Tidak Ada Sastra Religius

Ribut Wijoto

Ada satu konsepsi tema dalam perbincangan sastra—sebuah kerja nyaris sia-sia: religiusitas sastra. Sejak jaman Hamzah Fansuri, Balai Pustaka, tahun 1970-an, hingga sekarang; diselenggarakan diskusi atau tulisan lepas yang menekankan adanya religiusitas dalam karya sastra. Dipelopori Abdul Hadi WM, aliran sastra sufi pun muncul. Mengapa konsepsi tema religi rekat pada perbincangan sastra? Apakah kontribusinya bagi tradisi sastra?

Amir Hamzah, sastrawan yang dibabtis HB. Jassin sebagai raja penyair Pujangga Baru, dalam puisi “Padamu Jua” menuliskan larik pulang kembali aku padamu, seperti dahulu. Sebuah puisi cerdas, dan karenanya membikin pembaca terpesona. Kata ganti mu dirtikan simbolisasi Tuhan. Ini tentu bukan penafsiran yang salah, teks menyediakan paradigma semiotis bagi simbolisasi Tuhan.

Konsepsi ketuhanan pembaca memperoleh keselarasan atau terwakili oleh imaji ritual puisi Amir Hamzah. Pertemuan dua kutub dalam ruang sublimitas. Pembaca dan puisi. Aku lirik kembali ke jalan yang benar setelah berlepotan tindak dosa dalam berpetualang di alam profan. Jalan Tuhan. Pulang kembali aku padamu, Tuhan. Penafsiran religi mendapat sandaran dalam larik puisi. Pembaca, sekali lagi, terpesona. Kesimpulan muncul, puisi Amir Hamzah religius.

Amir Hamzah, kiranya, bukan satu-satunya penyair yang mendapat hasil penafsiran religius. Ada banyak penyair yang puisinya membuka diri pada pengalaman berseru terhadap Tuhan disebut penyair religius. Puisi religius, sastra religius. Ini adalah klaim massal yang melekat -nyaris abadi- dalam puisi. Juga dalam prosa. Juga dalam drama. Semisal drama Emha Ainun Nadjib berjudul “Perahu Retak”. Kumpulan prosa Fariduddin Attar dan Kahlil Gibran, bahkan sering, dipajangkan pada deret buku-buku agama.

Sesungguhnya yang terjadi adalah pemberian identitas sastra oleh pembaca. Massa pembaca.

Bagaimanakah karya sastra pada kerangka akar sastra? Bagaimana religi dalam kerangka akar religi? Bagaimana juga posisi sastra berhadapan dengan religi? Persandingan sastra sebagai institusi kerja idenpenden dengan religi sebagai institusi independen pula.

Sastra hidup dan dihidupi oleh dataran estetika. Dataran pembebasan. Karya sastra akan semakin berhasil—memesona dan menakjubkan—bila mampu membongkar tatanan. Mempertanyakan kepastian sekaligus meluruhkan paradigma ideologisnya. Sastra seperti sorot mata yang memandang tajam batu hitam pekat. Lima menit pertama, batu itu hanya bergetar. Lima menit kedua, batu tersebut melepuh menjadi adonan. Sastra hadir untuk membuktikan kerapuhan setiap ikatan.

Religi hidup dan dihidupi oleh dataran etika. Dataran ikatan. Religi menciptakan jalan lurus, lengkap dengan rambu-rambu dan tanda seru. Lembaga agama merupakan contoh paling tepat dari kerja religi. Ada kitab pegangan menempuh hidup. Religi senantiasa mempersatukan ketidakberaturan melalui kekokohan tatanan. Kehadirannya seakan ingin menegaskan kesatuan cemerlang. Religi seperti lanskap arakan elang mengangkasa di suatu sore yang redup.

Sastra berusaha menyamarkan pemilahan benar-salah. Dua nilai kunci ini diacak dan dipertaut-tengkarkan. Religi bersikukuh dengan kemutlakan benar-salah. Keduanya jelas terpisah dan berdiri pada tempat berlawanan.

