Bandung Mawardi
http://www.harianjogja.com/
Kabar telah tersiar dan mengundang tanya. Perawatan dan pengelolaan delapan kerbau bule keturunan Kiai Slamet dialihkan dari Keraton Solo ke Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ). Berita ini mengingatkan kita tentang makna kerbau dalam arus peradaban Jawa, masa lalu dan masa sekarang. Kerbau dalam sejarah Jawa menjadi bab penting bagi elite tradisional, petani dan pemerintah kolonial. Kerbau dimaknai dari sakralitas sampai komoditas memakai nalar kapitalistik.
Kebijakan pengalihan delapan kerbau itu bersinggungan dengan pariwisataisme, ekologi kultural Jawa dan simbolisme. Dana makanan kerbau-kerbau itu diperkirakan Rp 80 juta setahun. Dana itu belum diimbuhi rusan kandang, pengobatan, atau fasilitas lain. Pengelola TSTJ mengakui kerbau belum potensial dijadikan komoditas andalan demi menarik minat pengunjung.
Para pengunjung mungkin cenderung memilih menonton gajah atau rusa. Kerbau bule di kebun binatang berbeda maknanya dibandingkan saat berada di keraton atau saat mengikuti kirab. Beda makna ini seolah sudah mengandung pesan dilematis: kerbau dalam bingkai ritus tradisional Jawa dan kerbau sebagai aset untuk pendapatan di kebun binatang.
Pihak keraton menganggap hibah delapan kerbau bule itu sebagai ikhtiar mendongkrak pariwisataisme Solo. Nalar ini lazim dalam ambisi pencitraan dan pendapatan, konsekuensi dari kuasa pariwisata dalam menggerakkan ekonomi kota. Pesan kultural memang ada tapi menipis oleh makna kerbau dalam gagasan uang.
Orang memandang kerbau dan potret bersama kerbau mesti memberi kompensasi tiket (uang). Sikap ini belum tentu dibarengi dengan tafsiran historis, politis, kultural dan spiritual. Kerbau seolah dijauhkan dari simbolisme dan dunia makna. Kita mesti ingat, kerbau tak sekadar komoditas, kerbau adalah penanda gerak peradaban Jawa.
EF Slijper dalam Manusia dan Hewan Piara (1954) menduga binatang kerbau telah ditemukan di Nusantara sejak zaman Neolithikum (3000 SM-1700 SM), tapi daerah sebaran belum bisa dipastikan. Informasi ini cukup memberi refleksi tentang peran kerbau dalam peradaban perburuan, perladangan dan pertanian dalam kehidupan moyang pada masa lampau. Kita juga bisa menelisik makna kerbau melalui relief-relief di candi atau karya sastra.
Relief kerbau ada di Candi Borobudur dan Candi Sojiwan. Kerbau pada masa lalu adalah tokoh dalam pengajaran moral dan budi pekerti di masyarakat Jawa. Banyak cerita rakyat menggunakan tokoh kerbau. Relief bercerita di dua candi itu membuktikan metode pembelajaran masyarakat tradisional dekat dengan dunia imajinasi-ekologis: mengambil tokoh-tokoh hewan dan simbol-simbol alam.
Buku Kisah Kerbau dan Kera (2002) terbitan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah bisa jadi sumber refleksi historis dan kultural. Intisari dari buku ini adalah pertentangan antara rasa iri dan sikap menghormati. Kerbau diceritakan setia pada petani, rajin dan bekerja keras, santun, tidak suka marah dan menghormati sesama hewan. Kerbau itu sangat diperhatikan oleh keluarga petani dengan diberi makan dan dimandikan.
Hal ini membuat kera iri hati. Kera itu juga dipelihara keluarga petani tapi sekadar untuk hiburan karena lucu. Iri hati membuat kera kehilangan sopan santun. Kera kerap menghina kerbau kendati tahu rasa cinta dari keluarga petani dilimpahkan pada kerbau. Limpahan cinta itu sebagai kompensasi jasa-jasa kerbau yang rajin membajak sawah.
