Budi Darma
nasional.kompas.com
Tengoklah dua peristiwa ini. Pertama, pengalaman Azrul Ananda ketika akan terbang dari Jakarta ke Surabaya. Kedua, ketika Michael Junarko akan memotret di sebuah kafe di Jakarta.
Azrul Ananda adalah tokoh muda yang ingin merevitalisasi kehidupan bola basket dan Michael Junarko adalah penulis surat pembaca Kompas, 19 Juni 2011. Pesawat Jakarta-Surabaya terlambat lama karena pilotnya ngambek menghadapi sistem kerja yang tak adil.
Kopilot bule yang tugasnya membantu pilot ini ternyata dibayar tiga kali lebih tinggi. Michael Junarko, sementara itu, melihat turis-turis asing bebas memotret, tetapi ketika akan memotret, dia kena marah oleh kaki tangan pemilik kafe. Orang asing boleh saja bebas memotret, tetapi orang Indonesia yang akan memotret harus memohon izin terlebih dahulu dan membayar.
Minke
Peristiwa lain yang intinya sama sudah sering kita dengar. Kesimpulannya, sikap mental kita dahulu ketika masih dijajah tak jauh berbeda dengan sikap kita sekarang kendati kita sudah lama merdeka. Pada zaman penjajahan dulu, tempat-tempat tertentu dipasangi tanda ”anjing dan pribumi dilarang masuk”.
Lalu, tengoklah novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Nama tokoh sentral Minke sebetulnya bukanlah nama sebenarnya. Nama ini pelesetan dari monkey alias kera dan intelektual pribumi pada waktu itu—dalam anggapan orang Belanda—tidak lain hanyalah kera.
Kemerdekaan politik ternyata tak memerdekakan mental yang lebih suka dijajah. Gejala mental lebih suka dijajah ini terjadi di mana-mana, di bekas negara-negara jajahan. Seorang psikiater kulit hitam, Frantz Fanon namanya, pernah menulis buku Black Skin, White Masks.
Gagasan untuk menulis buku ini dipicu oleh pengamatannya terhadap bangsa bekas jajahan di Afrika dan juga pengalaman estetikanya dalam membaca novel Things Fall Apart dan No Longer at Ease karya pengarang Afrika, Chinua Achebe. Things Fall Apart dan No Longer at Ease menggambarkan masa-masa kritis ketika orang Inggris mulai menanamkan kekuasaannya di Afrika, sewaktu seorang pemimpin berwibawa bernama Okonkwo ditinggalkan oleh kaumnya sendiri karena kaumnya lebih suka memihak Inggris.
Anak turun Okonkwo berlagak sebagai orang kulit putih, disekolahkan ke Inggris, lalu pulang menjadi orang penting di negerinya sendiri dan akhirnya—seperti para pemimpin kita—terlibat dalam korupsi. Kulit mereka tetap hitam, black skin ’kulit hitam’, tetapi lagak mereka seperti orang kulit putih yang merendahkan harkat kaumnya sendiri, white masks ’topeng putih’. Okonkwo, pemimpin yang awalnya berwibawa dan merasa dikhianati oleh kaumnya sendiri ini, akhirnya terpaksa memutuskan untuk bunuh diri.
Memang benar dua novel tersebut hanyalah fiksi, tetapi sebagaimana fiksi pada umumnya yang menggambarkan zeitgeist ’semangat zaman’, dua novel ini tidak bisa dilepaskan dari realitas yang sesungguhnya.
Kehidupan kaum Okonkwo ada miripnya dengan Friday dalam novel Daniel Defoe, Robinson Crusoe. Begitu melihat orang kulit putih bernama Robinson Crusoe, diam-diam dalam hati Friday sudah timbul keinginan mengabdikan diri kepada Robinson Crusoe. Diam-diam pula dalam hati Robinson Crusoe sudah tebersit keinginan memperbudak Friday dengan alasan akan mendidik Friday menjadi makhluk beradab.
