Haruskah “Menunggu Godot”

Sebuah Catatan tentang Geliat Teater Riau
Fedli Azis

Home

Ada pernyataan menarik di kalangan pelaku seni pertunjukan, “semakin miskin senimannya semakin kreatif-lah ia”. Pernyataan ini cukup populer, terutama bagi pelaku seni teater akibat sulitnya mendapatkan sponsor, baik pemerintah maupun pihak swasta. Bahkan seniman teater Riau, sambil bersoloroh mengatakan, ”bagi seniman, mengharapkan sponsor sama dengan Menunggu Godot”.

MENUNGGU Godot (en attendant Godot) menjadi salah satu teks drama paling populer di dunia. Lahir dari seorang penulis terkemuka asal Irlandia, Samuel Beckett. Karya yang terbit perdana 1952 dan dipentaskan setahun setelah diterbitkan itu, masih aktual hingga hari ini. Bahkan lewat naskah dramanya tersebut, Beckett benar-benar menjadi warga negara dunia yang luar biasa.

Dalam karyanya, pengarang menuturkan kisah tragikomedi berisi dialog antara Vladimir dan Estragon yang menunggu kedatangan Godot; ia yang penuh misteri itu sebentar-sebentar mengirim pesan bahwa ‘’Ia’’ akan muncul. Lalu kedua tokoh itu bertemu Pozzo yang menggiring hambanya, Lucky memakai seutas tali. Pozzo memaksa Lucky untuk berpikir dan menari. Setelah letih menunggu, akhirnya babak pertama usai dengan kedatangan seorang anak yang mengatakan bahwa Godot baru akan datang besok. Begitu pula dibabak kedua yang juga ditutup dengan kedatangan seorang anak untuk kembali memberitahukan, Godot masih belum akan datang hari ini.

Kisah penantian tak berujung dan penuh misterius tersebut, barangkali sudah, bahkan sedang mendera banyak orang. Bahkan sastrawan kenamaan Riau Hasan Junus kembali mengungkap secara ringan kisah ini dengan judul ‘’Sekali Lagi tentang Menunggu Godot’’ di kolom Rampai-Riau Pos, edisi Ahad (7/8) yang diasuhnya. Begitu suram dan buramnya sebuah penantian tanpa diketahui siapa dan apa yang sedang ditunggunya.

Seorang sastrawan dan teaterawan muda Riau Hang Kafrawi, saat ditemui disela-sela latihan teater di Bandar Serai, bahkan memadankan kehidupan dunia kesenian daerah ini, terutama teater dengan kisah empat tokoh yang “Menunggu Godot”. Dipaparkannya, dunia seni memerlukan pihak yang sedia membantu dalam hal pendanaan. Namun faktanya, hingga hari ini belum ada pihak yang benar-benar percaya dan mau mengulurkan bantuan untuk proses produksi yang terbilang besar itu.

‘’Menunggu sponsor sama dengan “Menunggu Godot”. Tapi kalau kita larut dalam penantian seperti itu maka tak akan pernah ada pementasan. Sekarang kita harus akui, dalam kondisi memprihatinkan itu justru beberapa pelaku teater kian termotivasi untuk membuktikan kerja-kerja kreatif mereka. Tanpa dana memadai, bahkan harus merogoh kantong sendiri, mereka tetap menggelar pementasan,’’ ungkapnya, Kamis (11/6) lalu sembari menunjuk aktor-aktornya yang tengah berlatih dengan gigih di atas panggung sederhana dan buram.

Vokal yang lantang dan penjiwaan yang kuat dari aktor-aktorn asuhan Kafrawi menambah keasyikan Riau Pos dalam proses wawancara. Sembari menyulut dan menghembuskan sejauh mungkin asap rokoknya, alumni Fakultas Sastra Universitas Lancang Kuning itu kembali menceritakan, meski masalah yang membelit tidak sedikit, aktivitas berteater dinilainya paling eksis dari seni pertunjukan lainnya di Riau, terutama sejak 2009-2011. Komunitas-komunitas teater seperti tidak peduli dengan kondisi yang terjadi, terus saja menggelar pementasan demi pementasan. Sebut saja Teater Selembayung, Sanggar Keletah Budak, Riau Beraksi Studio Peran, Mahligai Teater Riau, Teater Kedai dan Teater AKMR.

Selain itu ada juga di Rengat yakni Mini Teater dan Sempene Teater. Tak jarang, setelah menggelar karyanya, mereka harus menanggung hutang hingga belasan juta rupiah. “Usai mementaskan karya saya beberapa waktu lalu berjudul Sang Kitab, saya harus berhutang hingga belasan juta dan alhamdulillah sudah lunas,” timpalnya dengan senyum mengembang. Sedang komunitas lainnya, masih menunggu kehadiran sebuah festival atau undangan-undangan. “Sejak DKR tidak lagi menggelar festival maka komunitas, terutama di kabupaten/kota juga tak terlihat. Untunglah Bengkalis, Siak, Inhil masih rutin menggelar lomba. Bahkan dalam waktu dekat, Rohil akan menggelar Festival Monolog se Riau. Mudah-mudahan terwujud,” katanya melepas tawa.

