Perseteruan dalam Dunia Sastra Indonesia

Irine Rakhmawati

Seperti banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari, ruang sastra di Indonesia ternyata juga tidak terlepas dari beragam konflik. Dan tulisan ini, hanya dimaksudkan sebagai wacana belaka berdasarkan pengamatan pribadi selama beberapa tahun belakangan.

Dalam sebuah ajang pagelaran sastra di Jakarta tahun 2008, mata saya terbelalak menyaksikan betapa para sastrawan kita saling serang secara vulgar dan frontal. Satu kubu yang menasbihkan kelompok mereka sebagai kelompok sastrawan antiliberal menerbitkan jurnal yang sangat keras menyerang per individu kubu lain yang dianggap antek Amerika. Waduh, saya sempat berpikir, mengapa jurnal semacam itu dihadirkan dalam sebuah forum besar yang bahkan mengundang para sastrawan mancanegara.

Perseteruan antarkubu (baca ‘komunitas’) tersebut setelah dicermati, ternyata tidak menyentuh cabang-cabang mereka di daerah. Hanya terjadi dengan sengit di ibukota yang dianggap sebagai tanah suci para sastrawan. Hal ini tentu saja sangat disayangkan, karena seharusnya antarelemen sastra di Indonesia saling mendukung untuk menciptakan atmoster persastraan yang teduh.

Bercermin pada negara-negara lain. Pemerintah Korea Selatan sangat menaruh perhatian untuk sastra, dan membangun sebuah wadah yang bekerja melakukan penerjemahan karya sastra para sastrawan mereka ke berbagai bahasa dunia. Ada baiknya, pemerintah Indonesia pun melakukan hal serupa, mengingat ada cukup banyak karya sastra yang sesungguhnya sangat bermutu, namun kurang dikenal dunia internasional lantaran faktor bahasa.

Karya-karya pemenang nobel sastra, sebagian besar adalah karya yang menggunakan bahasa universal, atau minimal diterjemahkan. Tentu saja dengan tidak mengesampingkan faktor pusaran sastra, dimana Eropa dianggap lebih unggul daripada benua lainnya. Eropa dianggap sebagai pusat sastra dunia. Hanya sedikit karya sastra dari Asia yang mampu menembus penghargaan bergengsi tersebut. Dan Indonesia sebetulnya memiliki Pramudya Ananta Toer yang 26 kali dinominasikan meraih nobel, namun terbentur faktor status politiknya.

Daripada saling menyerang antarkubu, antarkelompok atau antarkomunitas, lebih baik memikirkan bagaimana caranya menghasilkan karya-karya bermutu, mendekatkan sastra pada masyarakat (tidak mengeksklusifkan sastra) karena sastra, adalah jejak peradaban, budaya yang membangun suatu bangsa. Manuskrip terpanjang dan tua, justru ditemukan di Indonesia, satu pembuktian bahwa sesungguhnya bangsa Asia memiliki kebudayaan yang jauh lebih dahulu berkembang ketimbang Eropa yang disebut sebagai pusat sastra dunia.

Saling berkompetisi adalah hal wajar, namun menjadi ketidakwajaran tatkala berubah menjadi saling hujat (termasuk kehidupan pribadi) yang menunjukkan level rendah dari kaum yang menggolongkan diri mereka sebagai: ‘kaum intelek.’

***

Bahasa »