Damhuri Muhammad*
Padang Ekspres, 01 Mar 2009
SEPINTAS lalu mungkin sukar memetakan hubungan antara puisi dan pasar. Sebab, pasar yang dimaksud di sini tidak dalam artian tempat puisi bisa diperjualbelikan—seperti toko buku, peristiwa-peristiwa pameran, bazar-bazar dan sejenisnya—melainkan pasar yang sesungguhnya, tempat para pedagang meneriakkan nama dan harga barang dagangan masing-masing, berikut dengan segala bujuk-rayu dan taktik-taktik jitu, agar lekas dihampiri pembeli. Setipis apapun kemungkinan hubungan itu, tapi sejarah kesusasteraan Arab telah mengungkapkan fakta perihal hubungan yang berkelit-kelindan antara puisi dan pasar. Dan, tak hanya berhenti sampai di situ, para pengkaji sastra Arab klasik bahkan nyaris berketegasan bahwa tanpa pasar, apresiasi puisi di kurun “jahiliyah” itu tiada bakal menyala-nyala sebagaimana adanya.
Peristiwa itu berlangsung pada abad ke-5 M, persisnya ketika pasar ‘Ukaz menjadi ajang perlombaan baca sajak hasil karya para penyair masa itu. Pelbagai genre sajak berhamburan dalam keriuhan pasar itu, mulai dari ghazzal (rayuan untuk perempuan), madh (pujian-pujian untuk petinggi suku yang memenangkan perang antar kabilah) hingga sajak-sajak rasya’ (ratapan untuk pahlawan yang gugur di medan tempur). Di pasar itu pula kompetisi terjadi, dan sajak-sajak yang terpilih sebagai pemenang akan beroleh imbalan yang tak tanggung-tanggung; ditulis dengan tinta emas, dibingkai, lalu dipajang di dinding Ka’bah. Penghargaan bergengsi yang diidam-idamkan oleh semua penyair. Himpunan sajak-sajak terseleksi itulah yang dalam catatan sejarah kelak dikenal dengan muhazzabat (yang ditulis dengan tinta emas) dan muallaqat (yang digantung di dinding Ka’bah).
Thomas Patrick Hughes, dalam Dictionary of Islam (1895) mencatat tujuh nama penyair Arab terkemuka yang lahir dari tradisi muhazzabat dan muallaqat ini, antara lain: Zuhair, Trafah, Imrul Qays, Amru ibn Kulsum, al-Haris, Antarah dan Labid. Di antara ketujuh penyair itu, yang paling berpengaruh dalam khazanah sastra Arab adalah Imrul Qays (wafat tahun 550 M), sebagaimana diakui oleh al-Ashma’i dalam bukunya al-Fuhul asy-Syuara’ (1971). Menurutnya, Imrul Qays adalah pionir bagi para penyair “jahiliyah” lainnya. Ibnu Qutaibah dalam asy-Syi’ir wa asy-Syu’ara (1969) mencatat, di masa selanjutnya, bahkan tokoh penting, Umar bin Khattab pernah memuji kepiawaian penyair ini. Khalifah kedua setelah Abu Bakar Siddieq itu bilang, Imrul Qays adalah pencipta mata air puisi bagi para penyair di zamannya.
Ketersohoran Imrul Qays sukar dilepaskan sajak-sajak ghazzal-nya yang dianggap tabu dan vulgar oleh kaum Quraish masa itu. Aku menyukai orang hamil dan menyusui/bukan anak gadis yang perawan dan ranum/tiada kupedulikan perut dan anak yang merengek di pangkuannya/tatkala tubuhnya terperangkap di tubuhku, begitu salah satu versi terjemahan puisi “lendir” Imrul Qays. Ibnu Qutaibah juga meriwayatkan, akibat imaji ketubuhan yang diusungnya dalam sajak, Imrul Qays terusir dari rumah hingga akhir hayatnya. Penyair itu menjadi “bohemian” tulen, hidup menggelandang di jalanan, terlunta-terlunta di pasar ‘Ukaz dalam kemiskinan yang sedemikian parah. Kalaupun ia masih bisa berbesar hati, itu karena sajak-sajaknya terus-menerus menuai ketakjuban dan decak-kagum dari para penggila syair-syair ghazzal.
