Antara Romo dan Sulastomo

Martin Aleida *

“Dengan minta maaf kita akan dibebaskan dari sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan Soeharto,” demikian seruan Franz Magnis-Suseno SJ dalam mendukung rencana Presiden SBY untuk meminta maaf kepada korban pasca-G30S (Kompas, 24 Maret 2012). “Permintaan maaf akan membebaskan hati kita juga.” Jiwa bergetar dibuatnya.

Tetapi, apa daya. Ada hati yang belum bisa melihat cahaya kebebasan dalam sebuah niat yang dengan agung dikumandangkan oleh seorang romo. Seminggu kemudian, di harian yang sama, Sulastomo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 1963-66, menampik. Katanya: “Kalau benar Presiden hendak minta maaf atas peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika partai-partai lawan PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili, pemimpin teras TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa Madiun 1948?”

Dalam kedua tulisan yang berdiri di tebing yang berseberangan itu, tetap terasa ada iman yang miring dalam mengetengahkah fakta-fakta yang ditinggalkan sejarah. Romo Magnis lupa pada kenyataan bahwa Presiden Soekarno berulang kali, dalam berbagai pidatonya, berupaya meneduhkan pikiran dan hati orang-orang yang terhasut komunisto-fobi, yang dilancarkan rangkaian media yang sepenuhnya di bawah kontrol Angkatan Darat waktu itu. Dan sang presiden meminta publik untuk jangan melupakan jasa-jasa orang Komunis dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Beribu-ribu mereka dipenjarakan maupun dibuang ke Boven Digul, Papua, katanya.

Tetapi, tambah Soekarno mengingatkan akan jasa orang-orang Komunis yang sedang dikejar-kejar, bertambah deras saja darah orang-orang yang dituduh PKI, simpatisan dan anak-cucu mereka membanjir di berbagai daerah. Soekarno, melalui berbagai pidato politiknya, juga mengimbau masyarakat untuk menunggu “keputusan politik” yang akan dia ambil untuk menyelesaikan masalah yang sedang merundung bangsanya. Namun, kelompok yang berada di bawah kepemimpinan Soeharto, yang merasa pintu kekuasaan sudah terbuka bagi mereka, mengabaikan permintaan itu. Diam-diam mereka malah mendukung gelombang pemusnahan manusia dengan cara-cara di luar batas norma-norma peradaban. Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, komandan pasukan elite Angkatan Darat memimpin konvoi red drive ke Jawa Tengah, terus ke Timur sampai Bali. Begitu pulang dari ladang pembantaian, kepada wartawan dia sesumbar telah menghabisi lebih dari tiga juta Komunis, melampaui jumlah korban Perang Viet Nam.

Kegagalan G30S, yang hanya berkuasa beberapa jam, telah memberikan “dalih” yang memang sudah ditunggu-tunggu oleh sebagian unsur di dalam Angkatan Darat, dan lawan-lawan PKI, untuk menumpas kaum Komunis sampai ke akar-akarnya (John Roosa, 2008). Dan pada akhirnya sejarah menunjukkan bagaimana Presiden Soekarno dikerjain, dirongrong secara sistematis, dijatuhkan, diasingkan, dan dibiarkan menemukan ajal dengan tragis di dalam tahanan. Dia meninggal menyusul ribuan Komunis dan orang-orang kiri pendukungnya, yang dia gambarkan dengan pepatah Jawa yang dia pelesetkan: “Bukan sanak saudara dan tak ada hubungan darah, tetapi kalau mati aku yang kehilangan.”

Lupakah Romo bagaimana semua media massa yang berada di bawah kendali Angkatan Darat melancarkan kampanye hitam terhadap PKI dengan antara lain mengatakan bahwa para petinggi Angkatan Darat yang diculik, dipotong-potong kemaluan mereka sebelum diceburkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya. Diiringi tari Genjer-Genjer dan nyanyian Harum Bunga, yang dibawakan perempuan-perempuan Gerwani, organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Padahal, visum dari Rumah Sakit Angkatan Darat (!), sebagaimana yang dikutip oleh Presiden Soekarno beberapa hari setelah “malam jahanam” itu, bertentangan dengan fitnah yang ditiup-tiupkan untuk membakar amarah.

Begitu beratkah hati Romo sehingga tak sedikit pun sudi menyinggung kenyataan sejarah tersebut sebagai bukti, untuk kemudian menguraikan dan meneguhkan sikap dalam, paling tidak, menegakkan sebuah hipotesa, siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap pembantaian berantai yang memusnahkan 500.000 (menurut perkiraan kebanyakan peneliti Barat) sampai tiga juta manusia Indonesia. Para pelaku penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi Angkatan Darat, termasuk pentolan G30S, sudah diadili. Sudah dieksekusi. Sekarang, siapa yang bertanggungjawab terhadap korban yang begitu banyak, yang menurut Romo merupakan salah satu “kejahatan terbesar terhadap umat manusia di bagian kedua abad ke-20”? Apakah sebuah kehampaan bisa membunuh?! Atau apakah kehampaan memang telah dengan sengaja diciptakan untuk mensahkan pelenyapan nyawa saudara-saudara kita?!

