Seno Gumira Ajidarma *
Majalah Djakarta! / http://www.facebook.com/ca.fes1
Kalau ada bau pesing di tempat kering,
boleh jadi bekas kencing supir taksi.
BERMOBIL DI Jakarta adalah salah satu cara tersiksa. Namun seberat apapun manusia Jakarta mengeluh, penderitaannya tidak akan seberat supir taksi, karena kehidupan supir taksi justru berada dalam kemacetan itu. Supaya selamat, supir taksi melakukan pekerjaannya dengan suatu seni. Manusia Jakarta perlu AC di mobilnya, supaya baju putih lengan panjangnya tidak basah kuyup oleh keringat. Bagi supir taksi, AC malah jadi siksaan, sehingga AC itu ada hanya demi service penumpang. Begitu penumpang turun, apalagi kalau malam, langsung dia matikan AC-nya, dan membuka jendela. Jangan kaget kalau Anda melambai taksi, dan masuk ke dalamnya, udaranya masih terasa “hangat”. Ini tentu karena sebelum ada penumpang, supir kita membuka jendela dan mematikan AC. Begtulah menyupir taksi adalah suatu seni.
Sepintas lalu kerja supir taksi itu enak, seolah-olah cuma duduk-duduk di depan hotel atau bandara, lantas dapat penumpang. Dunianya seolah-olah hanya AC dan penumpang-penumpang kelas atas. Jelas itu keliru. Sudah berapa supir taksi ditemukan tewas dengan pisau menancap? Kejahatan itu berasal dari penumpang jua adanya. Belum lagi betapa sering ia ditipu. “Tunggu sebentar Bang, nyalakan saja argonya.” kata seorang perempuan cantik sebelum masuk bar. Ternyata ia tak pernah keluar lagi, dan ketika dicari, menyublim tanpa wujud seperti kapur barus. Busyet. Kalau sudah begitu, supir taksi hanya bisa gigit jari berjaing-jaing ria.
Paling mengenaskan kalau melihat supir taksi terkantuk-kantuk. Saya pernah mengalami kecelakaan, karena supir taksi yang mengantuk menghantarkan mobilnya untuk mencium moncong sebuah bus. Saya yang duduk di depan tanpa pasang seat belt, terbanting ke dashboard, sehingga copotlah tulang panggul sebelah kiri. Yeah. Puas juga menggendong tangan berbulan-bulan. Akibatnya, begitu ada supir taksi mengantuk, saya tawarkan diri untuk menyetir. Pernah suatu pagi, supirnya langsung setuju. Begitu saya pegang setir, ia turunkan sandaran sampai rata, langsung mendengkur. Nah, karena menyetir sendirian, selalu disangka kosong, dan terbingung-bingung melihat orang selalu melambai saya. Haha! Begitu sampai kantor, saya bangunkan dia, dan merogoh kantong… untuk membayarnya! “Terima kasih,” katanya, “nggak apa-apa nih?” Saya terpaksa berlagak dermawan. Habis, mau bagaimana lagi?
Begitulah para supir taksi ini keliling kota, menemui bermacam-macam manusia. Saya pernah membaca laporan seorang wartawan, bahwa ada seorang penumpang tante-tante yang merayunya untuk tidur. Hmm. Ramah betul tante seperti itu.
Tentu tak kuranglah supir taksi yang terpaksa mengelus dada, ketika begitu banyak orang diajak penumpang dari daerah ke dalam mobilnya, bertumpuk-tumpuk besar kecil tua muda, sampai 17 orang. Sedangkan, supir taksi yang menunggu para perempuan penghibur pulang menjelang pagi harus siap dengan dua hal: atau suara-suara memanaskan badan dari pasangan yang berciuman habis-habisan, atau orang muntah. Kesepian adalah pemandangan yang sering bisa kita temukan dialami supir taksi. Dalam malam-malam berhujan, mereka bicara lewat radio taksi mereka kepada operator. Biar operator itu lelaki atau perempuan, omongan jorok tak pernah luput dilontarkan untuk mengatasi kesepian.
Benar-benar mereka pengembara jalanan, memasuki hari-hari dan malam-malam yang fana dalam kesendirian. Kalau kita teringat film Taxi Driver (Martin Scorsese, 1976), kita teringat bagaimana lampu-lampu kota membayang di kaca depan, bagai sungai cahaya dan warna yang mengalir, menghanyutkan lamunan. Supir taksi pastilah orang yang banyak merenung dan karena itu menjadi bijak, karena pengalaman mereka bermacam-macam. Pernah terjadi, ada dua koran di kantong kursi belakang, Pos Kota dan Kompas. “Tergantung siapa penumpangnya,” kata supir kita yang bekerja dengan semangat pelayanan.
Duduk terus raun-raun dalam mobil, membuat tubuh mereka rawan dengan aneka sakit pinggang dan ginjal, semacam kencing batu dan entah apa lagi. Akibatnya mereka harus banyak minum, berbotol-botol liter air mineral mereka tenggak setiap hari tanpa kenikmatan selain menjaga kesehatan. Dalam udara dingin karena AC, meski selalu berjaket tebal, kehendak kencing selalu sulit ditahan. Mau kencing di mana? Sangat sering kita lihat pemandangan: supir taksi menggunakan pintu mobil sebagai penutup, demi rasa susila ketika kencing di tepi jalan. Tentu saja. Mau kencing di mana? Terlalu sedikit WC Umum di Jakarta, WC Umum yang tidak usah nebeng di masjid, hotel, atau pertokoan. WC Umum yang mandiri. Kata orang, sebuah rumah jangan dinilai dari ruang tamunya yang penuh pernik, melainkan dari dapur dan WC-nya. Nah, bagaimana dengan rumah kita yang bernama Jakarta? WC pun tak punya! Ini membuat air seni supir taksi bertebaran di mana-mana, menguap dan membubung ke udara untuk jatuh lagi sebagai hujan di kepala kita. Haha!
*) Tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah Djakarta! dan kemudian, bersama kumpulan tulisan lain, dibukukan sebagai Affair: Obrolan Tentang Jakarta (Penerbit Buku Baik Yogyakarta, 2004). Penerbitan kembali tulisan ini dilakukan atas izin pengarang.
SENO GUMIRA AJIDARMA lahir di Boston, 19 Juni 1958. Ia adalah seorang sastrawan, fotografer dan kritikus film Indonesia. Cerita pendeknya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai Cerita Pendek Terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerita pendeknya antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), juga beberapa novel seperti Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987, ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerita pendeknya Saksi Mata, ia memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997. Pada 2005, ia mendapatkan Khatulistiwa Literary Award 2005. Kini ia tinggal di Jakarta dan mengajar matakuliah Kajian Media di FFTV-IKJ dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana FIB UI.