Spirit Toleransi untuk Kerukunan

Siti Muyassarotul Hafidzoh *
http://www.lampungpost.com/

Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama. Irwan Masduqi. Mizan, Bandung, Desember 2011. Xxxi + 310 halaman

BANGSA Indonesia masih belum lupa pada berbagai kasus yang sangat mencederai kerukunan umat beragama. Berbagai kasus itu, antara lain penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor, bom bunuh diri di Mapolresta Cirebon, pengeboman gereja di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIJ) Kepunton, Solo, dan yang terbaru pengrusakan pesantren Syiah di Sampang Madura, merupakan bukti kerukunan umat beragama masih timpang.

Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rahmat bahkan menilai konflik sunni-syiah di Jawa Timur sudah sering terjadi. Jalaluddin menyebutkan pada 2007 terjadi banyak penyerangan terhadap umat Syiah di Bondowoso, Bangil, dan Sampang. Empat tahun terakhir umat Syiah mendapatkan banyak serangan di Jawa Timur .

Konflik sosial antarumat beragama bahkan antarintern umat seagama merupakan bukti hubungan beragama masyarakat Indonesia masih dipenuhi dentuman kekerasan dan antitoleran. Masyarakat agama di Indonesia masih menggunakan kacamata kuda dalam menilai orang lain sehingga yang lahir adalah model keberagamaan yang sempit dan sepihak. Setiap terjadi perbedaan, selalu menjadi pemicu lahirnya konflik sosial. Tragisnya, berbagai konflik sosial keagamaan itu banyak diseret dalam ruang politik kekuasaan, sehingga makin memperumit dan memperuncing keharmonisan dan kerukunan umat beragama. Bukannya kerukunan yang terjadi, melainkan kecemasan dan ketakutan yang terus menghantui.

Dalam konteks inilah, buku bertajuk Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama karya Irwan Masduqi tepat hadirnya untuk memberikan perspektif baru bagi kukuhnya toleransi untuk meneguhkan kerukunan umat beragama di Indonesia. Bagi penulis, toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan apresiasi terhadap keragaman budaya dan ekspresi kita. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan, yang membuat perdamaian menjadi mungkin. Dengan mengutip Al-Kindi, penulis menjelaskan bahwa seyogianya kita tidak malu mengambil kebenaran dari mana pun datangnya, walaupun dari umat yang berbeda agama. Sesungguhnya, tidak ada yang lebih utama bagi pencari kebenaran selain kebenaran itu sendiri.

Spirit toleransi sejatinya berdiri tegak dalam doktrin ajaran Islam. Secara tegas Alquran menyatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam agama” (Al-Baqarah: 2: 256). Menjelaskan sebab turunnya Ayat ini, penulis menjelaskan bahwa ayat ini terkait seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani Salim Ibnu Auf mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk agama Nasrani sebelum Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan sebagai Nabi.

Kemudian, kedua anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya agama Islam), maka ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk agama Islam dan ia berkata kepada mereka, “Saya tidak akan membiarkan kalian berdua, hingga kalian masuk Islam.” Mereka lalu mengadukan perkaranya itu kepada Rasulullah saw. dan ayah mereka berkata, “Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka?” maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan mereka itu tetap dalam agama semula. Jadi, tidak dibenarkan adanya paksaan. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan serta dengan nasihat-nasihat yang wajar sehingga mereka masuk agama Islam dengan kesadaran dan kemauan mereka sendiri.

Spirit toleransi tertera dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari yang mengabarkan bahwa Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah). Dalam Al-Jami’ As-Shaghir, Imam al-Suyuti menjelaskan bahwa Nabi bersabda, “seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi” (afdlalu aliman al-shabru wa al-samhah). Kesabaran dan toleransi bersanding sangat dekat karena pribadi yang sabar pastilah menebarkan etos toleransi kepada sesama. Toleransi tanpa kesabaran hanyalah uapan gas yang membahayakan. Kesabaran yang berwujud dalam toleransi termanifestasikan dalam pribadi agung, Muhammad saw.

Spirit toleransi telah ditegakkan Nabi kala beliau mendirikan negara Madinah. Beliau bersama seluruh pendidikan Madinah membuat Piagam Madinah yang berisi konstitusi dalam membangun tata kelola kehidupan masyarakat Madinah yang plural. Baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan suku-suku dalam Madinah bersama-sama Nabi Muhammad menyepakati konstitusi yang saling menjaga, melindungi, menyayangi, dan toleran dengan sesama. Semua penduduk Madinah dibebaskan menjalankan agamanya masing-masing. Semua mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama dalam menjalankan ritual agama masing-masing.

Semangat toleransi yang terekam dalam buku sangat tepat untuk diaktualisasikan di Indonesia. Kegelisahan penulis buku ini tidak jauh beda dengan kegelisahan Mukti Ali, kala menjabat sebagai Menteri Agama 1971—1978. Mukti Ali (1923—2004) merasa galau dengan konflik antaragama kerap menimbulkan ketegangan yang serius, bahkan sering terjadi konflik sampai tingkat fisik. Terlebih lagi antara umat Islam dan Kristen yang sampai mengarah pada pembakaran masjid dan gereja. Melihat kondisi demikian, Mukti Ali menggulirkan gagasan trilogi kerukunan yang meliputi kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dan pemerintah.

Gagasan Mukti Ali tersebut dalam babakan sejarah kerukunan umat beragama di Indonesia terbukti mampu membangun kalimatun sawa (common denominator) sehingga tersedia landasan persamaan di tengah beragam perbedaan umat beragama di Indonesia. Dari trilogi kerukunan itu, Mukti Ali terbukti mampu menjadikan agama tidak tergiring pada proses “pengguruan iman” (desertion of faith) sehingga dalam perjalanannya agama lebih tampak pemantapan keimanan dan keyakinan, bukan peristiwa politik yang besar dan spektakuler.

Berbagai konflik keagamaan, pelan tapi pasti bisa dieliminasi sehingga kala Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, semua ormas keagamaan menyetujuinya dengan gembira dan lapang dada. Buku ini hadir memberikan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk menegakkan dan mengaktualisasikan kembali kerukunan beragama di Indonesia.

Siti Muyassarotul Hafidzoh, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta /18 March 2012

Bahasa »