Ketika menyigi tulisan Sulastomo, saya ingin memendam kata-kata sehingga jeritan hati tidak menemukan kesimpulan bahwa gugatan semacam itu barangkali merupakan contoh kebencian politik yang berlebihan, membabi-buta. Bagian dari stigmatisasi sistematis yang dilancarkan terhadap korban pasca-G30S. Akal sehat terharamkan, rupanya. Apakah benar PKI begitu berkuasa (kok dituduh melancarkan kudeta?) sehingga bisa membubarkan partai yang lebih besar (Masyumi berada dua tingkat di atas PKI pada Pemilu1955) dan memenjarakan para pemimpin mereka tanpa diadili? Bukankah kitab sejarah yang sengaja melupakan bahwa para pemimpin PKI, dan orang-orang kiri dari berbagai sayap, yang jangankan “dipenjarakan tanpa diadili,” mereka malah langsung dibunuh sonder diadili. Tiang gantungan mereka juga tak ketahuan di mana rimbanya. Sehingga “kebenaran atau kesalahan” yang melekat di hati dan otak mereka tak pernah terbuka. Apakah karena Ketua HMI maka Sulastomo harus berkata begitu? Inilah yang membuat sejarah bangsa ini terus merangkak di lintasan yang tetap saja menanti terangnya bulan dan bintang.

Korban dan permintaan maaf

Yang harus dipertanyakan dengan rendah hati, apakah para korban pasca-G30S pernah menghamba untuk memperoleh permintaan maaf? Tak pernah saya dengar. Minta-minta ampun ya! ketika mereka menghadapi rupa-rupa penyiksaan di sel-sel tahanan. Mereka tidak merasa telah terjerumus dalam pilihan yang salah. Yang barangkali tak terpikirkan oleh mereka adalah bahwa orang-orang yang sudah termakan hasutan dengan cara-cara yang jahat dan sistematis, bisa begitu ganas beringas.

Mereka berkaca pada contoh cerlang-cemerlang yang ditunjukkan dengan gagah berani oleh Soekarno, yang bertahan pada gagasan besar yang mengilhaminya sejak muda. Tentang aspirasi ideologi politik yang berkecenderungan nasionalisme, agama, dan sosialisme-komunisme yang tak terbantahkan kenyataannya. Dan tentang niscayanya kekuatan-kekuatan revolusioner itu, yang dia rangkai dalam akronim NASAKOM, bersatu-padu membawa Indonesia ke depan. Kalau saja Soekarno hanya seorang pecundang, dia tentu sudah berkhianat terhadap pikirannya itu sendiri, dan sebagai presiden membubarkan PKI sesuai tuntutan mahasiswa waktu itu. Dia selamat, dan negeri ini tak seperti ini, barangkali.

Apalah saya, kata orang Medan. Saya tidak punya hak untuk menampilkan diri, dalam tulisan singkat ini, sebagai personifikasi dari jutaan korban. Saya hanya setitik dari sekian banyak yang pernah mengalami penistaan, yang harus bersyukur bisa selamat tanpa lecet sedikit pun. Tak sampai setahun saya dikerangkeng di kamp kosentrasi Operasi Kalong di KODIM 0501, Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat.

Hati saya selalu berbisik bahwa saya bisa bebas sebelum ditendang ke Salemba atau Cipinang atau Tangerang atau Buru, karena saat diciduk bersama beberapa teman, ada “tangan Tuhan” yang tersembunyi di dalam surat wasiat dari kedua orangtua saya yang “sudah teken mati” mau berlayar dengan kapal laut selama tiga bulan untuk menunaikan ibadah haji. “Tangan Tuhan,” saya sangka, juga menyuruk di lembar surat-surat cinta saya dengan gadis yang kemudian menjadi istri saya. Sel tahanan memperteguh kasih dan harapan yang pernah saya bisikkan di kupingnya. Di dalam tahanan, dia turut mengasuh si Butet kecil, yang masih merah, ketika Tarni (masih hidup, 83 tahun) , istri Nyoto, Wakil Ketua II CC PKI, ditangkap. Ibu berdarah ningrat Solo itu digelandang bersama anak-anaknya, dijebloskan ke dapur KODIM tersebut. Nyoto sendiri sudah direnggut paksa nyawanya entah di mana.

Terbayang, betapa kuatnya hati gadis pujaan saya itu dalam pergulatan melawan takut dan teror, ketika dia diperintahkan Kapten Suroso, komandan Operasi Kalong, untuk menyeka lantai yang banjir darah, membersit dari punggung Mula Naibaho, pemimpin redaksi Harian Rakyat, bos dan mentor saya, kekasihnya. Wartawan, teman dekat komponis Cornel Simanjuntak, itu lumat kulit belakangnya digerus ekor pari yang dikeringkan, distrum, dicemplungkan ke bak mandi, lantas disuruh menelan sepiring sambal merah. Pengagum puisi Paul Eluard itu tidak berteriak minta ampun, minta dikasihani. Menjerit apalagi. Dia hanya menggigil menggelatuk.

