Miming Ismail *
Seputar Indonesia, 6 Jan 2008
TUBUH dalam paham Platonisme selalu dipandang sebagai interior, imanen, dan cenderung mengeksklusi jiwa yang sempurna.
Tubuh dibayangkan sebagai dosa (pendapat),bukan idea (kebenaran) dari realitas yang sebenarnya.Segala hasrat dan keinginan dalam tubuh seakan cenderung menutupi kebenaran jiwa. Implikasi pandangan ini melihat tubuh hanya sebagai suplemen dari jiwa yang sesungguhnya.
Pandangan ini tentu memiliki dasar bahwa realitas di luar idea sebenarnya hanyalah pancaran dari idea atau sejenis mimesis/tiruan dari realitas yang sebenarnya. Oleh karenanya, dimensi interioritas dari tubuh cenderung menutup diri akan sensibilitas tubuh yang esoterik dan estetik. Estetika sesungguhnya dapat bermula dari suatu pengandaian tentang tubuh tadi.
Di zaman industri kesenian seperti sekarang ini,tubuh kerap menjadi objek dari estetika dan laku kesenian lain karena pengandaian akan interioritas dan eksterioritas tubuh yang memancarkan dimensi yang estetis tersebut. Namun, tak jarang ia kerap dipandang sebagai yang erotis. Objek-objek kesenian terkait dengan tubuh itu terlihat lewat komodifikasi tubuh dalam balutan seni tari, teater, fotografi,dan sinema.
Tubuh menjadi ikon sekaligus tanda di mana revelasi (pewahyuan) sekuler modernisme telah memberinya ruang bagi ekspresi dan sensibilitas tubuh sebagaimana dalam lukisan, sinema, dan fotografi. Dimensi yang estetis seakan memancar berbalut kegairahan dan kerentanan di satu sisi serta erotisme di sisi lain. Tubuh seakan terkoyak dalam etalase, interioritas, sensibilitas, dan eksterioritasnya terpenjara dalam dekapan komoditas dan praksis mimesis dalam karya seni.
Tubuh seakan dimanipulasi, dieksploitasi, dan diproduksi secara masif oleh industri kebudayaan. Padahal, dimensi esoterik dan eksterior dari tubuh sesungguhnya tidak hanya memuat suatu sensibilitas yang terpisah dari jiwa. Fenomena kemenubuhan manusia akan realitas sesungguhnya adalah cermin bahwa dimensi yang sensible dan intellegible itu hadir secara bersamaan dalam energi estetis yang kuat, sebagaimana dalam perjumpaan dan percintaan antaranak manusia, yang tak sekadar memuat hasrat, nafsu, melainkan mampu melampaui keduanya.
Tubuh yang terpenjara sesungguhnya gambaran dari imajinasi dan bayang ilusi manusia yang selalu haus dan terdekap oleh hasrat dan nafsu yang seketika mengalami penyempitan ruang dalam sensibilitasnya dalam tubuh dan jiwa yang lain yang juga hadir secara bersamaan. Maka, banalitas dari tubuh itu sangat terlihat ketika tubuh hanya dimaknai melulu dalam keterasingannya dari roh/jiwa.
Padahal, baik tubuh maupun jiwa, keduanya sesungguhnya tidak pernah terpisah maupun menjadi suplemen antara keduanya. Pada hari ini modus cenderung menempatkan tubuh sebagai suplemen, bahkan menempatkannya pada dimensi yang banal. Di antaranya tampil dalam erotisme gerak, vulgarisme fotografi, dan sinema.
Di sana seakan tak muncul sebuah kepolosan tubuh ketika berjumpa dengan tubuh-tubuh yang lain. Tubuh itu telah sedemikian rupa dipoles oleh pencitraan- pencitraan realitas yang berpusar pada komoditas sehingga tak ayal demistifikasi realitas pun terjadi dalam bentuk kontaminasi dan reifikasi atas tubuh.
Pendangkalan itu kian terlihat ketika tubuh sedemikian rupa dimodifikasi dan dimasifikasi dalam kebudayaan masa, terutama dalam sinema dan fotografi. Akhirnya pancaran jiwa dan tubuh kian pudar ditelan selubung ilusi dalam jejaring tanda dan realitas yang kadung menempatkan tubuh sebagai yang inferior dari jiwa atau sebaliknya.
Fenomena hedonisme, konsumerisme adalah gambaran paling gamblang di mana tubuh dalam kebudayaan industri semakin terasuki oleh imajinasi yang banal dalam lanskap komoditas industri kebudayaan. Pusaran teknis dan pemujaan atas sesuatu yang sangat praktis semakin menempatkan posisi tubuh ke dalam bentuk ateismenya yang paling taktis dalam zaman modern ini.
Tak ada kesenian yang sepi dari erotisme tubuh di zaman ini,kecuali kesunyian suara dalam teater dan pertunjukan yang kecil, yang masih menampilkan kekayaan tubuh dan jiwa, sebagaimana dalam lakon komedi Brech. Meski demikian, tak dapat ditampik bahwa dalam industri kebudayaan teknik dan montase dalam pencitraan tubuh secara masif menjadi satu-satunya yang paling revolusioner,walau menempatkan mistis ke arah pinggiran, bahkan cenderung pudar ditelan laju sejarah modernitas.
Modernitas, suatu zaman yang tak lagi memberi ruang kemungkinan bagi perjumpaan diri dan yang lain dalam tubuh-tubuh telanjang tanpa intensi, reifikasi, dan kontaminasi. Semuanya telah melebur menjadi labirin citra dan tanda sehingga jiwa-jiwa dalam tubuh itu melayang dalam kabut kegelapan mengarungi ruang dan waktu.
Semuanya sudah menjadi taburan agoni, ironi, dan absurditas pengalaman manusia dalam perjumpaan tubuh sehari-hari. Lanskap modernitas dalam era industri kebudayaan menjadi satusatunya mantra yang mampu menjinakkan tubuh. Meski jiwa-jiwa itu hilang menerawang ke suatu tempat, di mana alamatnya? Memang, dunia kita tak pernah lagi mengenalnya.
* Miming Ismail, Pegiat sastra dan filsafat pada PSIK Paramadina
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/esai-mantra-penjinak-tubuh.html