Ketika Puisi (Harus) Ditulis dari Tangan Penyair Muda

Fiyan Arjun
sabili.co.id

yang terhormat
yang Mulia
katanya sembako di negeriku akan turun
tapi aku masih ragu?
apa iya yang naik bisa turun?
(Yth. Yang Mulia: Mr. Rich-Fiyan Arjun)

Di atas adalah potongan puisi saya yang menjadi sepuluh besar dalam rangka lomba puisi untuk menyuarakan hati kepada Sang Ibu Pertiwi—dengan mengambil tema “Kado untuk Indonesia 2011”. Lomba puisi yang diadakan di dunia maya (online) yang baru saja usai ketika saya menulis essay ini.

Memang selintas puisi tersebut seperti mengungkapkan rasa jeritan hati atau meminta kebijakan kepada pemerintah terhadap kondisi rakyat Indonesia dewasa ini. Saya ingin mengungkapkan dan mengeluarkan segala isi perut saya tentang hal keadaan negeri ini. Entah didengar atau tidak. Entahlah. Bagi saya sudah melakukan hal terbaik sebagai rakyat Indonesia. Taat hukum. Bayar pajak (listrik dan telepon) serta simpati dan empati atas apa dialami oleh saudara-saudara saya yang tak bernasib mujur. Bukankah itu lebih baik ketimbang tidak? Bukankah begitu sebagai rakyat Indonesia?

Hingga hal ini mengingatkan saya apa yang dikatakan oleh Pablo Neruda bahwa dunia puisi dan penyair adalah dunia yang sangat mengerikan, sehingga tidak ada tempat bagi penyair selain nyerih dan darah. Dan itu termaktub di dalam puisinya ”Titik Terakhir”. Ia menuliskan bagaimana keadaan sesungguhnya seorang penyair jika dihadapkan oleh situasi seperti apa yang saya tuliskan di atas. Selain hanya bisa mengungkapkan apa yang bisa dirasakan dan dituliskan dengan keadaan yang dihadapinya.

”Tidak ada ruangan yang lebih luas daripada nyeri. Tidak ada alam semesta yang damai daripada alam semesta yang berdarah.” Begitu Neruda dalam puisinya ”Titik Terakhir” menyuarakan isi hatinya.

Ya, jika untuk mengambil contoh tidaklah usah jauh-jauh, apalagi mengambil penyair dari luar, di sini pun (baca: Indonesia) ada. Dan itu ada pada diri ”Si Binatang Jalang” Chairil Anwar di dalam dunia kepenyairan. Ia eksis karena berani meradang dan menerjang terhadap realitas pada zamannya sehingga keberaniannya ia pun kemudian terbuang dari realitas tersebut. Memang dunia puisi dan penyair (saat itu) merupakan dunia ketegangan dan pertentangan. Dunia yang sangat mengerikan. Penyair lebih banyak melawan arus daripada sebaliknya, kompromis. Tetapi justru karena adanya ketegangan itulah, penyair menjadi eksis halnya Chairil Anwar lagi-lagi pada saat itu.

Hmm…begitu ”angker”-nya dunia puisi dan penyair saat itu.
Tapi bagaimana ya jika dunia puisi dan penyair sekarang ini—yang diramaikan oleh para pendatang baru. Penyair muda. Apakah setahan dan sekuat apa yang dilakukan Chairil Anwar pada masanya. Sedangkan saat ini banyak sekali penyair-penyair muda, katakanlah para penyair muda— yang menggebu-gebu menyuarakan isi atau jeritan hatinya dengan menuliskan ke dalam bentuk puisi? Apakah jika hal itu terjadi pada mereka sehingga merasa terhalangi oleh kreativitasnya bisa setegar Chairil Anwar. Entah, terhalang oleh peraturan (hukum) maupun dari hantaman para penyair yang lebih dahulu berkecimpung di dunia ini? Katakanlah lagi-lagi senior. Semoga saya berharap hal itu tidak terjadi dalam dunia puisi dan kepenyairan di Indonesia saat ini. Cukuplah Chairil Anwar saja yang merasakan saat itu kita sebagai Chairil Anwar –Chairil Anwar selanjutnya yang dibungkus oleh kecanggihan tekhnologi. Tetap harus bisa mengungkapkan apa yang ada dibenak serta diungkap dalam tulisan dalm bentuk puisi.

Menurut Saini KM pun bilang penyair ialah ia yang berani berdiam diri di kuil-kuil di tengah hutan. Pun dengan Alm, Ramadhan KH (Ayahanda dari Gilang Ramadhan, drummer serta musisi Indonesia) berpesan pula penyair ialah ia yang harus berani menjadi kayu dalam sebuah pembakaran. Lalu sebagai penyair pada saat ini ada dimanakah posisi kita? Di kuil-kuil di tengah hutan atau menjadi kayu dalam sebuah pembakaran? Nah, lho apalagi jika hal ini diserahkan kepada para penyair muda. Bisa jadi asal pilih sesuai egonya dan sesuai prinsipnya walau hal itu salah kaprah mereka memilih. Hmm, susahnya memang jadi penyair muda. Ingin ini salah, ingin itu khawatir, alih-alih malah menjerumuskan diri ke limbah yang mestinya perlu dihindarkan. Duhai, kau penyair muda sabarlah kau untuk menjalani dunia ini…

Kalau begitu apakah semacam itu kita tempatkan dalam fenomena kesusatraan? Memang hal ini tiada yang melarang. Siapa pun boleh berpendapat bahawa membludaknya penyair dan puisi dewasa ini adalah sebuah perkembangan yang mesti disambut dengan gembira. Akan tetapi bagaimana pun kajian terhadap fenomena ini akan melewati aspek-aspek yang sangat rumit, jika puisi tidak ingin terjebak ke dalam ”metafora pasar” yang diciptakan berbagai kalangan.

