25 Tahun FFB Sejumlah Penyair Membacakan Puisi Film

Daisy Priyanti
suarakarya-online.com

Sebuah panggung sepi mengumandangkan puisi “Masih Bayangan” karya sutradara senior Nobertus Riantiarno di Gedung Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung, pekan lalu. Sekitar seratus penonton langsung hening menyimak suara lantang Ketua STSI Bandung Endang Caturwati yang berdiri sendirian di atas pentas untuk memperingati 25 tahun Festival Film Bandung (FFB) itu.

“Berawal dari inspirasi//sumbernya bulan dan matahari/ kemanusiaan jadi tujuan/ kesenian adalah jalan//lalu eksperimentasi//kerja tak kenal henti//tapi setelah keberhasilan diraih//perubahan bisa terjadi//seni menjadi komoditi//menyusul pula politik”.

“Entah mengapa tega//mengotori layar putih//dengan kumpulan jargon//slogan-slogan tanpa makna//janji-janji belaka//lalu belenggu aturan//sensor mencekik pula//pembinaan yang diniatkan//jadi hantu pembinasaan//politik kekuasaan”.

Puisi Riantiarno itu adalah salah satu karya yang termuat dalam buku bertajuk “Puisi Film”. Buku ini diterbitkan FFB untuk menandai 25 tahun usianya.

Bersampul merah pertanda perlawanan, buku itu merangkum 25 puisi karya 25 seniman dari berbagai latar belakang. Selain Riantiarno, mereka yang menyumbang puisi antara lain seniman kondang Putu Wijaya, aktor dan sutradara kawakan Slamet Rahardjo, penulis skenario Armantono, dan Ketua Umum FFB Eddy D. Iskandar yang novelnya “Gita Cinta dari SMA”, sukses ke layar lebar.

Dengan lugas dan jernih, para seniman itu menyuarakan pandangannya mengenai kondisi perfilman Indonesia saat ini. Slamet Rahardjo bahkan hanya memerlukan waktu satu hari untuk melahirkan puisinya yang pertama berjudul “Dendang Perawan”. “Puisi itu lahir begitu saja secara spontan berdasarkan kondisi yang saya ketahui saat ini,” ujarnya.

Dengan keahliannya berseni peran, Slamet tampil menawan menyairkan puisi itu di panggung. “Lingsir wengi//dendang perawan malam hari//wing semriwing//semerbak wangi dupa setanggi//mimpi di atas mimpi//melayang aku pengen jadi bidadari//oh harapan muara keinginan//beken di atas beken//geregetan aku berkhayal jadi keren//eh siapa tahu//coba punya coba//bisa lebih dari penganten”.

“Ning nang ning gung//dendang seribu peri di lembah gunung//oh para peri dunia perewangan//dengan kuasamu bawalah aku terbang//eh siapa nyana//bisa salaman sama dewa//dewa sakti bernama ketenaran”.

Puisi kocak itu dibawakan Slamet dengan menggelitik, namun tegas menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi perfilman Indonesia yang dinilainya telah kehilangan unsur kontemplasi. “Seni peran itu bukan cuma dilakoni, tapi harus dihidupi,” kata peraih lima Piala Citra itu.

Menurut Slamet insan perfilman Indonesia kini cenderung ingin mengikuti trend global tanpa mengindahkan budaya nasional. Pesan serupa disampaikan seniman Nenden Lilis A.

Dalam puisinya bertajuk “Episode Layar” dia bersanjak, “Jangan dengarkan dia//jika mau, industri bisa untuk tidak hanya melenakan masyarakat dan menguntit selera pasar//demi mengeruk keuntungan//industri bisa menciptakan karya yang mencerahkan sukma anak negeri!//seru yang lain dari dalam koran”.

“Lalu, suara siapa itu//bagai dibawa angin dari bukit yang jauh//menyuruh selalu berkemas dan berbenah//tetapi kemudian//inilah yang masih terjadi: pada sebuah gedung sinema//bukan kacang dan bajigur teman menonton//tapi hot chocolate dan popcorn//yang harganya tak terjangkau mimpi orang pinggiran//di loket diam-diam kuhitung orang mengantri//berapa orang yang memilih film sendiri//ternyata lebih banyak untuk sinema luar negeri”. Lalu Iman Soleh, dalam puisinya berjudul “Ode Untuk Sandek”, mengkritik film yang tidak lagi berpijak pada kondisi sosial yang nyata.