Baik-buruk bertukar tangkap dengan lepas dalam sastra. Satu tindak bisa serentak baik sekaligus buruk. Sastra akan sangat gembira dengan penggambaran orang yang berjalan jauh—berpakaian merah kelam dan bersenjatakan golok—, di tengah perjalanan orang tersebut meninggal. Apakah pejalan tersebut salah atau benar sangat sulit ditentukan. Ia hanya bisa direka-reka. Bisa benar bila ia bertujuan menebang kayu sendiri. Salah bila ternyata ia ingin merampok juragan dermawan. Karenanya, seorang pejalan yang mati sebelum sampai di tujuan, ia bergerak dalam kemungkinan yang serentak salah dan benar. Bergantung pada akhir; jawaban tegas yang jarang tercantum dalam sastra. Ambiguitas.

Religi menceraikan tindak baik dan buruk. Satu tindak tidak dapat bermuatan baik sekaligus buruk. Religi adalah pejalan yang telah sampai di tempat tujuan. Lepas dari hasil tindakannya, sang pejalan telah selesai ternilai. Ia hanya berhak menyandang satu nilai, tidak serentak keduanya. Jangankan mempersatukan, bersinggungan pun tidak, sebab keduanya bersifat saling berlawanan.

Religi—etika—menciptakan pagar sedangkan sastra—estetika—membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan sedangkan religi memperkokohnya kembali.

Kembali pada puisi Amir Hamzah, bagaimana bila kata ganti mu pada larik kembali aku padamu diartikan bekas pacar. Lebih jauh lagi, diartikan sebagai tempat pelacuran. Antara Tuhan, bekas pacar, dan tempat pelacuran menjadi berposisi seimbang dikarenakan sama-sama mendapatkan acuan dalam teks. Padahal hasil penafsiran dari ketiga kemungkinan tersebut sangat berbeda. Mungkin sangat berlawanan secara aturan nilai terapan pembaca. Tiga model ketakjuban yang berseberangan.

Bagaimana mungkin teks yang memungkinkan adanya perseberangan berlawanan dapat diakui sebagai teks religi? Bagaimana mungkin teks religi membuka diri bagi beberapa kebenaran yang saling bertentangan. Saling mempersalahkan. Religi dalam teks Amir Hamzah hanya benar dalam penafsiran yang semena-mena, menaifkan penafsiran lain yang sama-sama mendapat paradigma semiotik dalam konstruksi teks.

Acep Zamzam Noor malah membikin pengakuan yang kontradiktif dengan wilayah sakral religi. Pada puisi “Lagu Bulan Mei” (antologi Di Atas Umbria, Bentang: 2000) dituliskan: Sebuah sungai di pahamu, Berkelok-kelok dengan riang, Menyirami rumpun bunga dan sayuran, Tangannya yang panjang bahkan mencapai, Altar gereja. Di sini, teks puisi jelas sengaja mempersatukan dua diksi berlawanan—antara sungai di pahamu dengan altar gereja—dalam satu tindak dan satu tujuan.

Perpaduan diksi berbeda—bahkan berlawanan—artinya berusaha menguji kebsahan makna baku berkaitan dengan diksi-diksi lain yang juga diuji keabsahannya. Patokan-patokan etika atau makna puisi—diwakili oleh diksi—menjadi terapuhkan. Diksi-diksi—entah sakral atau profan—berbenturan lalu memaksa memasuki medan makna baru. Teks puisi mempersilahkan pembaca memproduksi sendiri arah dan hasil penafsiran.

Pada puisi Acep terjadi reproduksi etika—oleh pembaca—dengan bermaterialkan reruntuhan etika. Inilah estetika. Sejalan dengan yang diungkapkan Octavio Paz: harmoni puisi lahir dari disharmoni. Keindahan tercipta melalui pertentangan-pertentangan antar makna. Di sini etika—dataran religi—dihapuskan untuk memenuhi dataran estetika.

Kecuali mempertentangkan, ada kalanya puisi mengikuti nuansa citra dan alur logika religi. Tidak untuk disepakati. Puisi mempertanyakan dari dalam—semacam otokritik. Nampak pada puisi Muh. Aris dalam judul “Barongsai” (antologi Ngilu Peju, Gapus: 2000): dendam kepala kami hantam, bara, wujud tuhan, wujud tuhan, yang pendam neraka / dan kami lempar sentil, kelingking pada sorga / yang tak lebih, maya. Puisi terhadap religi seperti menggunting dalam lipatan. Menohok kawan seiring.

