Kambing

Rilda A. Oe. Taneko
http://www.lampungpost.com/

PASIEN itu berdiri mematung. Keraguan terlihat enggan meninggalkannya. Ia telah mengidap kanker selama dua tahun. Dan kambing itu satu-satunya harapan. Kambing itu berbulu cokelat, tidak gemuk dan tidak tua. Bahkan menurut Sarip, nama pasien itu, kambing itu terlalu muda.

Ia melihat Sarip kembali memandangi mata kambing itu. Mata yang selembut susu, biru abu-abu. Sedetik kemudian ia melihat keraguan di mata pasiennya itu bertambah.

Ia menarik tali ikat kambing, kambing mengembik dan dengan patuh mengikutinya ke pinggir kebun. Di pojok kebun terdapat kandang sapi. Di salah satu tiang bambu kandang itulah ia mengikatkan tali kambing.

Sarip mengikuti dari belakang.

“Bagaimana, apa kau siap?” tanyanya.

Sarip terdiam, menunduk dan memerhatikan kuku-kuku jari tangannya yang menghitam. Sementara ia sendiri memerhatikan pasiennya itu. Sarip masih berusia kepala tiga, tapi ia tampak seperti berumur lima puluhan. Tubuh yang kurus, wajah sayu dan kepala yang botak. Hanya matanya yang masih terlihat menyimpan semangat.

Sarip kembali menatap padanya dan ia masih membaca keraguan di mata Sarip.

Lalu Sarip kembali menunduk. Kali ini memerhatikan kuku-kuku kakinya yang menghitam, juga sandal jepit tua yang ia pakai. Sarip menghela napas dalam.

Sarip telah menyerah, pikirnya. Sarip sudah menjalani tiga paket kemo. Ia sudah kehabisan uang.

Dari Sarip ia tahu bahwa setiap kali Sarip berhasil menyelesaikan satu paket kemo, dokternya mengatakan dan memastikan bahwa ia telah bebas dari kanker. Dan setiap kali mendengar kabar demikian, Sarip dan istrinya, Ami, merasa sangat bahagia. Namun, di pemeriksaan lanjutan, dokter memberitahu, sel kanker telah kembali tumbuh.

Sarip berkata setiap tetes cairan kemo mengaliri nadinya, ia merasa seperti berputar-putar di roller-coaster raksasa. Tak tahu kapan roller-coaster itu akan berhenti. Naik-turun-putaran terjal, hari-hari penuh muntah.

Dan sekarang Sarip dihadapkan dengan kemo keempatnya.

Sarip pun sudah habis-habisan menjual semua yang ia punyai. Rumah, mobil, tanah, bahkan perhiasan emas milik istrinya, Ami. Sarip tak tahu dengan cara apa ia akan membayar perawatan kemo selanjutnya.

“Bagaimana?” tanyanya lagi, menghembuskan asap kretek dari bibirnya. Bau kemenyan memenuhi udara sekitar.

Ia melihat Sarip kembali melirik kambing di pojok kebun. Kambing itu sedang memamah rumput hijau dan dedaunan. Kemudian Sarip mengangkat bahu.

“Tak lama, hanya satu jam saja. Setelah itu kamu akan sembuh selamanya,” ia berusaha meyakinkan.

Keraguan di mata Sarip makin terlihat nyata. “Bolehkah aku berpikir dulu?” Sarip bertanya.

Ia meludah ampas keretek ke tanah merah. Kemudian ia mengangguk. “Tapi jangan lama,” katanya, “Kita tak pernah tahu kapan waktunya akan datang.”

Sarip terlihat menelan ludah. Sekejap kemudian Sarip mengangguk. “Tak lama, sore nanti aku kembali.”

Ia pun mengangguk.

Sebelum pulang Sarip kembali menjenguk kambing yang diikat. Menatap lama pada mata kambing itu. Ia pandangi Sarip yang melangkah lunglai sampai hilang ditelan jalan.

Mereka akan menyerah …

Mereka akan datang tak lama lagi …

Mereka akan kembali menggurat sejarah yang sama …

*

SETIBA di rumah, ia menemui istrinya, Ami, sedang sibuk memisahkan daun benalu dari daun teh. Ami duduk di lantai keramik putih, menghadap pada dua tampah bambu yang sangat lebar. Satu tampah diperuntukan bagi daun benalu saja.

Sudah dua tahun ia meminum air rebusan daun benalu. Rasanya luar biasa pahit. Namun, benalu yang tumbuh ditubuhnya tak juga musnah.

