Emha Ainun Nadjib
http://sudisman.blogspot.com/
Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia memilih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe seorang murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.
Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara tolol. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya selalu melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.
Coba lihat saja. Di dunia modern ada yang namanya universitas. Wah gagahnya bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini.
Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang di sebut “sarjana.”
Padahal sesungguhnya Saridin membuktikan sendiri bahwa para pelaku lembaga pendidikan dunia modern ini ndagel atawa melawak. Mereka pura-pura bikin universitas adalah manusia universal.
Padahal nanti para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala pandangnya tak lebih dari manusia fakultif.
Anak-anak didik usianya sudah dewasa ini tetap saja kanak-kanak sampai tua, karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu di kualitas fakultif atau bahkan jurusan.
Apa begitu itu namanya, kata Saridin, kalau bukan ndagel.
Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu dari bahasa Arab: kulliyah. Artinya, suatu keberangkatan intelektual, mental, spiritual dan moral menuju taraf kosmopolitanisme.
Segi lawakannya menurut Saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz’iyyah. Ya yang diterangkan di atas tadi: juz’iyyah itu artinya berangkat memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif dan parsial.
Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz’iyyah akan selalu pada akhirnya diorientasikan atau dikembalikan lagi ke spektrum kulliyah atau universalitas.
Tapi karena tradisi demikian tidak menjadi habitat utama budaya pendidikan manusia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.
Umpamanya kalau mereka disodori pakaian oleh Saridin dan tanyakan kepada mereka “apa ini?” mereka paling menjawab “ini baju, ” atau ini celana,” ini cawet.” Atau ini dasi.”
Mereka tidak pernah menjawab-ini kain, ini benang,” ini kapas” ini serat-serat,” atau mungkin ini kerjasama antara alam ciptaan Tuhan dengan teknologi ciptaan manusia.”
Pendeknya pada kesimpulan Saridin, jangkauan ilmu mereka atau dangkalnya kedalaman pengetahuan mereka itu hanya bisa diterangkan melalui dua kemungkinan acuan. Kalau tidak bodoh, ya itu: ndagel.
Kalau pembicaraan kita sampai pada soal “dasi” atau “sepatu” , yang merupakan ciri-ciri terpenting dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakannya. Kalau sudah mengingat itu, Saridin tersengguk-sengguk karena tawa dantangisnya menjadi satu keluar dari mulut dan matanya.
Dasi itu menurut pemahaman Saridin adalah benda yang benar-benar tidak bisa dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan carta menggantung diri atau menjerat leher.
Kebudayaan manusia modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian dikaitkan atau apalagi ditententukan oleh seutas kain yang dikaitkan menggelilingi leher.
Benar-benar sangat lucu. Saridin khawatir Tuhan sendiri bisa geleng-gelng kepala karena kelucuan dasi ini tingkatnya benar-benar rendah. Kepribadian itu maslah software, soal batin, mutu nilai yang rohaniah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.
Apalagi masalah sepatu. Pakailah sepatu, kata Saridin menirukan seseorang yang pernah didengarnya di abad 20, agar kakimu terlindung dari duri atau kerikil tajam.”
Padahal para pemakai sepatu justru cenderung menolak untuk berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki kelantai yang dipakai karpet tebal dan empuk.
Lantas seseorang melanjutkan, tapi sebelum pakai sepatu, pakailah dulu kaos kaki, untuk melindungi kakimu dari sepatu, agar tidak mlicet.”
Di sinilah, menurut studi Saridin , puncak lawakannya. Orang yang disuruh pakai sepatu dan kaos kaki pasti kebingungan, jadi sebenarnya sepatu ini melindungi kaki ataukah mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi dengan kaos kaki?”
***
Oleh karena itu,sejak abad 16 Saridin sudah sadar untuk tak mau di ranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndagel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg aji menjadi murid.
“Murid” itu kata subyek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya: seseorang yang berkendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kendak Tuhan.
Saridin menjdai muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subyek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan dialaminya dari Sang Sunan.
Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin sendiri yang menyusun kurikulum kesantriannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang datang ke pesantren atau sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya mengangga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang telah disediakan, itu namanya murad . Artinya, orang yang kehendaki.
Memang sih pesantrennya Sunan Kudus sudah memiliki kuyrikulum, sistem pendidikan dan metoda pengajaran tersendiri. Tetapi itu sekedar bahan dan masukan bagi Saridin. Tetapi si Saridin sendiri yang kemudian mengatur dan menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.
Jadi pada hakekatnya pesantren Saridin terletak di dalam otaknya Saridin itu sendiri. Sekolah Saridin berdiri di dalam hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas Saridin berlangsung di dalam metoda dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-spiritual Saridin sendiri.
Itulah sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.
***
Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, berarti ia menyediakan diri untuk ditindas. Padahal Saridin tahu, di dalam Islam, orang dilarang menindas, dan lebih dilarang lagi untuk bersedia ditindas.
Tapi jangan lupa pengetahuan tentang demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau Saridin begitu mbagusi ketika mentertawakan kebudayaan modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.
Bahkan ada bulan-bulan di mana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus.
Ketika Sang Sunan meminta Saridin membuktikan hapalan Qur’annya, satu juz saja, di depan para santri lainnya-dengan mantap ia menjawab: “Sunan, adalah hak asasi saya untuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur’an atau tidak.”
Demokrasi bagi Saridin ketika itu, bertitik berat pada prinsip hak asasi manusia.
Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, Saridin juga menjawab: “Saya sendirilah yang berwenang untuk mempraktekkan jurus itu sekarang . Tidak seorangpun bisa memaksa saya” .”
Tapi sebelum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontal-pontal, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka dan keseleo.
“Kalau kamu tidak sanggup menjadi pendekar, jangan bersembunyi di balik kata demokrasi!” kata Sunan Kudus sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-engah.
(Demokrasi tolol versi saridin/Zaituna/1998/PadhangmBulaNetDok)
Dijumput dari: http://sudisman.blogspot.com/2009/10/demokrasi-tolol-versi-saridin.html