Religius Islam dalam Sastra Sunda

Djasepudin *
Pikiran Rakyat, 02 Juli 2005

MANTAN Rektor IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Rachmat Djatnika berbicara bahwa, sebelum agama Islam datang ke tatar Sunda, orang Sunda telah memiliki budaya, yang menjadi adat-istiadatnya. Gambaran ajaran dan budaya Sunda itu dapat dilihat dari pepatah-petitih, nasihat-nasihat, yang biasa didendangkan oleh anak-anak atau para remaja, yang merupakan hasil gubahan para bujangga Sunda.

Setelah Islam masuk ke tatar Sunda, baik dari arah barat maupun timur laut, Islam dianut oleh sebagian besar orang Sunda. Agama Islam tidak sulit dianut oleh orang Sunda, sebab ajaran Alquran dalam hakikatnya banyak memiliki kemiripan dengan adat yang sudah ada, meskipun materinya berbeda.

Wacana Islam adalah Sunda atau Sunda adalah Islam telah lama kita dengar dari berbagai kalangan. Pelbagai sudut pandang tentang wacana ini telah dikemukakan oleh para cendikiawan maupun budayawan. Sebagai gambaran, Teddy A.N. Muhtadin dan Deni Ahmad Fajar dengan apik dan baik telah menyusun kumpulan makalah ataupun tulisan ilmiah lainnya yang mengupas fenomena ini dalam satu buku yang diberi judul “Islam dan Sunda dalam Akulturasi Timbal Balik.”

Islam dan Sunda adalah ibarat gula jeung peueutna, keduanya tak mudah dipisahkan, menyatu dalam satu racikan nan bermutu. Orang Sunda tidak dikatakan Sunda kalau tidak ngislam, begitu pun sebaliknya, tidak afdal rasanya jika orang Islam di tatar Sunda jika tidak nyunda. Keduanya saling memberi juga saling melengkapi. Hal ini tidak hanya diakui oleh orang Sunda sendiri. Bahkan seorang misionaris sekelas Snouck Hourgronje sekalipun pernah mengatakan bahwa, selain Urang Minang, Ki Sunda juga dikenal sangat kental dengan keislamannya.

Islam-Sunda atau Sunda-Islam getarannya dapat dirasakan dalam pelbagai dimensi kehidupan. Termasuk dalam karya sastra. Sapardi Djoko Damono pernah bilang bahwa, sastra menampilkan gambaran kehidupan. Sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuailkan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Saini K.M lalu menanggapi, karya sastra yang dihasilkan pengarang harus melewati suatu proses kegiatan yang dinamakan kreativitas (rancage). Unsur terjelmanya kreativitas diperlukan dua unsur. Yaitu kesadaran manusia, yang memayungi kepekaannya, pikirannya, perasaan dan hasratnya. Dan unsur yang kedua adalah realitas, yaitu rangsangan-rangsangan, sentuhan-sentuhan, dan masalah-masalah yang melingkupi dan menggiatkan manusia itu.

Karena kehidupan masyarakat etnis Sunda terkenal dengan keislamannya, maka kerancagean para pengarang Sunda dalam bersastra hasilnya pun tidak akan jauh dari karya-karya yang berbau religius.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata Religius berarti hal yang bersifat religi, bersifat keagamaan: Religi kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia: Kepercayaan (animisme, dinamisme): agama.

Sedangkan menurut Subijantoro Atmosuwito religius berasal dari kata latin religare berarti mengikat, religio berarti ikatan atau pengikatan, dalam arti bahwa, manusia harus mengikatkan diri pada Tuhan. Adapun religius adalah keterikatan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan.

**

DALAM ajaran Islam istilah religius pengertiannya sepadan dengan istilah aqidah. Menurut Nashir Abdul Karim, aqidah menurut bahasa berasal dari kata aqad, ‘ikatan’, penguatan, pemantapan dan pengikatan dengan kuat. Sedangkan menurut istilah, aqidah adalah keimanan yang teguh, yang tidak dihinggapi suatu keraguan apa pun bagi pemiliknya.

