Hery Firyansyah
http://www.suarakarya-online.com/
Rio, mendendangkan lagi tembang kenangan itu. “Putri, ini Ayah. Ayah, ini Putrimu.” Lantas kudengar suara Rio tertawa bersama putriku, diakhir setiap dendang itu. Aku selalu ingin keluar dari tubuhku, kalau kudengar dendang itu. Tapi, aku tidak bisa melakukan apapun, tentu saja. Seperti aku tidak bisa mengatakan pada Rio (suamiku) siapa ayah, dari putriku?
Aku mengakhiri cinta remajaku, bersama Edo 14 tahun yang lampau. Ketika, kami menamatkan SMA. Waktu itu, kami berdua menangis bersama, skarena, Edo bersama orangtuanya harus pindah di sebuah kota di mancanegara. Namun, tangisan itu berhenti, ketika aku mengenal Rio di semester pertama, semester kedua, semester ketiga. Dan ketika kami sama-sama membuat skripsi. Kami semakin dekat. Kalau berdekatan sepertinya, kesetrum. Lantas, waktu itu mama menikahkan kami sekalipun kami berdua, belum lulus atau bekerja.
Seperti laron yang terbang ke arah lampu, kami pergi ke kota Jakarta ini, untuk mengais rejeki. Dan seperti para urban yang lainnya, kami hanya bisa bertemu kembali di saat jam menunjukkan angka 20.00 malam.
Tapi, kami cukup bahagia dengan sebuah rumah mungil, di mana kami dengan penuh kebebasan, bisa berlena-lena, kemudian tidur dalam nafas malam. Tidak ada mimpi remaja yang lain lagi. Sekalipun, aku sering bercerita kepada Ani (teman sekantor) tentang kisah cintaku di masa remaja bersama Edo, tidak punya maksud apa-apa dalam cerita yang sering kuulang itu. Bisa jadi hanya cerita itu yang bisa kuceritakan, dan kami terbahak-bahak di kota metropolis yang dingin dan angkuh ini.
Suatu siang, aku merasa tidak bahagia, tidak ada apa-apa, aku tidak bertengkar dengan Rio. Lucu memang, mungkin aku jenuh saja. Bisa jadi, mama benar, kadang-kadang kita butuh sendirian saja, sekalipun sudah bersuami. Aku minum kopi dan menikmati kue ini, melihat banyak orang yang lalu-lalang, aku berpikir apa yang sedang mereka kerjakan dengan baju warna-warni.
Tiba-tiba, aku merindukan Malang, tempat aku menghabiskan masa remaja. Aku ingat pada cinta remajaku. Aku tidak tahu lagi, di mana Edo berada. Ketika aku mulai serius dengan Sami, aku tidak membalas suratnya lagi. Aku sudah memutuskan untuk menutup hatiku kepada lelaki manapun.
Aku betul-betul terpana, tiba-tiba, Edo di depanku dan seperti ketemu teman sekelas di masa remaja, kami berha,ha, hi,hi. Dia masih bujangan yang bekerja sebagai pelatih sky di Swiss. Dan pada saat-saat tertentu, dia bilang, kadang-kadang merindukukanku, jajanan bakso di kota Malang dan lain-lainnya.
Aku juga bercerita, aku sudah punya Rio. Aku juga katakan, lusa pada hari Jum’at, teman sekelas dulu, Ami akan merayakan ulangtahunnya. Kami akan mengadakan pesta supraise, aku berharap Edo mau datang. Ketika berpisah, ia melihatku lekat-lekat. “Kamu sekarang cantik sekali!”
Kukira sudah lama Rio tidak melakukan pujian itu. Pesta ulang tahun ini, sangat meriah, Edo menikmati hidangan bakso dan jus alpukat yang tidak bisa dinikmatinya di Swiss. Pada kesempatan itu, aku mengenalkan Sami kepada Edo. Mereka kelihatan tidak bermusuhan. Aku sudah pernah cerita tentang Edo, kepada Rio, dia beranggapan, itu cuma cerita remajaku.
Pada pertemuan kali berikutnya, Edo bercerita, “Setiap kali musim semi, aku melukis wajahmu. Dan pada setiap musim salju, setiap kali aku juga membuat wajahmu dengan bongkalan-bongkalan salju itu.”
Aku katakan kepadanya, “Kamu merindukan masa mudamu dan obyeknya, kebetulan aku. Kita sekarang sudah 32 tahun, waktu sudah lewat untuk kita bersama.”
Kemudian kami tertawa bersama. Suatu kali, Edo datang ke rumahku, pada waktu itu, waktu makan siang, tidak ada apa-apa di kulkas, kita makan siang hanya dengan telur dadar dan beberapa potong tempe, Edo bilang, “Barangkali kau lupa, tapi aku ingat, menu itu yang pernah kita masak sewaktu kita kemah”.
