Putri Utami *
__Radar Mojokerto, 11 Maret 2012
Mengamati gerakan sastra, ada bermacam konsep yang dilakukan oleh sastrawan. Sebut saja dari gerakan pencetakan buletin, majalah, buku, mengunggah karya sastra di situs internet, workshop jurnalis, perlombaan baca puisi, cerpen dan novel, pelatihan musikalisasi puisi, bedah buku, diskusi sastra di berbagai komunitas dll. Secara umum, seluruh pergerakan sastra tersebut bertujuan menancapkan basis kesusastraan yang kuat pada generasi berikutnya.
Namun seberapa jauh kekuatan gerakan sastra tersebut, kembang-kempisnya tak lepas dari sisi pendanaan, apalagi jika disejajarkan dengan bidang studi lain, sastra cenderung dimarginalkan. Setara dengan makalah Fahrudin Nasrulloh berjudul Sastra Kampus dan Tantangannya yang disampaikan saat Bedah Buku Antologi Puisi Barisan Awan Tempur karya mahasiswa STKIP Jombang angkatan 2010-D, pada 7 Januari 2012, Fahrudin merumuskan bahwa kerja kreatif apapun, yang mudah adalah mengawalinya, namun belum tentu mampu mempertahankan. Jika dirunut lebih jauh pada kalimat ‘mengawali’ dan ‘mempertahankan’ yang dimaksud berhubungan erat dengan kemauan dan sarana penunjang agar terjalin keseimbangan.
Selama ini pergerakan sastra marak di media bonafit baik lokal, regional dan nasional, walau pun masih diagendakan khusus satu hari dalam seminggu, yakni hari minggu. Di koran harian Jawa Pos misalnya, sastra dapat dijumpai dalam rubrik Ruang Putih, Cerpen dan Puisi. Sedang pada harian Kompas dapat dijumpai dalam rubrik Seni Budaya. Di harian lokal Radar Mojokerto-Jombang, sastra berada di rubrik Curhat dan Serambi Budaya. Selebihnya kita menemukan majalah khusus sastra yang terbit sebulan sekali misalnya Horison, Majalah Kidung DKJT dll.
Meski sempat goyang diterpa kehadiran media cyber, keberadaan koran besar tetap kokoh, sebab didukung oleh pendanaan serta manajemen yang kuat. Namun tetap saja tidak memadai tingkat apreseasi penggemar sastra yang membludak. Sebab pada koran besar memerlukan tingkat selektifitas yang tinggi dari ratusan karya yang masuk tiap minggu. Maka keberadaan media alternatif tetaplah menyokong keberadaan koran besar. Dari mengawali belajar berkarya di media kecil, ujungnya akan bermuara pada koran besar juga.
Resiko gerakan sastra yang bersandar pada kucuran dana anggaran baik independent atau pun pemerintah berkekuatan seberapa banyak aliran dana dianggarkan? Jika mandeg donor suntikan, mengempis pula gerakan sastra. Maka diperlukan alternatif yang memungkinkan kekuatan sastra terbangun pada pijakan basis gerakan yang kuat, yakni dana yang tidak bergantung pada satu sentral founding father tertentu, melainkan dana komunal dan koperatif yang bisa digali melalui media sponsorsif.
Sehubungan dengan perekonomian mikro, dari beberapa gerakan sastra di atas dapat ditentukan, media apa yang paling efektif dikerjakan? Efektifitas yang menyangkut besar dana, cara menggali dana, sirkulasi marketing beserta jejaring lain, bidikan arah yang tepat menuju basis pembelajaran sastra bagi penerus.
Di antara media koran, tabloid, majalah serta berbagai acara pemanggungan sastra, yang paling memungkinkan untuk dikerjakan secara sederhana adalah media kecil buletin. Dengan hanya satu-dua lembar kertas, karya dapat diapreseasi tanpa seleksi berbelit seperti majalah atau koran besar. Tentu bukan sekedar buletin sastra baku yang dimaksut, melainkan disisipkan beberapa kolom iklan sponsorsif yang sudah terjaring.
