Gola Gong & Tias Tatanka, Bentuk Rumah Dunia agar bisa “Genggam Dunia”

Gola Gong, Tias Tatanka
Tabloidnova.com

Kecintaan pada buku dan cita-cita mempopulerkan budaya baca tulis di Banten, membuat pasangan suami-istri ini membangun Rumah Dunia. Di sana merupakan sebuah pusat belajar dengan segudang kegiatan dan sarana. Anak-anak maupun orang dewasa boleh menimba ilmu tanpa dipungut bayaran.

(Berjarak sekitar 1,5 km dari pintu tol Serang Timur, NOVA tiba di Kampung Ciloang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Udara segar, rimbun pepohonan, dan hamparan sawah terasa sangat menyejukkan. Di depan pagar bambu sebuah bangunan bertembok tinggi, dua orang-orangan sawah berdiri mengapit. Plang kayu bertuliskan RUMAH DUNIA tergantung di atap pagar yang terjalin dari daun kering.

Sebuah pemandangan unik tersuguh ketika pintu pagar dibuka. Puluhan anak-anak beraktivitas di lahan seluas seribu meter pesegi. Ada yang bermain, menulis, menggambar, mendengarkan dongeng, berteater, atau membaca di perpustakaan. Si empunya, Hery Hendrayana Harris (42) atau lebih dikenal dengan nama Gola Gong, didampingi sang istri, Tias Tatanka (35) dan keempat buah hatinya mempersilahkan NOVA.)

Awal Maret lalu, buku nonfiksi Anda Menggenggam Dunia baru diluncurkan ya?
Gola Gong (GG): Iya, sebetulnya saya malu menulis buku berbentuk semacam autobiografi itu, karena takut dibilang narsis. Setelah pikir panjang, akhirnya saya mau. Buku itu lebih kepada pergulatan hidup saya dengan dunia tulis menulis dan buku, terutama dikaitkan dengan kecacatan saya. Selama itu, budaya membaca bukulah yang membentuk karakter saya dan meningkatkan kepercayaan diri.

Sedikit flashback, bagaimana awalnya tertarik ke dunia menulis?
GG: Cita-cita awal saya adalah menjadi guru, tapi saya terbentur dengan kondisi fisik saya yang cacat sejak usia 11 tahun. Bukan karena saya minder, tetapi saya sering terbentur pada infrastruktur dan peraturan-peraturan pemerintah yang kurang sensitif pada orang cacat. Melihat kondisi seperti itu, saya realistis.

Saat itu, hobi membaca yang saya tekuni sejak kecil seperti menyeruak dan membangun proses kreatif saya. Ayah pun bilang, pekerjaan yang tidak menuntut persyaratan rumit adalah menjadi penulis. Tahun 1980-an saya pun mulai belajar secara otodidak. Sempat juga kuliah di Fakultas Sastra Indonesia, Universitas Padjadjaran.

Tahun 1989, saya menerbitkan seri petualangan Balada Si Roy. Lalu, saya sempat menjadi wartawan di Gramedia Grup. Hingga kini saya sudah menulis sekitar 40-an buku fiksi. Sekarang saya menjadi tim kreatif di stasiun televisi RCTI.

Kecintaan Anda pada buku kemudian melahirkan pusat belajar Rumah Dunia (RD). Bagaimana perjuangan Anda membangun RD?
GG: RD itu bukan keinginan yang terwujud dalam satu malam. Sejak dulu saya terobsesi ingin membuat sebuah gelanggang remaja. Apalagi di Banten, tempat saya tinggal, tidak ada wadah untuk berekspresi. Kalau saya mau buku-buku bagus atau nonton teater ya harus pergi ke Jakarta atau Bandung. Budaya baca-tulis di Banten pun sangat rendah, diperparah dengan stigmatisasi berkonotasi negatif tentang wilayah itu. Saya merasa bertanggung jawab secara moral untuk memperbaikinya.

Benih tanggung jawab itu terus saya pelihara hingga kuliah dan bekerja di Jakarta. Saya berupaya menyubsidi berbagai kegiatan kesenian, membuka perpustakaan pribadi untuk umum, bahkan sempat membuat tabloid untuk generasi muda di Serang.

Saya dibantu dua kawan sempat door to door atau ke sekolah-sekolah, untuk memberi pendidikan baca tulis, fiksi, dan jurnalistik secara gratis. Saya akui, di tahap mencari dana itu saya mengorbankan diri. Saya masuk ke budaya populer, menulis buku-buku fiksi yang ringan, karena lebih mudah mencari uang dengan cara begitu. Pemerintah saat itu sama sekali tidak peduli.

Lalu?
GG: Tahun 1997 saya menikah dengan Tias. Saya utarakan obsesi saya kepada Tias untuk membuat gelanggang remaja itu. Syukurnya Tias mendukung semua rencana saya.Tahun 2000 saya membeli tanah dan tinggal di Kampung Ciloang. Di belakang rumah ada lahan seribu meter persegi. Saya pikir akan cocok untuk dibuat miniatur gelanggang remaja atau semacam pusat belajar.

Seiring waktu, sejak Maret 2002, RD sudah mulai berjalan. Pada 14 Februari 2004, baru diresmikan oleh Hj Cucu Munandar, istri Gubernur Banten, Djoko Munandar. Saya mengelola RD dibantu istri dan beberapa relawan. Bahkan anak saya Bella (8) dan Abi (6,5) pun mau membantu menjadi relawan.

Langkah apa yang kemudian Anda lakukan untuk menarik minat warga lokal pada budaya baca tulis?
GG: Prosesnya memang tidak mudah. Saya ciptakan di lingkungan keluarga sendiri dulu. Tias suka mendongeng, membuat reading corner di teras untuk anak-anak, menyediakan makanan, membuat selebaran, bahkan juga mainan.