Kemudian, kami mencuci piring ini, dan mencuci mulut kami. Kami sama-sama merasa ada ledakan ketika tanpa sengaja di tempat cuci piring ini tangan kami bersentuhan.
Seminggu kemudian, Edo pamit, dia akan meneruskan perjalanannya menziarahi kuburan ibunya di Malang, ke Bali langsung kembali ke Swiss. Aku melihat, Edo sangat sentimentil ketika itu, tapi aku biasa saja.
Kemudian kujalani kehidupan rutin, sampai suatu saat ketika aku memeriksakan diri, dokter itu mengatakan, “Aku hamil.” Rio mendengarkan dengan bahagia, dia menganggap ini adalah kisah sukses dari pernikahan kami.
Aku ingin melesat keluar dari badan ini, mendengar kabar itu. Tidak tahu perasaan apa yang bisa diceritakan. Tepatnya, tidak ada keinginan untuk menceritakan itu kepada siapapun.
Namun, sejak saat itu aku mencari dokter yang bisa menggugurkan kandungan ku itu, karena aku tiba-tiba merasa jijik bukan saja kepada diriku, tapi juga kepada kehamilan yang sudah aku tunggu selama sembilan tahun. Namun, ketika memasuki pekarangan praktek dokter yang akan menggugurkan janin ini, aku berlari menjauh, kudengar suara perawat memanggiku, lariku semakin kencang. Ketika sampai di rumah, aku sudah memutuskan untuk membesarkan putriku tidak atau dengan Rio.
Sekarang aku lebih rajin membaca dan bicara seperti filsuf, aku katakan kepada Rio cinta dan seks sangat berbeda, kalau salah menilai cinta, kekeliruan besar. Karena seks dan cinta seperti gula dengan kopi.
Rio tertawa, dan bilang, anaknya akan menjadi filsuf besar dan secara sepintas dia juga menanyakan kabar Edo, Aku katakan dalam bulan ini, Edo akan menikah.
Aku sudah mengambil keputusan untuk menjadikan Rio sebagai bapak putriku, karena aku yakin yang paling tepat untuk membesarkan putriku di negeri ini. Sekalipun negeri ini oleh Edo dianggap negeri yang paling kacau, dengan korupsinya, flu burung, transportasi yang brengsek, dan pendidikan yang runyam.
Namun, aku yakin negeri ini pasti bisa memberi rasa kekawanan daripada di negeri lain. Bahkan kalau mungkin aku akan kembali ke kota Malang untuk membesarkan dia di tengah kehangatan, dan kekerabatan. Oleh karena itu, aku tidak ingin Edo tahu tentang hal ini. Dan menganggap dialah yang paling berhak atas putriku.
Di sisi lain, aku yakin putriku akan bisa menyayangi Rio, kelak kalau dia bertemu Edo, dia akan menganggap Edo adalah teman dari orangtuanya, dia adalah putri dari Rio tepatnya anak sulung kami.
Ya, aku sudah harus merencanakan itu sejak awal, untuk putriku. Kala mertuaku menjengukku bilang, “Matanya mirip Rio.” Hanya aku yang tahu. Matanya tidak mirip Rio. Tapi, mata itu mata yang cerdas dari seorang perempuan. Untuk itu, aku akan memberikan tempat yang terbaik untuk dirinya. Aku, harus merahasiakan itu rapat-rapat. Bukan saja kepada putriku, Rio, tapi juga kepada diriku sendiri. Karena satu-satunya yang bisa aku cerita dengan jujur, hanya kepada si Belang. Tapi sudah beberapa hari kucing itu tidak datang. Kadang-kadang, aku tidak berdaya, aku tidak bisa menyimpanya sendiri. Aku menangis dan sering kali Sami bilang kepadaku, “Aku tahu seorang ibu setelah pasca melahirkan akan mengalami depresi, hal itu biasa dan akan lewat. Kalau kamu sedih air susumu akan menyusut.” Aku terdiam, sebenarnya aku tidak ingin dia tahu, masalahnya tidak sesederhana itu. Aku sebetulnya ingin menyelesaikan ini dengan kejujuran, aku takut Sami akan terluka. Dan apakah dengan luka itu, dia masih siap menjadi ayah dari putriku? Aku juga tahu, Rio laki-laki yang tidak akan pernah tahan dengan kesalahan yang pernah aku lakukan bersama Edo. Ya, pada waktu itu, aku seperti diseret ke sebuah lautan yang biru, di mana aku dan Edo berenang-renang dan terseret di gelombang yang besar. Setelah itu, aku merasa tidak ada apa-apa antara aku dan Edo. Aku bersama Rio adalah misteri yang tidak bisa aku ungkapkan, sebuah mimpi adalah bagian kehidupan bersama Edo, yang tidak bisa dibawa ke dunia nyata untuk mendidik putriku di dunianya.