Langkah pertama yang dilakukan adalah bergerak ke toko, dieler, cafe, biro jasa, instansi dll untuk menawarkan sponsor yang harga perkolomnya disebandingkan dengan kapasitas kemampuan cetak dan sirkulasi pemasaran. Sebagai langkah awal tidak harus menarget ribuan eksemplar, cukup ratusan bahkan puluhan yang berfungsi sebagai contoh penggalian iklan.
Sistem penerbitan berbasis sponsorsif di atas sertamerta terjalin simbiosis mutualisme dari dana kecil (ekonomi mikro), sehingga pergerakan sastra tidak perlu menggantungkan dana founding tertentu. Satu sisi dana penerbitan tergali, sisi lain, sponsorsif mendapat keuntungan periklanan. Praktis, cara demikian juga mengajari karakter wira usaha bagi pelakunya.
Rubrik buletin diisi dengan; kata-kata bijak, kolom humor, puisi, cerpen, esai bahkan penggalan novel yang dimuat secara bersambung, dengan catatan 90% memuat karya pelajar dan selebihnya karya umum. Karya pelajar berfungsi memantik kreatifitas dasar siswa. Sedang karya yang dimuat disisihkan honor berupa pulsa, souvenir dll.
Sirkulasi buletin yang sudah terbit diberikan gratis ke sekolahan, kantong komunitas sastra, instansi yang memungkinkan, bahkan tempat-tempat yang andil memasang iklan untuk membagikan gratis pada pelanggan. Namun yang menjadi target utama sirkulasi buletin adalah sekolahan. Keberadaan siswa yang mencapai 100 lebih memungkinkan buletin efektif menuju tepat sasaran. Apalagi jika dikalikan sejumlah sekolahan yang ada. Dengan sendirinya, sistim demikian membuka chanel praktis lebih lanjut terhadap arah pembinaan sastra, kepenulisan dll.
Lembaran buletin yang simpel memungkinkan dibaca siswa saat senggang. Siswa lebih mudah memasukkan buletin ke dalam tas yang sewaktu-waktu dapat dijumpai dan terselip dalam buku pelajaran. Dibanding dengan mengunduh bacaan sastra di internet yang masih berhadapan dengan suguhan program lain dari provider kerap menyebabkan tujuan awal terbengkelai.
Sistem pergerakan sastra berbasis ekonomi mikro telah dilakoni beberapa komunitas sastra yang kini mulai gemilang menuai hasilnya. Di Solo, ada Buletin Sastra Pawon yang dikelolah esais Bandung Mawardi dkk. Puncak gemilang Sastra Pawon berupa pelayanan undangan diklat jurnalis yang merupakan hasil tersendiri dari pelebaran sekedar media buletin.
Di Ponorogo, gerakan serupa dikembangkan oleh Nidhom dan Tokid dengan buletin Gerbang Tinatar. Menurut ke dua sastrawan Ponorogo tersebut, seorang penulis tidak harus jagakno tulisannya dimuat koran besar. Asalkan punya kemauan untuk bergerak, hal yang kecil pun akan menghasilkan.
Di Trenggalek, media berbasis sponsorsif sudah berupa tabloid Prigibeach yang beredar mingguan secara gratis. Tabloid yang dikelola Hamzah dan Maksum sempat diisi tulisan karya sastrawan Trenggalek; Nurani Soyomukti, Toni Saputra, Bonari, Misbahus Surur dll.
Alkhasil, metode sastra buletin yang berbasis pada perekonomian mikro pada paparan di atas, semoga membredel ketersumbatan kreatifitas, khususnya bagi pemula di berbagai daerah di Indonesia.
*) Putri Utami, sedang mendalami Bahasa dan Sastra Indonesia di kampus STKIP PGRI Jombang, angkatan 2008. Beralamat rumah di: JL. Agus Salim, desa Losari, kecamatan Ploso-Jombang (PO. Primus).