M. Maksum
Republika, 25 Maret 2012
LALU-LALANG kendaraan melaju cepat. Suara percikan arang yang membentur biji-biji jagung terus mengusik telingaku. Pembeli kian beradu, sampai-sampai tikar pun penuh dengan orang-orang yang singgah sambil menunggu jagung bakar tersaji. Aku duduk manis di atas dingklik panjang, sambil menunggu pembeli yang singgah di tempatku. Bukan di tempat jagung itu terpanggang.
“Mas, numpang duduk ya?” pinta salah satu pembeli jagung bakar.
“Oh, iya Mas, silakan,” jawabku senang. Ya, aku senang karena cuma dia yang mau singgah di angkringanku, yang sedari tadi sepi pembeli. Aku pun langsung menuju ke tempat duduknya.
“Mau pesan minum apa, Mas?” sapaku.
“Maaf Mas, tadi aku sudah pesan minum sama penjual jagung bakar sekalian.”
Jawaban yang menyobek dadaku. Harapanku hancur. Kesenangan yang aku ciptakan karena ada dua insan singgah di angkringanku, tepatnya duduk di atas tikarku. Aku mengumpat meskipun dalam hati. Aku merasa jengkel. Dari Maghrib sampai sekarang belum ada pembeli. Eh, ada tapi numpang duduk saja.
“Sialan, cuma numpang duduk saja. Aku kira mau pesan minum di sini. Eh, ternyata sudah pesan duluan sama penjual jagung tadi.” Gumam hatiku yang terus memburu ke dalam prasangka buruk. Aku muak, aku cemberut. Aku bosan. Aku hanya bisa menatap daganganku yang kian membisu.
Satai usus, satai telur, satai ati, tempe goreng, bakwan dan tahu susur berdiam diri di pangkuan piring. Nasi kucing lebih mengunci diri di balik bungkusan kertas. Wedang jahe yang kian dingin dengan sepinya gelas yang minta dialiri. Kaleng susu yang membeku, menunggu pembeli untuk merayu. Hanya kepulan asap yang timbul dari bibir hitamku, untuk menguras urat syaraf yang sedari tadi tersulut kecemburuan. Di otakku ramai pertengkaran dan perdebatan antara Si Tanduk Merah dan Jubah Putih.
“Usir saja dari tempatmu. Dia cuma numpang duduk. Ayo cepat usir mereka,” bisik Tanduk Merah dengan lembut, sambil menempelkan bibirnya di telinga kiriku. Aku merinding, bulu kudukku seketika berdiri menantang dingin.
“Ayo cepat usir mereka. Lihat mereka duduk manis berdua sambil bercengkerama tanpa membeli daganganmu,” rayu Tanduk Merah lagi.
“Sabar,” bisik Jubah Putih.
“Sabar itu ada batasnya. Lihat jam di handphone-mu! Mereka sudah dua jam duduk di tikarmu tanpa memedulikan daganganmu,” sergah Si Tanduk Merah.
“Sabar Tadho,” Jubah Putih mulai menyebut namaku.
“Walah, jangan dengarkan perkataan Jubah Putih itu. Dia membujukmu agar kamu bangkrut dengan keadaan ini. Kalau kamu tidak bisa mengusir dengan kasar, dengan lemah lembut saja. Ingatkan. Atau, kalau sudah kepepet pasti akan muncul keberanian, bentak-bentak mereka agar cepat pergi. Enak saja, makan jagung bakar dan minum kopi susu bukan dari daganganmu. Aku saja yang melihat mereka sumpek dan marah,” Tanduk Merah nyerocos sambil mengekspresikan kemarahan kepada Tadho.
“Sabar Mas, ini hanya cobaan,” ucap Jubah Putih dengan santainya.
“Cobaan kok tiap hari. Cepat, usir mereka. Lihat daganganmu, tuh pada cemberut semua. Mereka tidak ada yang suka melihat mereka tetap di sini.” Semakin antusias Tanduk Merah mengembuskan rayuannya. Angin menyibak rambutku perlahan-lahan. Bara api dalam tungku mulai memanas. Jubah Putih hanya bisa mengucapkan sepatah dua kata, dengan kata unggulan “sabar”.
