Andi Andrianto *
pelita.or.id
ADA pameo begini, jika guru mengajar, ah, itu soal biasa. Namun, bila guru menulis, itu baru luar biasa. Peran ganda guru sebagai pengajar di sekolah sekaligus penulis, penulis Koran atau buku misalnya, masih jarang ditemukan di negeri kita.
Dengan bahasa lain, guru yang produktif menulis bisa dihitung dengan jari. Masih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan jumlah guru yang begitu besar. Mungkin hanya sekian ratus guru guru saja yang menulis dari puluhan ribu jumlah guru yang tersebar di seantero negeri. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Menyikapi kurangnya guru yang dapat menulis dapat dilihat dengan berbagai alasan fundamental. Bukan mencari kambing hitam dalam persoalan ini, tapi minimnya guru yang menulis tak lepas dari design lembaga pendidikan nasional yang klasik, itu-itu saja tidak ada inovasi dan improvisasi yang lebih produktif.
Artinya, metode lama dengan model pembelajaran institusi pendidikan masih terfokus pada bentuk pembelajaran menghafal yang lebih menonjolkan intelektual (kognitif) serta menafikan kemampuan kecerdasan psikomotorik, afektif dan emosional (Ary Ginanjar Agustian: 2005).
Inilah salah satu persoalan krusial yang mendedah sistem pembelajaran kita. Dengan lain perkataan, terjadi suatu kenaifan terhadap amanah konstitusi dalam dunia pendidikan nasional. Padahal tujuan pembelajaran sebagaimana UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 juga tidak menafikan soal sikap dan keterampilan.
Dengan maksud sederhana, titik tekan keterampilan yang dimaksud UU pendidikan tersebut dapat diterjemahkan dengan kemampuan menulis yang mesti dimiliki oleh para (calon) guru yang menjadi panutan peserta didiknya.
Selain itu, perihal alasan lain guru (belum) tidak menulis karena ter(di)penjara oleh asumsi umum yang menganggap menulis itu sulit. Asumsi itu berbeda dengan pendapat Arswendo Atmowiloto yang mengatakan bahwa menulis itu mudah.
Menurut penulis buku Senopati Pamungkas itu, menulis ibarat mencium seorang gadis, sekali dapat mencium maka yang lain mudah didapat. Ini pendapat Arswendo, namun berbeda dengan kebanyakan guru kita.
Menulis masih dianggap suatu pekerjaan yang menakutkan. Ada-ada saja alasan mereka menghindari aktivitas menulis. Dalihnya, saya tidak bisa menulis karena tidak bakat, tak punya keturunan biologis seorang penulis, belum datang mood, dan jutaan dalih lain yang menurut Feby dalam tulisannya di Tempo bertajuk Dalih semua itu hanyalah dalih seseorang untuk menghindar dari kegiatan menulis.
Kemudian, tidak sedikit pula guru yang tidak menulis karena faktor malas menulis. Padahal teorinya untuk bisa menulis ya terus menulis apapun menulis catatan harian, menulis aktivitas sehari-hari, menulis hal-hal penting yang terjadi dalam kehidupan atau yang lain.
Sebab, dunia tulis-menulis bukan dunia teori namun dunia yang lebih menekankan pada praktik yang tak kenal kata menyerah. Ibarat orang belajar naik sepeda, sebelum bisa lancar naik sepeda seseorang harus terus belajar praktik naik sepeda meskipun ia berulang kali terjatuh sehingga menimbulkan luka di tubuhnya.
Singkat kata, tanpa praktik menulis mustahil orang bisa menulis. Karena sekali lagi, dunia tulis-menulis bukan dunia teori tapi dunia praktik. Intinya, tanpa berlatih menulis dengan kerja keras serta berdoa tentu mimpi menjadi penulis hanya ada dalam ruang imajinasi/ utopis tidak dalam dunia realitas seperti yang diharapkan (guru).
Ya, itulah beberapa perspektif penulis melihat mengapa guru tak menulis. Berbagai persoalan yang menghambat guru menekuni dunia tulis menulis hendaknya dapat ditepis. Item-item di atas hanya alasan kecil dari banyak faktor orang atau guru tidak menulis. Betapun guru wajib dapat menulis. Karena jika guru tidak bisa menulis bagaimana dengan muridnya?
Sudah bukan rahasia umum, bahwa guru penulis memiliki peran penting dalam memajukan dunia pendidikan nasional yang kian lama makin menurun. Bayangkan saja, kualitas dunia pendidikan kita kini kalah unggul dengan Malaysia.
Padahal sejarah mencatat, dan kita kita semua tahu era tahun 1970-an, Negeri Jiran pernah meminta tenaga pengajar dari Indonesia. Torehan sejarah emas itu menjadi bukti kualitas pendidikan kita dahulu cukup diperhitungkan negara lain. Lantas, bagaimana dengan sekarang?
Sudah barang tentu, menurunnya indeks prestasi pendidikan kita tidak dapat dilepaskan karena minimnya guru yang menulis dan melahirkan karya besar yang membawa perubahan bagi peradaban umat manusia.
Pungkas, bukan maksud menggurui, namun uraian di atas setidaknya dapat menjadi bahan refleksi sekaligus autokritik bagi kita semua utamanya stakeholder pendidikan (pemangku kebijakan), pemerhati pendidikan serta guru yang menjadi panutan siswanya. Di kemudian hari bangsa ini berharap besar adanya revolusi dalam dunia pendidikanutamanya di kalangan tenaga pengajar.
Yaitu, guru yang tidak hanya dapat mentransformasikan ilmu pengetahuan yang ia miliki kepada muridnya dengan cara lisan, tetapi guru yang dapat mencerdaskan anak didiknya melalui keterampilan menulis yang mempuni. Hayo, dicari guru penulis?
*) Penulis adalah pegiat Cahaya Institute Yogyakarta dan Forum Indonesia.