Memang, semasa menjadi wartawan majalah TEMPO saya menyembunyikan diri bahwa saya pernah bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat dan anggota redaksi majalah Lembaga Kebudayaan Rakyat, Zaman Baru, dalam usia yang baru 20. Dan pernah ditahan. Tetapi, saya tidak pernah menyesali diri pernah menjadi wartawan yang mangkal di Istana, dan pernah diundang sarapan pagi bersama Presiden Soekarno, dan diledek Sang Pemimpin Besar itu karena saya terus ngoceh dengan ajudannya, seorang wanita perwira angkatan laut asal Manado.

Tak pernah terbersit di hati saya untuk menuntut permintaan maaf kepada siapa pun yang telah membuat karier saya cuma seumur jagung. Padahal, untuk itu saya harus berbuat dosa, hengkang dari haribaan kedua orangtua. Setiap saya ke Solo, bersama istri, kami harus menyeret langkah dengan hati seberat batu menuruni tebing Bengawan. Di situ kami melarung kembang sesajen untuk membuat semerbak perjalanan air yang diarungi mertua saya setelah dia disuruh tentara untuk jongkok, ditembak, dan jasadnya ditendang, dilarikan arus entah ke mana… Pada saat-saat seperti itu, pikiran melayang kepada Ayah-Emak saya.

Hati saya juga meratap setiap kali pulang ke kota kelahiran, di tepi Sungai Asahan, Sumatera Utara. Terbayang Noor Tambi, seorang tokoh buruh angkutan, yang membantu “pelarian” saya ke Jakarta untuk belajar sastra. Kabarnya, dia, bersama istrinya yang sedang hamil tua, disembelih, mayat mereka dicampakkan ke arus sungai. Penduduk tak kuasa memakan ikan, sekali pun itu dipanen dari Selat Malaka. Bangkai manusia mengapung-apung berhari-hari mencari Tuhan mereka ke mana-mana.

Air mata saya untuk mereka. Luka hati saya tak terbasuh dengan mengenang mereka. Tetapi, saya tidak meminta siapa pun untuk meminta maaf. Menjadi korban adalah sebuah keagungan. Keagungan! Bukankah Tuhan senantiasa memihak kepada yang tertindas, dan melahirkan agama melalui jalan darah dari manusia yang dia kasihi. Dan sastra semata-mata ditakdirkan untuk memihak korban. Bukankah prosa terbesar yang dilahirkan Perang Dunia II adalah catatan harian gadis manis Anne Frank, yang menuliskan rintihan batinnya sebagai korban?

Manakala sastra mendurhakai takdir ini, maka dia akan tinggal jadi sebuah cemooh. Telah lahir puisi-puisi kutukan terhadap tirani rezim Orde Lama Soekarno, dan nyanyian agung menyambut menyingsingnya sebuah harapan (pada Soeharto). Malang benar! Puisi-puisi dari penyair, yang dikatakan sebagai pelopor lahirnya angkatan baru dalam sastra Indonesia itu, justru dianggap hanya sebagai karya kaum epigon, pengekor para penyair Lekra. Mereka terjerumus ke jurang puisi pamflet yang mereka tolak sendiri. Dan untuk menyebutkannya sebagai angkatan baru, “belum cukuplah syarat dan nilainya.” (Subagio Sastrowardoyo, 1983).

Hanya Tuhan yang punya kuasa atas kata maaf. Dan Dia memberikannya dengan kuasanya sendiri. Belasan tahun saya, dan beberapa penulis yang selamat dari jerat tiang gantungan rezim Soeharto, bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO. Saya tidak pernah menganggap kesempatan itu sebagai permintaan maaf dari seorang yang sadar secara intelektual menjadi anti-Komunisme: Goenawan Mohamad. Saya yakin, bukannya didorong oleh niat meminta maaf, maka dia juga kabarnya menjadi tuan rumah untuk arisan istri orang-orang penting PKI yang diburu dan dibantai. Dia lakukan itu semua padahal dia bukan seorang romo apalagi nabi. Dia cuma penyair yang meniti di titian peradaban.

Goen menyuruh saya mencari Rivai Apin, dia pingin berjumpa dengan Pram, Buyung Saleh. Dalam perjumpaan itu tak ada maaf-memaafkan. Rekonsiliasi tak berbunyi. Pikiran mereka berjalan sendiri-sendiri. Adab yang mempertemukan mereka.

Haram, kalau dari belakang saya mengatakan redaktur KOMPAS membukakan pintu maaf kepada saya manakala cerita-cerita pendek saya dimuat dengan judul yang lebih besar dari logo Harian Rakyat, dimana saya pernah berjuang, dan tumbang. Juga tidak, ketika dua-sejoli pematung-musisi Dolorosa Sinaga-Arjuna Hutagalung memeluk mencium saya setiap kali kami jumpa. Hanya saja airmata saya titik. Hati saya bergemuruh. Bagaimana mungkin di tengah-tengah keganasan, kebuta-tulian, ada manusia yang lahir dengan kodrat seperti ini…
***

*) Martin Aleida, sastrawan, tinggal di Jakarta.

Bahasa »