Etos kerja
Relief cerita tentang kerbau dan kera mengandung ajaran moral, simbolisme agraris dan etos kerja. Kita tidak memaknai sebagai dongengan bocah, bacaan hiburan, kisah klise. Kebermaknaan kerbau tampil sebagai representasi dunia nilai dan pandangan hidup kaum petani di Jawa. Kerja di sawah, merawat kerbau, merayakan hidup dalam kemakmuran adalah idealitas peradaban agraris. Kerbau jadi simbol etos kerja, tanda gerak pertanian dan nasib petani.
Sindhunata (2010) menjelaskan kerbau dalam kepercayaan masyarakat Jawa merupakan patron bagi pertanian. Kerbau mencerminkan kekuasaan dan kebudayaan agraris. Kerbau juga menjadi simbol dari mentalitas rakyat di hadapan penguasa dan alam. Kerbermaknaan kerbau mengandung proses transformasi sosial, ekonomi, politik, dan kultural. Kerbau sebagai simbol terus ada dengan sekian tendensi pembacaan dan penafsiran.
Peran kerbau dalam geliat peradaban Jawa turut menentukan eksistensi para penguasa Jawa. Kultur sawah dan peran kerbau menjadi ukuran kemakmuran desa, pengejawantahan praktik kekuasaana elite. Sejarah Mataram dalam politik pangan ditopang peran dan pengaruh kerbau. Makna politis ini kelak menjadi urusan genting karena kebijakan pertanian elite tradisional dan pemerintah kolonial membuat derita.
Petani hidup dalam kemiskinan, represi politik dan kultural. Kerbau jadi sasaran sitaan dan pengerukan modal. Petani kerap kehilangan kerbau dan sawah. Petani tanpa sawah dan kerbau berarti mengalami kematian eksistensial, hidup hampa makna, mereka diabsenkan dari kerja sebagai jelmaan ibadah hidup.
Makna politis kerbau dalam kekuasaan bisa kita tilik melalui uraian Raffles dalam The History of Java. Orang Sunda menyebut kerbau dengan nama munding, orang Jawa menyebut dengan nama maesa atau kebo. Sebutan munding itu dijadikan penghormatan untuk jasa seorang pangeran, sosok pemula dalam memperkenalkan cara bertani. Konon, para pangeran dan bangsawan di Sunda mendapati gelar mengacu pada sebutan maesa lalean dan mundingsari.
Fragmen-fragmen sejarah itu mengajarkan arus pemaknaan kerbau dalam pelbagai konteks. Hari ini, kerbau dalam nalar pariwisatisme adalah komoditas. Pemaknaan ini seolah menjauh dari rentetan jejak peradaban di Jawa. Pandangan pariwisatisme-ekonomistik juga diimbuhi dengan makna politis mutakhir.
Kita mungkin ingat peristiwa sebuah demonstrasi pada 2010. Kerbau diajak berdemonstrasi di Jakarta dengan isu-isu politik-ekonomi nasional. Kerbau mungkin dijadikan simbol kelambanan, kegemukan dan kebodohan. Kerbau jadi acuan polemik politik. Indra Tranggono (2010) menafsirkan kerbau bisa menjelma sebagai kekuatan simbolik, semiotik dan semantik saat diletakkan dalam konteks politik.
Kita bisa memberi tafsir mutakhir. Hibah delapan kerbau bule dari keraton untuk TSTJ merupakan sambungan dari pemaknaan kerbau. Nasib dan peran kerbau di kota tentu beda dengan kerbau di sawah. Makna kerbau di keraton tentu beda dengan makna kerbau di kebun binatang.
Nalar pariwisataisme dan geliat ekonomi kota menjadikan kerbau lazim sebagai komoditas memakai bingkai kultural Jawa. Imajinasi historis atas kerbau dan arus peradaban Jawa mesti kita mengerti sebagai refleksi sadar diri untuk menghormati kerbau.
Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo /29/5/2011