“Nah gitu, ayo bangkit dan usir mereka,” senyum Tanduk Merah semakin mengembang ke atas, mengukir langit yang saat ini dipenuhi dengan berjuta-juta bintang. Aku terhanyut dengan alur rayuannya yang terus memasuki pori-pori tubuhku. Jubah Putih hanya memandang dari jauh. Mengamatiku, meskipun aku tak melihatnya. Aku melangkah mendekati dua insan yang sudah dua jam duduk manis tanpa membeli daganganku. Ketika kaki mendekati, segerombol orang dengan naik sepeda motor berhenti di belakangku. Aku kaget.
“Maaf, Ton, terlambat,” sapa seseorang dari atas motor.
“Emang ada apa kok lama banget? Capek nih, sudah dua jam di sini menanti kalian,” jawab Anton kesal.
“Maaf banget. Soalnya ban sepeda motor Roni bocor. Kita harus nunggu dulu gitu. Biar bisa sampai di sini bersama-sama.”
“Ya sudahlah. Ayo duduk di sini.”
“Apa muat tikarnya?”
“Muat, diperpanjang dulu.”
“Mas ini tikar buat kondangan ya, Mas?” tanya salah satu gerombolan tadi kepadaku.
“Kok tahu, Mas?” jawabku singkat.
“Bentuknya panjang, bisa muat orang banyak,” katanya lagi sambil tertawa.
“Aneh-aneh saja, Mas.”
“Mungkin juga terpal itu juga buat kondangan?” katanya sambil menuju ke bungkusan nasi kucing.
“Betul banget. Buat kondangan kalian malam ini,” tawa menggelegar.
Aku langsung kembali ke dingklik panjangku untuk membesarkan bara api. Satai usus, satai telur, dan daganganku yang lain tertawa dengan kehadiran teman-teman Anton. Angin bernyanyi tanpa ada aba-aba. Lampu-lampu gunung semakin terang. Seterang hatiku.
“Nasi apa, Mas,” tanya pembeli dari gerombolan tadi.
“Ini nasi bandeng, ini nasi ikan teri,” kataku sambil menunjukkan nasi kucing.
Tak kusangka, nasi kucing langsung ludes. Satai usus, satai telur, dan makanan kecil lainnya berkurang dengan kehadiran gerombolannya Anton. Sampai-sampai aku kerepotan untuk melayani mereka yang berjumlah 15 orang.
“Waduh gelasnya kurang nih,” gumamku dalam hati. Telepon ke rumah saja.
“Halo, Mas, bawakan lima gelas ke sini. Gelasnya kurang,” ucapku lewat telepon kepada Masku yang berada di rumah.
“Kurang berapa gelasnya?”
“Bawakan lima gelas saja, Mas.”
Sepuluh menit lagi gelas akan dating. Aku mempersiapkan minuman dengan hati-hati. Baru kali ini aku melayani pembeli yang jumlahnya sangat banyak. Meski kerepotan, hatiku berbunga-bunga. Macan yan mencakar-cakar hatiku terobati denga rasa ikhlasku.
Di sisi lain, Tanduk Merah kian terbakar, Tanduknya semakin panjang. Menangis darah lewat kedua matanya. Kalah, kalah, dan kalah. Di ujung sana yang tak terlihat dengan mata telanjangku, Jubah Putih tersenyum manis melihatku, meski tadi aku sempat terhanyut dengan hasutan Tanduk Merah. Aku sedikit menyesal. Namun Tuhan selalu menolong ketika hatiku tak bercampur dengan iri dan dengki. Keikhlasan yang menolongku.
“Wah laris manis ya, Mas Tadho,” sapa Ibu penjual jagung bakar.
“Alhamdulillah, Bu, semua ini berkat doamu, Bu. Semoga dagangan kita cepat habis, Bu,” senyumku mengembang. Tak ada rasa sakit yang terus memupuk.
Salatiga, 240212
Penulis tinggal di Dusun Brajan, Desa Blotongan, Salatiga, Jawa Tengah. Saat ini mengabdi di MI Global, Blotongan, Salatiga. Bersama teman-temannya, mendirikan Sanggar Gubuk Kata.
Catatan:
Dingklik: Tempat duduk dari kayu yang muat banyak orang.
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2012/03/31/tikar-keikhlasan/