Lalu di depan rumah saya buat plang bertuliskan Rumah Dunia, nama yang kami sepakati bersama. Dari situ sosialisasi terus berjalan. Mulailah warga lokal tertarik, anak-anak pun mulai datang. Dari yang cuma satu-dua orang, hingga sekarang bisa lebih dari 50 orang.
Pastinya banyak pengalaman berkesan selama bergelut dengan anak-anak.

Tias Tatanka (TT): Memang sasaran utama kita adalah anak-anak dan pelajar. Awalnya, anak-anak masih tidak bisa diatur, maunya hanya main. Jika didongengi, mereka malah meledek saya, bercanda sendiri atau tidak dapat mengerti isi ceritanya. Diajari membaca pun mereka sangat lambat memahami. Ketika diminta untuk maju dan bercerita, mereka malah kabur. Sekarang, sih, mereka sudah mulai mengerti, bahkan kadang kalau sudah di RD, mereka enggak mau pulang.

Apa saja sarana yang terdapat di dalam RD?
TT: Kini sudah ada lahan bermain yang berisi berbagai permainan anak-anak, sebuah perpustakaan untuk dewasa yang berisi tak kurang dari 4.000 buku, sebuah perpustakaan anak-anak, panggung 5×7 meter, musala, kedai buku, komputer, sekretariat, ruang serba guna, dan rumah untuk para relawan. RD terbuka untuk umum (anak-anak dan remaja) dan tidak dipungut bayaran, mulai dari Senin sampai Jumat pukul 13:00 sampai dengan 17:00, Minggu pukul 12:00 sampai dengan 17:00.

Kegiatan apa yang dapat dilakukan di RD?
TT: Awalnya kegiatan RD memang hanya baca tulis, tapi kemudian berkembang. Kami biasa menyebut kegiatan di RD sebagai kegiatan “wisata”. Disebut begitu agar kegiatan baca-tulis itu memikat anak-anak dan remaja. Senin ada wisata baca dan dongeng, Selasa wisata gambar yang mendatangkan guru dari universitas. Rabu dan Kamis ada wisata tulis dan bahasa Inggris. Jumat diisi dengan wisata lakon (teater). Oh ya, teater anak-anak RD sudah beberapa kali diundang pentas di sekolah-sekolah atau acara kesenian.

Apa yang biasanya paling digemari anak-anak?
TT: Di hari Rabu dan Kamis, biasanya saya membawa anak-anak untuk kunjungan keluar. Anak-anak senang sekali belajar mewawancarai orang dari berbagai profesi. Misalnya, kunjungan ke pabrik roti, pedagang nasi uduk, hingga usaha laundry. Hasil wawancara dibuat dalam laporan tertulis. Yang dinilai baik, akan diberi hadiah. Bahkan, beberapa anak yang berprestasi mendapat beasiswa atau program adik asuh dari perorangan maupun instansi.

Bagaimana dengan kegiatan untuk pelajar dan usia dewasa?
GG: Khusus Sabtu dan Minggu biasanya untuk pelajar dan dewasa. Sabtu ada klub diskusi RD, sementara Minggu diisi crash program (kursus singkat jurnalistik untuk pelajar SMP selama satu bulan) dan kelas menulis.

Di kelas menulis, pesertanya pelajar SMA dan mahasiswa. Selama tiga bulan mereka diajarkan jurnalistik, fiksi, dan skenario TV. Ada juga Tawuran Seni, yaitu kegiatan tiga bulan sekali yang mempertemukan dua sekolah atau perguruan tinggi untuk mempertontonkan kemampuan masing-masing di bidang sastra atau teater.

Semua materi dibimbing langsung oleh Anda dan istri?
GG : Materi untuk anak-anak memang dipegang langsung oleh Tias dengan dibantu beberapa relawan. Tias juga memegang peran sebagai Ketua RD. Nah, untuk materi dewasa saya yang membuat dan mengajarkan. Kami juga sering meminta bantuan teman-teman penulis untuk membagi ilmu mereka. Misalnya kegiatan RD yang berskala nasional, seperti Ode Kampung kemarin.

Dalam kegiatan-kegiatan besar itu Anda juga memberdayakan warga lokal, ya?
GG: Iya, biasanya untuk kegiatan-kegiatan besar yang mendatangkan banyak orang dan tidak hanya satu hari. Nah, saya membuatkan kios-kios jajanan tradisional di lahan depan RD untuk para warga lokal berjualan. Makanan-makanan selama acara berlangsung juga kami pesan pada warga lokal. Jika tamu-tamu butuh penginapan, mereka bisa menyewa kamar di rumah-rumah warga.

Sejauh ini tanggapan dari para pengunjung RD bagaimana?
TT: Awalnya RD, kan, hanya untuk warga lokal. Ternyata sekarang orang-orang dari berbagai pelosok nusantara pun datang. Beberapa sekolah bahkan rutin berkunjung ke sini, misalnya anak-anak TK dan SD. Para mahasiswa pun sekarang banyak ke RD untuk mencari rujukan skripsi.

Kegiatan di RD tidak dipungut bayaran. Lalu, bagaimana cara menggalang dana?
GG: Saya menggalang dana untuk RD dengan membuat buku, baik pribadi maupun komunitas. Semoga semuanya lancar, karena saya juga masih punya cita-cita menambah sarana RD dengan membuat lapangan olahraga.

(Puluhan anak masih beraktivitas. Sebagian membaca buku, sebagian menulis. Sebuah bekal berharga bagi mereka untuk kelak “menggenggam dunia”. Semoga.)
***

Bahasa »