Inilah sekadar contoh ”di negeri sana”. Di ”negeri sini” pun seorang pakar kolonialisme bernama Homi Bhabha pernah membahas sikap mental bangsa-bangsa bekas jajahan. Ada tiga butir pemikiran Homi Bhabha: mimikri, ambivalensi, dan hibriditas. Mimikri adalah sikap suka meniru bekas penjajah dahulu, seperti mengecat rambut menjadi pirang dan memutihkan kulit dengan white cleansing.
Kegemaran masyarakat kita menonton sinetron dengan bintang-bintang berkulit putih tak lain adalah pencerminan rasa rendah diri masyarakat karena lebih suka mengidolakan orang kulit putih daripada masyarakatnya sendiri.
Demikianlah, orang berkulit putih di Indonesia mendapat tempat terhormat dalam industri hiburan. Timbul pertanyaan, seandainya mereka dikembalikan ke negara nenek moyang mereka masing-masing, apakah mereka akan laku? Entahlah, tetapi mungkin tidak.
Ambivalensi adalah ketidakjelasan ”apakah ini atau itu”. Masyarakat kita tak lain adalah masyarakat kita sendiri, tetapi diam-diam dalam hati lebih suka dianggap sebagai masyarakat Barat. Masyarakat sadar bahwa dirinya adalah ”ini”, tetapi dalam hati ingin menjadi ”itu”.
Hibriditas mirip mimikri dan ambivalensi: kehidupan masyarakat kita tidak lagi ”asli”, tetapi sudah ”campuran”. Dan, masyarakat lebih suka apabila yang asli tinggal sedikit untuk didominasi oleh yang bukan asli.
Gelombang besar
Pengalaman pilot sebagaimana yang dilihat Azrul Ananda dan pengalaman Michael Junarko hanyalah riak-riak kecil di antara sekian banyak gelombang yang lebih besar. Tengoklah, misalnya, ulah IMF mendatangkan konsultan asing ke instansi pemerintah pada 1980-an. Mereka dianggap pandai dan terhormat karena mereka bukan orang Indonesia. Seorang pembesar Depdikbud terpaksa mengaku bahwa kemampuan banyak konsultan itu setara dengan sopir bus kota di Jakarta.
Ini juga terjadi di sebuah universitas di Surabaya. Konsultan asing datang mengajari dan mendidik para dosen. Ternyata konsultan ini harus diajari dan dididik oleh dosen yang seharusnya dikonsultani. Mengapa? Ya, karena kemampuan konsultan asing ini lebih kurang setara dengan kemampuan sopir bus kota.
Dalam perundingan mengenai penanaman modal asing, sementara itu, kita sering berada pada pihak yang dikalahkan. Contoh yang sudah bukan rahasia antara lain bisa dilihat dari kasus pertambangan: penduduk dikor- bankan, lingkungan dirusak, pembagian keuntungan tak seimbang; sementara kalau ada gejolak, pihak asing langsung atau tak langsung jadi pemenang.
Dalam sebuah percakapan tak resmi, ekonom Faisal Basri menyatakan bahwa kekalahan dalam penanaman modal asing dimulai pada zaman Orde Baru, waktu kita dalam keadaan terpaksa. Memang benar, andai kata tak ditopang oleh kekuatan asing, kemungkinan besar Orde Baru tak mampu mempertahankan kekuasaan dalam waktu lama. Situasi dan kondisi pada waktu itu memaksa Indonesia dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan asing dalam penanaman modal.
Lalu, sekarang bagaimana? Mungkin juga dalam semua perundingan, sadar atau tidak, kita memang ”ingin dikalahkan” dan orang asing take it for granted pasti menang, sebagaimana yang tampak pada hubungan antara Robinson Crusoe dan Friday.
Budi Darma Sastrawan /30 Juni 2011