Yah, kalau aku katakan kepada Edo, aku yakin, Edo akan menjemputku dan bayinya. Tepatnya menjemput mimpi-mimpi kami. Padahal, ada Rio di antara kami, sesuatu yang tidak bisa dihapus begitu saja. Karena kami berdua sudah belajar untuk menjadi orangtua dan putriku juga belajar, Rio adalah ayahnya, bukan Edo, tentu saja. Kami bertiga akan belajar dengan proses tumbuh kembangnya putriku di dunianya. Aku dan Rio kadang-kadang akan membuat sebuah kesalahan.
Tapi, itu jalan yang tepat untuk mengantar putriku ke dunianya. Dia akan belajar juga untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Kami sudah mengangan-angankan, kalau putriku sudah berusia dua tahun, kami akan membawanya ke Malang, menziarahi kuburan kakek dan nenenknya. Melihat kenari di muka rumah, atau monyet-monyet yang ada di Wendit.
Tentu ia juga akan belajar bergaul dengan sepupunya, anak-anak sahabat ibu bapaknya, bahkan kalau Edo datang dengan anaknya, putriku akan melihat itu sebagai bagian dari dunia ibunya, bukan dunianya.
Rio sudah berangan-angan, akan membeli sebuah rumah mungil di Malang di mana cucu-cucu kami akan bermain, di sela-sela pohon mangga atau rambutan. Bahkan, Rio sudah mengatakan, kalau Putri anak tunggal kami. Karena gaji dan cinta kami tidak begitu lebar, untuk dibagi-bagikan kepada adiknya, Putri. Namun, cita-cita itu sedikit mengganggu, kalau Rio mendendangkan lagu “Putri ini Ayah, Ayah ini Putri.”
Kadang-kadang terbersit dalam pikiranku, apakah Rio meragukan juga siapa Bapak putri, apakah dia tahu dan cuma diam-diam saja. Sering sekali di tengah malam aku terbangun dan melihat Putri maupun Rio, tidur dengan kepolosannya, aku menangis. Dan kadang-kadang terbersit olehku untuk pergi jauh dari mereka berdua.
Pemeriksaan darah putriku dicatatan rumah sakit tidak menunjukkan dia ikut golongan darahku atau golongan darah Rio. Aku tidak mengatakan itu kepada Rio. Aku selalu menaruhnya di laci bajuku. Karena aku pikir ini tempat yang paling baik untuk aku dan putriku. Almarhum Ayahku pernah bilang, “Jujur itu mudah.”
Tapi, aku ingin mendebatnya kali ini. Kalau Rio tahu, dia akan menceraikan aku pastinya. Dan Edo yang sekarang sudah punya istri, akan memperebutkan anak biologisnya.
Mungkin, kalau aku menceritakan ini kepada teman-teman di kantor tentang peristiwa itu, mereka akan tertawa, bilang aku goblok. Karena aku tidak pakai alat kontrasepsi yang sangat mudah didapat.
Yah, aku tahu beberapa teman sekantor yang punya kekasih, tidak akan pernah hamil dengan kekasihnya itu, kecuali aku. Aku memang sudah lama merindukan anak, aku tidak pernah memakai alat kontrasepsi sepanjang pernikahanku dengan Rio.
Sesungguhnya, setelah selesai dengan Edo, aku merasa seperti hewan, karena cinta remjaku pada Edo, tiba-tiba terhapuskan. Selama ini aku begitu yakin, cinta itu bisa diketemukan lewat seks, tapi aku salah, setelah bersibadan dengan Edo, aku mandi berulang-ulang dan aku merasa jijik. Rio menangkap itu sebagai bagian dari proses diriku yang akan menjadi seorang Ibu. Aku sering menangis sendirian di ruang tamu.
Sebaiknya dia tahu, lantas kami bertengkar, kemudian becerai. Tapi itu tidak ada dalam kehidupan kami. Ketika dia tahu aku hamil, dia menyayangi aku seperti setiap calon bapak. Dia mencoba membahagiakan aku habis-habisan. Pada setiap orang yang dikenalnya dia bilang, setelah hampir sepuluh tahun pernikahan kami, dia harus bersabar untuk sebuah kelahiran yang sudah lama ditunggu.
Setelah selesai ceritaku pasti akan muncul sebuah pertanyaan, bagaimana menghapus masa lampau, karena setiap pulang kantor, Rio selalu mendendangkan lagu ini, “Putri ini Ayah, Ayah, ini Putrimu.” ***
* Surabaya, 15 Maret 2007 – Agustus 2010