M. Raudah Jambak
analisadaily.com
Ratman Suras gelisah! Itu yang terbersit di benak saya, ketika Omong-Omong Sastra di UISU Jalan Puri (Minggu, 15/04) lalu. Ratman mengatakan, untuk peta kepenyairan wanita di Sumatera Utara, masih sedikit kaum wanita yang menghiasi blantika sastra khususnya puisi. Jika dilihat dari antologi yang lahir, masih begitu minim para penyair wanita yang ikut andil di dalamnya. Sekilas mereka yang biasanya menghiasi blantika sastra khususnya puisi di Sumatera Utara, mungkin saja telah menemukan dunia lain yang dianggap lebih menjanjikan daripada dunia kepenyairan.
Seiring dengan dinamika kehidupan, Para penyair wanita Sumatera Utara pasti akan bermunculan, kabar ini tentu menyegarkan perjalanan sastra. Kegelisahan Ratman dapat kita maklumi, walau kita mengenal cukup banyak sastrawan wanita yang hilir-mudik di blantika sastra nasional. Sebut saja Ayu Utami, Hanna Fransisca, maupun Djenar Mahesa Ayu di Jakarta dan atau (alm) Ratna Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, maupun Lan Fang di Jawa Timur.
Memang harus diakui, eksistensi sastrawan wanita secara kuantitas, tidak sebanding dengan sastrawan berjender lelaki. Meski para wanita, dihadapkan pada tantangan yang sama dengan sastrawan lelaki. Sama-sama harus bersaing di medan juang kesusastraan Indonesia, berbagai prestasi telah diukir sastrawan-sastrawan wanita. Mengingat posisinya yang cenderung sub-ordinat dalam lingkung kultural patriakhi, dengan sendirinya sastrawan wanita harus berjuang lebih keras dibandingkan lawan-lawan jenisnya, kalau berkehendak eksistensinya lebih dan lebih.
Seperti juga yang pernah digelisahkan oleh beberapa sastrawan wanita juga, termasuk Anjrah Lelono Broto (Anggota senior Teater Kopi Hitam Indonesia), kewanitaan sastrawan wanita melahirkan kondisi yang kurang menguntungkan dengan sederet peran-beban tanggung jawab sosio-kultural. Peran-beban tanggung jawab sosio-kultural, menempatkannya sastrawan wanita pada wilayah penjara klasik; dapur, sumur dan kasur.
Dus, selain menghadapi tuntutan avant garde,originalitas, kebaruan, dan lain-lain, sastrawan wanita juga dituntut untuk menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya. Mereka dituntut mampu meyakinkan publik, kebrilianan karya dan proses kreatifnya berbanding lurus dengan kehidupan rumah tangganya. Realitanya, sastrawan tidak bisa menafikkan kajian interteks antara karyanya dengan kehidupan pribadinya.
Posisi yang riskan seperti ini tidak jarang menjadikan sastrawan wanita sebagai dinding melekatnya stigma negatif, terutama ketika ia berani mempertanyakan norma dan nilai-nilai yang tak berpihak padanya (ingat marjinalisasi ‘sastra kelamin’). Memang ada yang setia dengan spirit kreatifnya dan sanggup menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya.
Pilihan ini bukan berarti pengorbanan nir resiko. Besar kemungkinan dirinya akan disudutkan dengan berbagai stigma negatif yang berpengaruh besar pada kehidupan nyata pribadinya.
Pendidikan bagi kaum wanita bisa jadi, satu jawaban yang melintas ringan. Kita semua menyadari, pendidikan merupakan kunci balon udara yang bernama independensi. Pendidikan yang memadai bagi wanita (termasuk di dalamnya sastrawan wanita) akan menempatkannnya sebagai pribadi yang mampu membaca dan menulis dinding realitas sosial, berikut sederet tantangannya dengan cara yang genial. Gambaran ini akan menaikkan daya tawar kewanitaan yang melekat pada pribadi sastrawan wanita.
Menurut Ratman, perkembangan sastra Indonesia pun sudah mengabarkan kepada kita tentang miskinya penyair wanita. Hanya berapa yang bisa kita catat. Sebut saja, NH Dini, Isma Safitri, Rayani Sriwidodo, Toeti Heraty Noerhadi, Popy Hutagalung, Rita Oetoro, Diah Hadaning, Omi Intan Naomi, Dorothea Rosa Herliany, Azwina Aziz Miraza, Medy Lukito, Ulfathin Ch., Abidah el Khalieqy, Suryatati A Manan, Ayu Utami, Dewi Lestari, Nova Riyanti Yusuf, dan Helvi Tiana Rosa. Dari nama-nama ini, hanya beberapa saja yang masih aktif sampai kini puisi-puisinya bisa kita nikmati.
Untuk peta kepenyairan wanita Sumatera-Utara sendiri sepertinya nyaris sama, sedikit sekali wanita yang menghiasi blantika sastra khususnya puisi. Dulu kita kenal nama-nama seperti, Murni Aryanti Pakpahan, Laswiayati Pisca, Susi Aga Putra, lalu ada Rosliani, Jerni Martina Erita Napitupulu, Rosmaeli Siregar. Ada Aishah Basar dan Nur Hilmi Daulay. Sekilas nama-nama itu mungkin sudah menemukan dunia lain yang dianggap lebih menjanjikan daripada dunia kepenyairan.
Ada kabar menyegarkan, ada regenerasi di kancah perpuisian wanita di sini. Fenomena ini muncul pasca reformasi, banyak bermunculan kelompok-kelompok sastra dari dunia kampus. Nyaris setiap minggu kita bisa membaca puisi-puisi karya wanita kita di media massa cetak. Buku antologi puisi baik tunggal maupun bersama diterbitkan.