Ia sering bermimpi buruk. Di dalam mimpinya akar-akar kanker melibat organ-organ dalam tubuhnya dan memusnahkan semua sel yang mereka lalui. Akar-akar itu menjalar-jalar, berawal dari paru-paru lalu ke darah dan tulang. Di dalam mimpinya, ia dapat melihat akar-akar itu berwajah. Bermata dan bermulut. Ia dapat mendengar mereka tertawa.

Mendengar langkah kakinya, Ami menoleh. “Bagaimana pertemuanmu dengan si Mbah?”

Ia ikut duduk di lantai, menghadap tampah bambu dan mulai memetiki satu per satu daun benalu.

“Bagaimana tadi, Sarip?” Ami bertanya lagi. “Kenapa kelihatan tidak semangat begitu?”

Ia mencoba menggaruk kepalanya yang botak. Kulit kepalanya kering dan rambut yang dulu lebat sekarang telah habis, rontok. “Ya begitu,” jawabnya.

“Ya begitu apa?”

“Aku sudah melihat kambingnya.”

“Lalu?”

Ia memandang istrinya. Rambut yang indah. Wajah yang cantik. Matanya yang bulat lebar memandangnya lembut, selembut mata seorang bayi. Ia menunduk kembali, menghadapi dedaunan benalu.

“Aku butuh waktu.”

“Tapi kita tak punya banyak waktu,” lirih Ami berkata.

Ia terdiam. Ya, pikirnya, ia tak pernah tahu kapan kematian akan menjemputnya. Perkiraan dokter, karena kankernya sudah stadium lanjut, 3B, setengah tahun untuknya sudah sangat baik.

Ami menyentuh tangannya. “Apa yang ditunggu?”

“Aku ragu.”

“Kenapa ragu?”

Ia berpikir sejenak, apakah ia harus utarakan alasannya. Ia takut ia akan terdengar tak masuk akal.

Ami terus menatap matanya, menunggu jawab.

“Aku tidak tega.”

“Tidak tega?” tanya Ami. “Pada kambing?”

“Ya, pada kambing.”

Kali ini Ami yang terdiam lama, sebelum akhirnya berkata, “Kita makan kambing, kan?”

“Ya,” angguknya.

“Lalu?” Ami bertanya.

“Tapi ini berbeda. Aku merasa seolah mengorbankan kambing itu.”

“Kita mengorbankan kambing kan? Begitu juga Nabi Ibrahim.”

“Tapi ini berbeda. Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya, yang lalu berubah menjadi kambing, demi perintah Tuhan.”

Ia mendesah dan melanjutkan, “Kalau ini, aku merasa seolah melawan perintah Tuhan. Melawan takdirku sendiri.”

Ami terdiam lama. Lalu ia bertanya, “Apa ada cara lain untuk sembuh?”

“Aku tidak tahu.”

“Semua sudah kau tempuh.”

Ia mengangguk.

“Kau mau seorang shinsei mengiris-iris tubuhmu, hingga kau berlumuran darah.”

Ia mengangguk.

“Kau bersedia ditusuk-tusuk ribuan jarum.”

Ia mengangguk.

“Tapi tidak dengan kambing? Tidak tega?”

Ia menghela napas dalam.

“Kau sudah berjanji akan berobat ke mana saja dan dengan cara apa saja.”

“Tapi penyakit ini takdirku, Ami. Bukan takdir kambing itu.”

Ami memandangi daun-daun benalu yang terhampar di tampah bambu. “Lalu apa takdirku, Sarip? Kehilangan kau?”

Ia terdiam, memandangi wajah istrinya. Lalu ia menjatuhkan wajahnya ke pundak Ami.

“Begitu cintakah kita pada hidup, Ami?”

“Bukankah kematian adalah alami. Seperti bunga yang tumbuh lalu layu dan mati?”

“Apakah tidak mungkin kematian lebih indah dibanding kehidupan?”

*

IA dan suaminya datang ke rumah dukun itu. Rumah bata tanpa pagar yang memunggungi senja. Rumah itu terlihat sunyi. Di pojok kebun, di sudut kandang sapi, seekor kambing diikat pada salah satu tiang bambu. Ke pojok itulah, ia mengajak suaminya melangkah.

Kambing yang berbulu cokelat. Tidak gemuk dan tidak tua. Bahkan, menurutnya, kambing itu terlalu muda. Ia memandangi mata kambing itu. Mata yang lembut, seolah ada selaput kabut tipis membungkus retina biru keabu-abuan.

