret 1990