Dari hitungan tahun 1995 sampai kini ada beberapa antologi yang bisa dicatat. Antologi puisi Rentang (1995) penerbit Studio Seni Indonesia memuat 10 puisi terbaik Sumatera Utara, dua diantaranya wanita yaitu, Jerni Martina Erita Napitupulu dan Rosmaeli Siregar. Antologi Bumi (1996) penerbit Studio Seni Indonesia bekerja sama dengan Forum Kreasi Sastra Medan memuat puisi-puisi 18 penyair Sumatera Utara. Hanya ada dua penyair wanita yang mewakili di dalamnya, yaitu Rosliani dan Jerni Martina Erita Napitupulu. Antologi serial Tengok (2000) Arisan Sastra Medan (Arsas) yang konon hanya sampai 4 dari 5 rencana terbit. Hanya satu penyair wanita yaitu Aishah Basar. Untuk antologi puisi tunggal hanya dua buku yang sempat saya punya, yaitu Gemuruh Nur Hilmi Daulay, Penerbit Laboratorium Medan (2007) dan Benih Rindu karya Sri Yuliani diterbitkan oleh Pustaka Pemuda Medan (2011).
Kegelisahan Ratman Suras adalah kegelisahan kita bersama. Begitu banyaknya wanita yang menulis, baik itu di koran-koran, majalah, atau media elektronik seperti internet, tetapi seiring perjalanan waktu, dia tergerus begitu saja.
Persoalan yang ditemukan saat ini, masih kurangnya jiwa militan yang dimiliki oleh penyair dalam berkarya. Perasaan cepat puas, sekali dikritik berputus asa, diberikan pujian langsung bangga. Hal inilah menjadi landasan kemunduran yang dihadapi oleh seorang penyair. Penyair harus menanamkan dalam diri untuk kesetiaan dalam berkarya, terus menerus belajar dan menyadari, pengakuan karya yang monumental, datangnya dari para pembaca.
Untuk saat ini, kita mengenal penulis-penulis handal wanita Sumatera Utara, seperti Wahyu Widji Astuti, Ria Ristiana Dewi, Sartika Sari, Zuliana Ibrahim, Sakinah Annisa Mariz, Febri Mira Rizki, Lucya Chriz, Nur Hilmi Daulay, Dini Usman, Intan Hs, Venicia, Su Ie Ss, Irma Yanti, Rina Mahfuzah, Ester Pandiangan, Eka Handayani Ginting, Lea Wilsen, Haya Aliya Zaki, Suci Widya Sari, An’nisa, Rosni Lim, Chairani, dan sebagainya.
Prof. Ikhwanuddin Nasution, Guru Besar Sastra USU, menyinggung persoalan wanita dan pemberontakan dalam karyanya. Para perempuan pengarang ini, melakukan pemberontakan atas oposisi biner yang selama ini diagung-agungkan kaum patriarkhat, terutama antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki dianggap lebih segalanya dari perempuan. Mereka ini dipengaruhi oleh paham-paham feminisme. Salah satu tokoh feminisme yang sangat menyadari kekuatan oposisi biner ini adalah Helene Cixous. Menurut mereka, Helene Cixous mengatakan, pemikiran sastra dan filsafat Barat selalu saja terperangkap di dalam serangkaian oposisi biner hierarkis yang tidak berkesudahan. Pada gilirannya selalu kembali pada “pasangan” fundamental antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, Helene Cixous berusaha untuk mengadakan dekonstruksi terhadap oposisi biner dan sekaligus melakukan inversi atau pembalikan, sehingga oposisi biner itu dapat terbongkar.
Karya-karya perempuan pengarang, lebih mengarah pada pencitraan kehidupan perempuan secara terbuka dan memberikan gagasangagasan baru mengenai kehidupan perempuan, terutama dalam hal seksualitas. Hal ini dipicu oleh perkembangan masyarakat yang dalam kehidupan mulai memperlihatkan aktivitas perempuan. Perempuan sudah ada yang menjadi menteri, bupati dan camat. Perempuan sudah ada di posisi publik tidak hanya pada posisi domestik. Masih ada karya perempuan pengarang, terjebak pada vulgarisme semata. Ayu Utami (sebagai pelopor) jika diperhatikan dengan saksama, ada beberapa peristiwa vulgar, tetapi Ayu Utami telah menentang dan mengeksploitasi seksual perempuan yang selama ini dianggap tabu.
Masalah seksualitas perempuan menjadi sangat menonjol pada erakontemporer ini. Kaum feminis ingin mengubah persepsi yang selama ini dibuat oleh kaum laki-laki tentang seksualitas perempuan, melalui keterbukaan perempuan dalam membicarakan seksualitas itu.
Memang kehidupan dan keberlanjutan kepengarangan wanita juga berkaitan erat dalam karya-karyanya. Persoalan terpenting dalam berkarya tetap yang terpenting adalah sebuah kesetiaan. Kehidupan antara sumur, dapur, dan kasur adalah wilayah yang paling dekat, justru menjadi sebuah kekuatan untuk berkarya. Apakah ini emansipasi atau justru eksploitasi? Tergantung pada pemikiran kita.
Akhirnya, sebuah kepengarangan, dunia meracik ilmu pengetahuan. Dunia mengolah imajinasi. Bagaimana dunia ilmu pengetahuan dan dunia imajinasi, dapat terus menerus dilahirkan dalam sebuah karya (dalam hal ini sastrawan wanita), tentu dia harus terus menerus bergelut dan berjibaku dengan waktu. Apakah tahap menghidupkan sastra atau dapat hidup dari sastra, seperti JK Rowling, si penulis Harry Potter itu. Salam.
22 Apr 2012
*) M. Raudah Jambak, koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara dan Direktur Komunitas Home Poetry