Subijantoro Atmosuwito lalu memberi definisi bahwa, religiusitas adalah religius feeling or sentiment atau perasaan keagamaan, perasaan keagamaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Misalnya perasaan berdosa, perasaan takut, dan kebesaran Tuhan.

Sedangkan menurut Sayid Sabiq, religiusitas adalah keimanan, keimanan merupakan akidah dan pokok, yang di atasnya berdiri syari’at Islam, kemudian dari pokok itu keluarlah cabang-cabangnya yang berupa perbuatan (amal). Perbuatan dan keimanan, atau dengan kata lain aqidah dan syari’at. Keduanya itu antara satu dengan yang lain sambung-menyambung, berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Nilai religius Islam dalam sastra Sunda dapat dilihat dari pelbagai sudut pandang. Bisa dari nama dan asal pengarangnya. Judul karangan yang diberikannya. Ataupun hakikat karangan yang dibuatnya.

Nama dan asal pengarang merupakan pamuka lawang untuk meraba apakah karya tersebut bermuatan religius atau tidak. Tentunya nama-nama pengarang yang berawalan Taufik, Rahmat, Muhammad, Hidayat, Fitri, Anisa, atau Abdullah serta nama-nama yang berakhiran Maulana, Mubarok, Musa, ataupun Nurzaman selain nama-nama tersebut memang telah menjadi ciri khas nama-nama orang Sunda (Taufik menjadi Opik, Muhammad menjadi Mamad atau Omod, dan Abdullah menjadi Adul), nama-nama itu pun kuat dengan unsur keislamannya, karena nama-nama tersebut dicomot dari nama-nama pinilih yang terdapat dalam Alhadis atau Alquran.

Tempat asal pengarang merupakan unsur pendukung untuk membedah sebuah karya. Tentunya karya-karya pengarang yang tadinya berdomisili dari pesisir pantai dibandingkan dengan pengarang yang dumuk di pegunungan akan terasa perbedaannya. Pengarang yang berasal dari desa akan berbeda dengan pengarang yang tinggal di kota. Baik beda penggunaan bahasanya pun tema yang diangkatnya. Sebagai contoh karya-karya Hadi Aks (berasal dari pesisir Banten) atau Darpan Ariawinangun (berasal dari pesisir Karawang) amat berbeda dengan karya-karya Dadan Sutisna atau Dian Hendrayana, misalnya. Begitupula yang berkaitan dengan karya sastra yang bertendensi religius. Karya-karya Aam Amilia yang besar di kota metropolit Bandung (novel atau carponnya umumnya berkisahkan remaja-remaja kota) amat berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan oleh Sarabunis Mubarok (karyanya menceritakan kehidupan desa) yang memang besar di lingkungan pesantren, yakni “kota santri” Tasikmalaya

**

JUDUL karangan dalam sebuah karya sastra merupakan daya tarik pertama yang ditawarkan kepada pembaca. Bagus jeleknya sebuah karya biasanya dapat tergambar dalam pemilihan judulnya. Sejak dulu judul-judul karangan dalam sastra Sunda nuansa religiusnya begitu kental kadar keislamannya. Sebagai bukti: “Wawacan Muslimin-muslimat,” “Babad Mekah,” “Sajarah Ambiya,” “Wawacan Parasa Adam,” “Wawacan Layang Syeh,” “Hadis Iblis,” atau “Wawacan Lampahing Para Wali Kabeh.” Itu dari karya sastra lama. Dalam sastra Sunda modern pun terdapat judul-judul yang memang mendeskripsikan nuansa religius keislaman, seperti, “Jiad Ajengan” dan “Ceurik Santri” karya Usep Romli, “Dongeng Enteng ti Pasantren” karya R.A.F., “Pahlawan-pahlawan ti Pasantren” karya S.A. Hikmat, atau “Siti Masyitoh” karya Ajip Rosidi, untuk menyebut beberapa judul saja.