Kisah tentang pengusiran Imrul Qays lantaran sajak-sajaknya yang bersemangat ketubuhan itu cukup mencengangkan. Betapa tidak? Bukankah sejarah telah menegaskan bahwa masa “jahiliyah” itu adalah sebuah kurun ketika tatanan masyarakat Arab masih belum terpagari oleh norma-norma dan etika? Tapi nyatanya ada sebagian di antara kaum Quraisy yang mengutuk dan mencela sajak-sajak bergelimang lendir karya Imrul Qays— meskipun sebagian yang lain memberikan apresiasi yang berlebihan hingga dengan sangat terbuka dan leluasa dideklamasikan di pasar ‘Ukaz. Atau barangkali gejala ini tak lebih dari akal-akalan dan muslihat “orang-orang pasar” dalam membangun dan mendongkrak popularitas para penyair muallaqat?
Namun, terlepas dari semua kontroversi di balik sajak-sajak ghazzal yang serba berterus-terang dan bertelanjang itu, Imrul Qays memang hendak memperlihatkan sebuah gairah pencarian terhadap kesadaran puitik yang sama sekali baru, setidaknya bila diukur dan ditakar dengan langgam estetika sastrawi sastra “jahiliyah”. Penyair itu membangun semacam metafora baru yang tanpa disadarinya ternyata telah melampaui konvensi-konvensi bahasa yang masih merujuk pada masa lalu seperti tergambar dalam puisinya; aku naiki kuda dalam peperangan/bagaikan belalang/lembut gemulai/jambulnya tergerai menutupi wajahnya. Kata “kuda” yang biasanya digunakan sebagai simbol kegagah-beranian di medan pertempuran antar kabilah, dialihfungsikan oleh Imrul Qays menjadi sebuah pengamsalan ganjil yang ternyata dianggap janggal dan bermasalah di masa itu; simbol kejantanan laki-laki yang tergeletak menjadi pecundang di atas ranjang. Akibatnya, “kuda” itu bagai “belalang” yang gemulai, atau lemah syahwat, lebih tepatnya. Selain itu, menurut Al-Marzabani dalam Al-Muwassiyah (1965), sajak-sajak Imrul Qays juga melanggar kelaziman struktur puisi Arab yang setiap baitnya tidak boleh saling bertentangan, setiap kata saling mengokohkan, hingga membentuk kesatuan makna yang utuh dan tak tergoyahkan—dalam terminologi sastra Arab disebut Qafiyah.
Namun, semua keganjilan dan ketaklaziman dalam sajak-sajaknya itulah yang membuat nama Imrul Qays semakin berkibar dan mentereng dalam sejarah puisi Arab. Hingga kini ia dikenang sebagai penyair Arab legendaris. Al-Ashama’i (1971) mensinyalir, nama besar Imrul Qays justru ditandai oleh gairah pemberontakan terhadap tradisi kepenyairan di masanya, dan pencapaian kasadaran puitik yang menyimpang jauh dari konvensi-konvensi sastra zaman itu. Namun, yang juga mengherankan, di masanya, Imrul Qays tetap saja menjadi penyair yang terusir, dicerca dan dimaki lantaran ia tiada kunjung berhenti menggubah sajak-sajak ghazzal yang meresahkan itu. Nama besarnya berbanding terbalik dengan riwayat dan peruntungannya, yang sudah tidak mungkin diterima di rumahnya sendiri, yang terlunta-terlunta dan dikebat kemelaratan, yang hidupnya menggelandang. Kalaupun masih ada tempat ia berpulang, itu hanya ke pasar ‘Ukaz. Di pasar itu rumah kepenyairan Imrul Qays, dan bila tiba saatnya, juga bakal menjadi kuburannya…
* Damhuri Muhammad, Cerpenis, Bermukim di pinggiran Jakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/03/pasar-sebagai-rumah-penyair.html