Maka untuk itu sebelum kita terlanjur mengungkapkan perasaan di benak dan di hati ke dalam puisi lebih dahulu coba pahami apa pengertian dari puisi itu? Apalagi untuk para penyair pemula ini wajib harus diketahui begitu pun dengan siapa saja yang ingin terjun di dunia ini.

Puisi dari bahasa Yunani kuno: poiéo/poió, menurut Wikipedia Eksiklopedia Bebas, adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya. Dan yang membedakan puisi dari prosa beberapa ahli modern berada di segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima serta mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas.

Memang puisi pada khususnya dan sastra secara umum adalah sesuatu yang justru dihadapkan pada metafora semacam itu. Ia harus berani bertentangan dengan berbagai slogan yang kian mewabah. Dan sebab puisi menggunakan kata sebagai bahan primer sekaligus sebagai senjatanya, penyair harus semakin hati-hati dalam memakai kata. Namun jika hal ini dihadapkan kepada para penyair pemula bisa-bisa seperti buah simalakama. Tidak ada pilihan lain kecuali hanya sebagai catatan harian saja. Duhai, kau penyair pemula sabarlah kau untuk menjalani dunia ini…

Ya, dengan kata lain sebagai penyair haruslah betul-betul dipertimbangkan bahkan sampai kepada akarnya seperti dilakukan Chairil Anwar. Penyair bukanlah wali apalagi nabi. Begitu kata Chairil Anwar dalam sebuah pidato radionya ia berkata demikian.” Wahyu dan wahyu itu ada dua dan tidak semua wahyu adalah wahyu.” Maka jika puisi telah menjadi kata yang hilang makna, apalagikah yang dapat diharapkan dari sajak? Ironi sekali mendengarnya.

Jika semacam itu terjadi apakah kita bisa menempatkan dalam fenomena kesusatraan? Siapa pun boleh berpendapat demikian! Membludaknya puisi dan penyair dewasa ini adalah sebuah perkembangan yang mesti disambut dengan gembira. Serta ditandai banyaknya orang yang memilih hidup sendiri, meradang dan menerjang terhadap realitas zaman yang terus mengimpit serta kian banyaknya orang yang berani berkata jujur membahasakan realitas itu.

Akan tetapi bagaimana pun kajian terhadap fenomena ini akan melewati aspek-aspek yang sangat rumit. Kalau begitu jika puisi tidak ingin terjebak ke dalam ”metafora pasar” yang diciptakan berbagai kalangan apalagi penyair muda. Lagi-lagi penyair muda yang menjadi tumbalnya haruslah pandai-pandai memilih kondisi yang tepat untuk mengungkapkan segala yang ada di benak dan di hati. Apalagi sekarang maraknya puisi-puisi yang ”disebarkan” secara gratis di dunia maya. Situs jejaring sosial yang kini menjadi primadonanya para penyair-penyair muda—yang ikut bagian bersuara untuk mengungkapkan segala kegundahannya semata. Tanpa melihat estetika diksi dan metafor yang ditulisnya dan tanpa melihat ketentuan yang ada dalam berpuisi.

Memang jika dicermati khususnya puisi dan sastra secara umum adalah sesuatu yang justru dihadapkan pada metafora semacam itu. Ia harus berani bertentangan dengan berbagai slogan yang kian mewabah. Karena puisi menggunakan kata sebagai bahan primer sekaligus sebagai senjatanya para penyair. Penyair harus semakin hati-hati dalam memakai kata. Dengan perkataan lain kata harus betul-betul dipertimbangkan bahkan sampai kepada akarnya seperti dilakukan Chairil Anwar. Penyair bukanlah wali apalagi nabi

Alhasil, jika karya puisi hanya bisa dibuat untuk mencatat luka dan sebagai ungkapan jeritan hati semata—dan kata tak pernah dipertimbangkan lagi lalu meminta dilegitiminasi sebagai penyair mau tidak mau puisi itu hanya sebagai perangkap slogan saja. Sehingga puisi juga menjadi ”metafor pasar” jika penyair sudah takut menulis sendiri dan jika tidak siap menjadi ”:penghuni kuil-kuil di tengah hutan dalam sebuah pembakaran” sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim yang berani mengembara ke dalam bara.

Maka dari itu sebagai penyair lagi-lagi bagi penyair muda janganlah asal menuliskan tulisan ke dalam puisi saat hati sedang terluka dan ingin memprotes keadilan di negeri ini dalam keadaan yang labil. Alih-alih puisi yang ditulis hanya sebagai catatan luka atau buku harian saja setelah itu dibuang ke tempat sampah. Lalu lenyaplah di makan rayap modernsisai. Untuk itu dengarkan duhai, kau penyair pemula sabarlah kau untuk menjalani dunia ini. Dengarkan pesan dari Hans Magnun Enzesberger agar kuat menjalani dunia ini. Jangan tulis puisi, anakku! Bacalah jadwal-jadwal keberangkatan.! Waspadalah. Jangan bernyanyi…”

13 Februari 2012.