Gambaran neraka yang rucah, beringas, dan panas justru diperlakukan sebagai pola sintaksis bahasa. Tragik. Larangan dijadi permainan. Berhadapan dengan sakralitas neraka puisi Aris seperti anak kelas 3 SD yang diberitahu ibunya agar tidak berlari di tengah jalan raya. Bukannya menurut, si anak malah cepat melompat menghadang truk dari arah berlawanan. Saya membayangkan tokoh dalam puisi Muh. Aris sengaja masuk ke neraka. Di sana, ia tidak berkelenjotan kepanasan tetapi berenang santai sambil memainkan alat tabuh Irian Barat dengan cengkok-cengkok Jawa.

Apalagi digambarkan wujud Tuhan yang pendam neraka. Sudah itu, dilempar masuk surga. Terakhir, semuanya dinyatakan maya. Tiada. Kegiatan ini sangat mirip dengan dekonstruksi dari Derrida. Membongkar-bongkar konstruksi lalu menisbikan segala hal. Puisi Aris jelas mempermainkan dan membongkar konstruksi etika atau sakralitas religi, bahkan menisbikan segalanya.

Karya sastra bergenre prosa, rupanya, tidak berperilaku berbeda. Pramoedya Ananta Toer dalam “Cerita Dari Blora” sempat mengisahkan tentang laku Islam Sejati. Seorang anak yang ingin menjadi Islam Sejati disuruh melakukan khitan, setelah dijalani ternyata ia merasa sebaliknya. Berahinya meningkat tajam.

Lebih rumit lagi, peristiwa-peristiwa dalam novel “Ziarah” karya Iwan Simatupang. Di situ tokoh-tokohnya mengalami kejadian yang tidak beraturan, mendadak, asing, dan hanya dapat terjawab dalam kuburan. Mengurusi kematian. Menanti mati. Sendiri.

Apakah dengan begitu masih ada karya sastra yang religius? Saya lebih percaya pada teks sastra yang cerdas. Bahwa teks sastra bukan saja tidak bernuansa religius, justru yang diusahakan adalah merapuhkan religiusitas. Semacam kodrat, diakibatkan berpijak pada dataran estetika. Ketakjuban/ keindahan dari terapan pertentangan, ketegangan, permainan, serta ketidak-pastian. Semuanya berada di luar wilayah religi. Anak haram dari keketatan konstruksi etika.

Hanya saja, ada memang karya sastra yang masuk dan mentaati ajaran religi. Karya sastra yang turut membangun tata aturan etika. Ditinjau dengan ukuran sastra, karya-karya semacam ini tidak bagus. Sebab, mengabaikan estetika. Lari dari keindahan.

Karya sastra jenis ini, seringkali, membangkitkan decak kagum dan mengundang tepuk tangan pembaca. Bersifat menghibur. Sebuah hiburan. Misalnya puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Idul Fitri” (Antologi Puisi Indonesia, KSI: 1998): O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini, ngebut, di jalan lurus, Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar. Saya percaya, puisi ini akan sukses bila dibacakan di acara penutupan reuni SMU. Tidak untuk acara pembacaan puisi, jalinan diksi dan orientasi teksnya membuat orang enggan berfikir dan membayangkan imajinasi jiwa. Jauh berbeda dengan puisi Sutardji dalam “O Amuk Kapak” pada tahun 1970-an.

Sastra tanpa betah religi—begitulah “tidak ada sastra religius”—meskipun bertentangan dengan institusi religi, itu hanya terjadi pada teks. Di luar teks, keduanya menemukan titik temu. Saling menjalin merumuskan kebudayaan. Sastra dan religi ada dalam masyarakat, dihidupi masyarakat, serta hidup untuk masyarakat.

Religi membangun tata krama agar orang mengerti-menjalankan yang benar dan yang baik. Juga memicu situasi daya cipta. Sastra—dengan paradoksalnya—membuat orang mengerti hidup dan yang terjadi pada hidup.

Sastra berguna untuk religi sebagai otokritik. Religi berjasa bagi sastra sebagai modalitas kreatif.

Studio Gapus
http://terpelanting.wordpress.com/page/5/

Bahasa »