Sedangkan hakikat karangan yang disodorkan oleh pengarang merupakan inti sari dari nilai-nilai religius Islam. Dalam tataran ini nama dan asal pengarang serta judul karangan bukanlah harga mati untuk menghakimi kadar kereligiusan sebuah karya. Karena menurut Usep Romli, bagi sastrawan Sunda, Islam bukan satu masalah yang harus diperdebatkan. Tetapi sudah menjadi unsur yang bersatu padu. Karena itu, unsur-unsur keislaman dalam sastra Sunda, terasa, teraba, dan terlihat berkesinambungan melalui bangunan sastra seutuhnya, serta diterima, dijalankan, dikerjakan tanpa reserve.

Tidak menutup kemungkinan walaupun orang dan judul karangannya berbau “kiri” tetapi isinya lebih islami dari karya-karya yang menjual perkara keislaman. Lihatlah karya-karya Ki Umbara yang terkumpul dalam buku “Urang Desa,” atau pada karangan-karangan lainnya yang sempat berserakan dalam majalah Mangle, dengan judul-judul karangan yang terkesan mistis, seperti “Diwadalkan ka Siluman,” “Nyupang,” dan “Kasilib,” misalnya, tetapi setelah membaca secara keseluruhan justru karya-karya yang berbau jurig itu justru tendensi unsur religius Islamnya begitu kental. Ki Umbara, dalam setiap karyanya seakan mengingatkan bahwa, yang namanya setan, pocong, wewe gombel, gederuwo, kuntilanak, atau apapun namanya adalah tidak ada. Itu semua hanya khayalan manusia saja. Dan ketakutan kita pada makhluk halus tersebut dapat dikalahkan jika kita beriman dengan taat.

Jelas, memang karya-karya dalam sastra Sunda sangat kental unsur religiusnya, terutama religius Islam. Hal ini sesuai dengan pendapat yang pernah dikemukakan oleh Usep Romli bahwa, dalam setiap karyanya, baik prosa maupun pusisi, dari karya baheula hingga karya teranyar, hampir semua pengarang pernah mengekspresikan keyakinannya selaku muslim. Meskipun tidak selamanya masalah keislaman dijadikan tema, tetapi warna keislaman selalu kentara.

Kentalnya unsur religius dalam sastra Sunda bukanlah omong kosong belaka. Kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam tiga genre sastra berbeda; baik prosa (carpon, carita pondok), puisi, pun drama unsur religius Islam memang amat kentara dalam khazanah sastra Sunda. Setidaknya tiga orang sarjana telah membuktikannya. Mereka itu adalah: Ence Ali Sajidin dengan judul skripsi “Aspek Religiusitas Naskah Drama Carem” Karya R.H. Hidayat Suryalaga; Munawar Holil dengan judul skripsi “Aspek Religius Dalam Kumpulan Cerpen Jiad Ajengan karya Usep Romli”; dan Asrimaya Tejawulan dengan judul skripsi Religius “Islam Dalam Kumpulan Puisi Kalakay Mega karya Soni Farid Maulana.”

Rekreasi karya-karya sastra yang bernuansa religius terus belangsung. Baik dalam genre wawacan, sisindiran, guguritan hingga genre sajak, carpon dan drama. Melihat fenomena semakin banyaknya karya sastra yang dikhususkan bermuatan keagamaan, terutama setelah karya-karya Ki Umbara banyak mewarnai khazanah sastra Sunda, Ajip Rosidi menamai karya sastra yang menekankan pada unsur religius itu dengan istilah “sastra dakwah.”

Kiwari, sastra dakwah tidak hanya menjamur di petamanan sastra Sunda saja, dalam sastra Indonesia pun sami mawon. Apakah hal ini petanda kila-kila yang dilontarkan John Naisbith dan Patricia Aburden telah sampai pada uganya, dalam ramalannya, beliau berkata, pada abad XXI agama dan bahasa daerah akan menjadi dagangan penting. Wallahu’alam.***

*) Djasepudin, penulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Pernah sekolah di SD Kandang Roda, Nangewer dan SMP Negeri 2 Cibinong, Bogor.
Dijumput dari: http://www.kompasiana.com/djadjas