Ia merasa kerongkongannya tiba-tiba kering. Ia menelan ludah. Ludah itu terasa pahit.

Tapi ia tak melihat ada jalan lain. Suaminya, Sarip, telah dua tahun mengidap kanker. Ia tidak ingin kehilangan Sarip. Kambing itulah satu-satunya harapan.

Ia beranikan diri mengetuk pintu.

Sang dukun sendiri yang membukakan pintu. Rambutnya gondrong dan wajah berlubang. Cambang yang lebat tak terurus. Kalung dan gelang akar bahar. Menampakkan bibir dan gigi-giginya yang hitam, dukun itu menyeringai.

“Aku tahu kalian pasti akan datang.”

Ia terdiam, “Kalian?” tanyanya.

“Ya,” dukun itu terkekeh, “tentu saja istri akan datang menemani.”

Sang dukun membuka pintu lebar-lebar, memersilakan ia dan Sarip masuk ke dalam, kemudian menutup pintu.

Tak ada kursi atau meja di ruang yang mereka masuki. Hanya ada dua dipan bambu dan sebuah tikar usang. Ia mencium bau kemenyan.

“Duduklah,” kata sang dukun, menyila pada tikar. “Aku ambil kambingnya dulu.”

Sang dukun berlalu ke belakang rumah. Ia terdiam. Genggaman Sarip pada tangannya terasa menguat. Sarip pun diam sedari tadi. Ia memandang pada mata Sarip. Mata yang lembut. Mata itu tersenyum padanya.

“Kamu yakin?” tanyanya.

Sarip tersenyum, “Apa saja aku lakukan untukmu, Ami.”

Mendengar jawaban Sarip, ia merasa tak nyaman. Ia merasa ada yang salah. Juga dengan sejarah. Ia tidak ingin menjadi bagian dari kesalahan. Bukan Hawa yang membujuk Adam untuk menyalahi perintah Tuhan. Bukan Hawa. Dan juga bukan dirinya.

Sang dukun masuk kembali ke dalam ruangan. Dari tangannya yang besar dan berbulu lebat menjulur seutas tali. Tali itu mengikat leher seekor kambing. Kambing mengembik. Matanya yang biru keabu-abuan memandang padanya penuh iba.

Sang dukun mengangkat kambing itu dan meletakkannya pada sebuah dipan bambu. Ia mengikat kaki-kaki kambing, dua kaki menjadi satu. Kambing itu tidak berontak, ia hanya mengembik pelan.

“Tidurlah di dipan ini,” perintah sang dukun kepada Sarip, sambil menunjuk pada dipan yang kosong.

Sarip menurut. Dengan pasrah ia tidur di dipan bambu. Sang dukun menarik sebuah tungku liat berjelaga kecil dari sudut ruang. Dukun itu merapal mantra yang entah artinya apa.

Ia mencium bau kemenyan.

“Kau akan sembuh sebentar lagi,” sang dukun menyeringai pada Sarip. “Setelah ini, kambing itu yang akan menderita penyakitmu.”

Dukun itu mengangkat tungku di atas kepala Sarip, menghembuskan asap kemenyan ke tubuh Sarip. Lalu dukun itu berpindah ke dipan sebelah. Melakukan yang sama pada kambing. Kambing itu mengembik.

Tiba-tiba saja ia berteriak.
*

MALAMNYA, di kamar mereka, Ami dan Sarip tidur berpelukan. Sarip bermimpi, akar-akar kanker di dalam tubuhnya menjalar-jalar menuju ke kaki. Akar-akar itu keluar keluar telapak, masuk ke dalam tanah dan menembus inti bumi. Sarip dapat melihat akar-akar itu berwajah. Akar-akar itu bermata. Dan Sarip dapat mendengar dirinya sendiri tertawa.

Ami menggeliat bangun. Ia mendengar suaminya, Sarip, tertawa-tawa dalam tidurnya. Ami dapat melihat, dari jari-jemari tangan suaminya, akar-akar menjalar keluar. Akar-akar itu memanjang, menggapai dan membelit tubuhnya.

Ami merasa sangat nyaman. Ia merasa telah membetulkan sesuatu yang salah. Juga dengan sejarah. Ia ingin menjadi bagian darinya. Bukan Hawa yang membujuk Adam untuk menyalahi perintah Tuhan. Bukan Hawa. Dan juga bukan dirinya.

Akar-akar itu masuk ke kulit-kulit Ami, menjalar-jalar di dalam tubuhnya dan menembus ke jantung. Ami tertawa. Ia merasa amat bahagia.

Lancaster, Januari 2012