‘’Ada memang yang mau membantu pendanaan. Tapi hanya sekedarnya dan itu juga sudah lumayan sebab masih ada yang mau walau hanya satu-dua orang. Teater Riau harus bangkit dari tidurnya yang panjang. Apa pun caranya asal positif meski harus menderita dibuatnya,’’ tambah Rina, pelaku teater perempuan Riau yang baru mementaskan karyanya di Bandar Lampung, Juli 2011 lalu.

Dijelaskannya, untuk menggelar pentas teater di Pekanbaru tidak lagi sesulit dulu. Pasalnya, apresiasi dari masyarakat kian meningkat. Mereka sudah mau membeli tiket untuk menonton teater seharga Rp15 ribu-Rp50 ribu. Paling tidak, dana yang dihasilkan dari penjualan tiket sudah bisa membantu dana produksi.

Pengasuh Teater Selembayung, Sanggar Keletah Budak dan Blacan Art Community itu mencontohkan, penjualan tiket pentas operet anak bersama Sanggar Keletah Budak, Januari 2011 lalu menghasilkan dana sebesar Rp11 juta-an. Begitu juga pentas monolog Teater Selembayung, November 2010 bisa mengumpulkan Rp10 juta-an dari penjualan tiket. Itu pun hanya dalam waktu penjualan yang terbilang singkat, yakni empat sampai lima hari saja.

‘’Bayangkan, kalau kita bisa menjual tiket sebulan sebelum pementasan? Bukan tidak mungkin dana produksi bisa terpenuhi tanpa sponsor. Walau pun, kita masih mengharapkan mereka,’’ akunya pekan lalu.

Sementara itu Pimpinan Riau Beraksi Willy Fwiandry menegaskan, teater hari ini adalah teater yang harus mampu membawa semangat yang dimiliki zamannya, baik secara artistik maupun manajemen. Teater memerlukan penonton karena penikmat adalah salah satu dari unsur peristiwa teater. Jika kita mampu memikat banyak penonton maka makin banyak yang didapat. ‘’Kita memang memerlukan banyak sponsor yang mau mendanai produksi tapi barangkali kita belum dapat trik terbaik untuk menarik rasa kepedulian mereka pada seni teater,’’ ujar Willy, Senin (8/8).

Secuil tentang Teater Riau

Riau memiliki sejarah teater yang cukup panjang. Bahkan tanah Melayu ini sudah dibekali dengan teater tradisi seperti Makyong, Mamanda, Bangsawan, Randai dan lainnya. Menurut seorang pelaku teater Azwan Razak, sejak dulu pagelaran teater di daerah ini juga dipentaskan secara swadaya, antar sesama pemain. Ketika itu, teater menjadi primadona karena tidak banyak tontonan alternatif seperti sekarang. ‘’Kondisi itu, terutama tentang pendanaan, ternyata belum juga berubah hingga hari ini. Siapa yang berbuat, maka tanggunglah akibatnya seperti menanggung hutang karena tak ada sponsor’’.

Ditambahkannya, satu sosok yang tidak bisa dilupakan dalam perkembangan teater Riau adalah almarhum Idrus Tintin yang namanya diabadikan sebagai nama gedung teater megah di Pekanbaru yakni Anjung Seni Idrus Tintin. Sosok yang keras dan pantang menyerah tersebut, dinilai banyak kalangan sebagai motivator yang patut ditiru, terutama dalam hal pembinaan dan pencapaian-pencapaian artistik. Bahkan, Pimpinan Mini Teater Rengat Salimi Yusuf bertutur, sosok Idrus Tintin belum tergantikan. ‘’Dimasa almarhum masih aktif, teater Riau cukup bergairah. Dimana-mana ada pementasan tapi sekarang, hanya beberapa komunitas saja yang berani berbuat,’’ jelas.

Pelaku teater lainnya, A Amesa yang belajar banyak dari almarhum Idrus Tintin menuturkan, dulu ketiadaan justru membuat pelaku-pelaku teater lebih kreatif dan bisa pentas ke banyak daerah. Bahkan teater-teater kampus berkembang dengan pesatnya seperti Teater Batra (Unri), Latah Tuah (UIN Susqa), Teater Selembayung (Unilak), Lisendra Dua Terbilang (UIR) dan lainnya. Namun kini, sanggar-sanggar itu jarang terdengar menggelar pementasan. Hanya Teater Selembayung saja yang masih eksis, itu pun setelah hengkang dari Unilak sejak 2003 silam. Kini, teater ini berdiri secara independent dan terbilang paling eksis di Riau karena lebih banyak jadwal pentasnya.

