Sajak-Sajak Alya Salaisha-Sinta

http://www.lampungpost.com/
Celoteh Matahari Menjelang Pagi

Di pagi buta bulan Oktober
Matahari kecil itu
Berceloteh tentang embun
: mengecup ubun-ubun
Tahukah kau, matahari itu
Telah lama kugali bersama air mata
Hingga sungai-sungai hidup di pipiku
: aku merindukanmu
Maka tak bosan aku menimangmu
Dengan nyanyian paling merdu
Sampai habis segala syair
Segala yang liris
Dan jalan mengantarku pulang

2011

Tidurlah Hisyam

Jika malam ini

Angin menerbangkan
Mimpimu -lagi-
Maka aku tak segan
Mengembangkan layar
Dari kedua telingaku
Agar kau tetap lelap
Bersama jutaan bintang
Aku penunggumu,
Meluruhkan malam
Tanpa pejam
Hingga embun
Mengganggu subuh
Tidurlah Hisyam,
Biar sari susuku
Mengendap di tulangmu
Juga risalahku
Terlukis di senyummu
: esok hari

2011

Kuhanyutkan Sajakmu di Laut-laut

sudah,
cukupkan semua sajak
yang kau tumpuk
di halaman rumah kita
: aku lelah
biar esok
sebelum embun
membuatnya semakin dingin
kuseret sajakmu itu ke pantai
lalu kuhanyutkan
bersama tarian ombak
— begitu pula namamu —
terlunta di laut
terdampar di pulau-pulau
dan hilang
namun entah,
aku menemukannya lagi
di sarapanku pagi ini

2011

Setiap Mengingat Januari

setiap mengingat Januari
ada gerimis yang jatuh di wajahku
lalu kau menghapus dan melarungkan
entah ke laut mana
tapi, sejauh-jauh aku melaut
sampai juga di pulau: — kaukah menunggu
di dermaga, tanpa asap rokok
dan lambaian? —
sebuah tanda telah mengilhami
nama bagi puisi-puisiku:
“panggil aku hisyam,” kata puisi itu
dan aku cukup mengecup senyumnu
melelapkan ke dalam hari-hariku
: ke sari susuku –

2011

Ada yang Kuperam di Sini

ada yang kuperam di sini
di rumah kabut bagimu berlabuh. juga
di rumput hijau yang mulai menghitam
sebab kemarin mentari terlalu terik bersinar
waktu berlalu tapi selalu kunamai dengan nama bunga:
mawar, melati, kenanga, kamboja si bunga mati
hingga taman terindah kini singgah di tubuhku
kau bahkan memakai gaun tembus pandang
berdebu-debu menempel di kulit tubuhku, mengikutiku,
menyelamiku, mengendap di taman tubuhku
tanpa pernah kutahu selain aroma tubuh yang
kerap menghampiri ujung-ujung jemariku
“aku akan bersamamu,” katamu merdu
dan aku percaya. sebab ada yang kuperam di sini
di rumah kabut bagimu berlabuh. juga
di rumput hijau yang mulai menghitam
sebab kemarin mentari terlalu terik bersinar

Pangkalpinang, 14 Maret 2011-08.34 WIB

Alya Salaisha-Sinta, lahir di Jombang, Jawa Timur, 26 Maret 1986. Alya yang baru saja mendapat momongan ini menetap di tiga kota: Bekasi, Pangkalpinang, dan Natar, Lampung Selatan. Menulis puisi dan mengikuti lomba baca puisi sejak di bangku kuliah di Politeknik Unila (kini: Politeknik Negeri Lampung—Polinela). Sejumlah puisinya beberapa media dan antologi bersama. /18 December 2011

Bahasa »