“Apakah kemiskinan kami//kelaparan kami//bisa diwakili kesenian kamu//nyanyian kamu//teriak waska//si pesolek terdiam//laiknya intelektual frustasi//di kota ini jiwa menjadi badut//buruh-buruh dibungkam mimpi//perguruan tinggi tak punya visi//kepalsuan diagungkan//tak ada kesenian//tak ada puisi”.

Namun, dosen STSI Bandung dan pendiri Studiklub Teater Bandung itu masih menyimpan optimisme di ujung bait puisinya. “Sandek kembali menanam harapan//ketimpangan berbuah gugatan//pada kamera dia bekerja//melukis lewat kata: `Bangunlah orang-orang tidur!” ujarnya//dia acungkan pena ke langit//menentang bapaknya di pasar modal//camkan waska!//kesenian adalah perlawanan//pada ketidakadilan//pada kegagahan uang//meski impian sulit hilang//karena hidup bukan sekedar: “dagang atau daging”. Ketua Umum FFB Eddy Iskandar menyatakan puisi dipilih sebagai medium kritik terhadap kondisi perfilman sekarang karena lebih jujur dan jernih dalam menyuarakan pandangan. “Ada kemarahan, ada kekhawatiran, tapi ujungnya ada optimisme,” katanya.

Eddy berharap, kritik dengan berpuisi menggugah pelaku perfilman Indonesia. Buku “Puisi Film” 94 halaman berbandrol Rp 25 ribu itu dibagikan kepada insan-insan perfilman Indonesia.

“Dengan puisi diharapkan kritik yang disampaikan lebih menggugah, juga bisa menjadi cara yang tepat untuk mendidik masyarakat agar menyukai film yang berkualitas,” kata Eddy.

Berpuisi adalah cara baru yang dipilih FFB dalam melayangkan kritik terhadap perfilman Indonesia yang kini didominasi horor dan adegan “syur”.

Selanjutnya, FFB berencana menampilkan monolog sebagai cara lain mengkritik perfilman Indonesia.

Pendiri Sinematek Indonesia H. Misbach menulis di sampul depan buku “Puisi Film” yang diterbitkan sendiri oleh FFB itu: “Saya orang yang menghargai idealisme. Dan saya juga senang karena FFB tetap menghargai idealisme itu. Saya harap FFB tetap bertahan untuk menilai film dan insan film berdasarkan kualitas mereka, bukan berdasarkan pasar”.

Saat ini, menurut Eddy, FFB tengah menyeleksi sekitar 70 film bioskop dan ratusan sinetron televisi yang ditayangkan pada kurun 2011-2012. “Hanya film yang mengedepankan kearifan lokal yang pantas mendapatkan penghargaan dari FFB,” ujarnya.

Pada usia 25 tahun penyelenggaraannya, FFB mendapatkan kado istimewa berupa perhatian berskala nasional. Sebuah televisi swasta nasional berniat menayangkan secara langsung acara puncak penghargaan yang akan berlangsung pertengahan April 2012 itu.

Eddy berjanji publikasi secara nasional tidak akan melunturkan idealisme FFB yang konsisten menilai film-film Indonesia dalam 25 tahun berjalan ini.

“Bukan kami yang meminta ditayangkan secara langsung. Televisi swasta itu yang justru meminta karena FFB dianggap layak untuk disiarkan secara nasional. Mereka hanya meliput peristiwanya saja, tapi tidak mempengaruhi penilaian kami,” tuturnya.

FFB yang dibentuk kelompok kecil pencinta film di Bandung hanya ingin menyampaikan apresiasi dan kritik jujur terhadap perfilman Indonesia tanpa berpretensi, kata Eddy lagi

Karena itu, segala aktivitas mereka dikemas spontan dan apa adanya seperti terlihat di atas panggung sepi pada peluncuran buku “Puisi Film” itu, namun mereka yang menghadirinya berharap suara sepi itu suatu saat menembus dinding gedung.

5 Mei 2012

Bahasa ยป