‘’Saya rindu suasana di Teater Arena Dang Merdu dulu. Aktivitas dan grairah berkesenian benar-benar hidup. Selain itu, forum-forum diskusi dan pentas-pentas kecil kerap dilakukan, baik oleh Dewan Kesenian Riau (DKR) maupun institusi lainnya,’’ aku Amesa, Selasa (9/8) lalu.

Sekarang kondisinya jauh berbeda. Semua bergerak maju dan gedung pertunjukan berdiri dengan megahnya di kawasan Bandar Serai. Komunitas-komunitas baru bertumbuhan seiring dengan terbenamnya komunitas lama. Jumlah aktor, sutradara dan lainnya juga semakin banyak. Sayangnya, festival sudah jarang digelar dan pementasan hanya dilakukan sendiri-sendiri sehingga gemanya tidak terasa, akibat kemajuan teknologi yang kian menggila. Teater harus bersaing dan menjadi tontonan alternatif yang dinanti-nanti masyarakat karena jenuh menonton sinetron yang tidak mendidik dan menyanyah.

‘’Hingga hari ini, kita memang masih kalah bersaing dengan tonton di televisi yang cukup beragam tapi kita tidak boleh menyerah,’’ katanya meyakinkan.

Potensi dan Kendala

Beberapa kali berdialog dengan teaterawan ternama seperti Nano Riantiarno (Teater Koma), Putu Wijaya (Teater Bengkel), Rahman Sabur (Teater Payung Hitam), Yudi Ariani (dosen teater ISI Yogyakarta) dan Dindon WS (Teater Kubur) dibeberapa kali pertemuan terungkap, bahwa teater Riau memiliki potensi besar untuk maju. Paling tidak, itulah kesan yang disampaikan orang-orang ini yang sudah beberapa kali berkunjung ke Riau, bahkan menjadi dewan juri dalam beberapa kali festival teater yang di taja DKR. Menurut mereka, Riau tidak kalah dengan daerah lain namun perlu lebih kreatif dalam hal penggarapan dan pemasarannya. Hal itu juga pernah disampaikan beberapa tokoh teater Riau seperti almarhum Idrus Tintin, Dasry al Mubari dan Bustamam Halimi.

Hal serupa juga dilontarkan Kafrawi, bahwa secara kualitas pementasan yang gelar kelompok teater Riau tidak ketinggalan dengan daerah lain. Teater Riau memiliki kekhasan tersendiri dengan menggarap tradisi tempatan dibancuh (mencapur, red) pemikiran kekinian. ‘’Inilah kekayaan kita. Nah, pertanyaannya adalah, haruskah kita Menunggu Godot untuk menggairahkan teater dan menambah jam terbang?’’ tantang mantan Direktur Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang juga jebolan pasca sarjana jurusan teater ISI Yogyakarta tersebut.

Baik aktor, sutradara, penulis naskah maupun lainnya tumbuh dan kian bertambah seiring perjalanan waktu. Semuanya masih berjalan sendiri-sendiri dan masih memerlukan polesan-polesan secara intens. Ditambah lagi, Riau telah memiliki sekolah seni yakni AKMR yang salah satu jurusannya adalah teater, selain musik dan tari.

Namun potensi-potensi tersebut tidak akan berkembang dengan baik jika kendala-kendala yang membelit insan teater tidak segera dibenahi. Permasalahan yang paling mendasar penyebab sepinya pementasan teater di Riau adalah tidak adanya manejerial yang baik di setiap kelompok teater. Sebab bagaimanapun juga, pementasan teater membutuhkan pembiayaan yang besar. Ini tidak dapat dipungkiri. Ditambah lagi, publikasi ke ruang publik mengenai pementasan teater, tidak digarap dengan baik. Masalah ini berawal dari tidak adanya manager seni di kelompok teater masing-masing.

Semuanya harus dikerjakan oleh sutradara. Menjadi sutradara teater di Riau, dibebani harus tahu semuanya. Bukan saja masalah artistik, tetapi harus juga mengetahui pemasaran, desain baliho, poster, pemasaran, mencari donator dan lain-lain yang tidak bersangkut paut dalam wilayah estetika pementasan secara langsung. Karena itu, untuk perkembangan teater Riau ke depan, tidak bisa tidak, kelompok teater Riau harus memiliki manager produksi yang handal untuk mendukung pementasan teater tanpa menunggu sponsor yang tak kunjung datang.***

14 Agustus 2011

Bahasa »