Hari Buruk bagi Puisi

Riadi Ngasiran
nu.or.id

Aku tidak bisa menulis puisi lagi, kata Subagio Sastrowardoyo. Dalam puisi yang termuat kumpulan puisi penuh pesona, Simphoni, penyair terusik hatinya ketika menyaksikan fakta “sejak di Nazi Jerman berjuta Yahudi dilempar ke kamar-kamar gas sehingga lemas mati”. Empati penyair hadir dalam sederet fakta historis lainnya: apartheid di Afrika Selatan, perdamaian yang tak kunjung datang di jalur Gaza, sejak serdadu-serdadu Israel mematahkan lengan anak-anak Palestina.

Seperti kita tahu, fakta di tanah air sendiri ketika Subagio menaruh empati kepada nasib buruk para tukang becak di Jakarta yang alat tranportasi yang dikayuhnya itu dicemplungkan ke laut – akibat kebijakan pemerintah yang ternyata membunuh mata pencaharian si abang becak itu. Itulah hari-hari buruk bagi puisi. Hari-hari buruk ketika kenyataan sosial yang lain yang menghadirkan fakta buram: penggusuran, tanam paksa petani, truk-truk yang dicegat aparat penegak hukum, hingga keluarga tetangga yang anaknya menjadi korban tabrak lari hingga mati.

Hari-hari buruk bagi puisi menemukan ironi justru ketika sederet penyair dalam Forum Penyair Internasional Indonesia sedang mengadakan pesta puisi di Surabaya – juga Malang Magelang dan Pekalongan — seraya menanyakan “What’s Poetry?”. Ironi justru ketika penyair berpesta, membacakan puisi-puisinya, melantunkan melodi keprihatinan, atau mungkin pernyataan diri yang tersembunyi terasa sepi, sementara Gunter Grass harus menghadapi cekal di Israel. Hari-hari buruk bagi puisi bukanlah ketika seorang peminum meracau di tengah-tengah pesta puisi itu, hingga mengundang ketua penyelenggara pesta melemparkan tamparan di wajah peracau dan akhirnya keributan pun pecah.

Hari-hari buruk bagi puisi di depan mata kita ketika Gunter Grass menulis “What Must Be Said” (Was gesagt ware_n muss) yang diterbitkan koran lokal di Jerman, Süddeutsche Zeitung, awal April 2012. Peraih Nobel Sastra pada 1999 ini menyatakan keprihatinan lewat sindirannya yang tegas, atas konsekuensi dari kemungkinan serangan Israel terhadap Iran. “Mengapa saya baru berkata sekarang, kalau kekuatan nuklir Israel juga telah membahayakan perdamaian dunia yang sudah rapuh? Karena, inilah yang harus dikatakan, ketimbang sudah terlambat untuk mengatakannya besok”.

Lebih jelas lagi ketika Grass mengatakan dalam puisinya: Israel-lah yang layak dipanggil ‘kekuatan nuklir’. Sebuah pernyataan tabu di Jerman, dan penyair memilih tidak ingin larut dalam ‘keheningan umum’ atas fakta ini. Grass memprediksi kemungkinan yang luar biasa atas aksi militer Israel terhadap Iran, dan kemungkinan secara terbuka, akan memicu apa yang disebut dengan Perang Dunia III.

Sontak puisi Grass ini telah membuat Israel, di bawah pemerintahan Benjamin Netanyahu, berkurang keramahannya. Kedutaan Israel di Berlin mengeluarkan pernyataan bahwa Israel tidak siap menanggung tuduhan Gunter Grass itu. Akhirnya, sang penyair di-pesona-non-grata-kan di negeri yang tak jenuh berperang itu. Begitulah Gunter Grass, yang telah dilahirkan untuk tampil kritis. Tak hanya sekarang, tapi lewat novelnya yang diluncurkan 1958, berjudul ‘The Tin Drum’, adalah dakwaan dari pola kekejaman Jerman di era Nazi. Grass adalah intelektual yang berani menyerang Israel dengan puisi barunya yang, mungkin, kehilangan nilai puitiknya.

Nobelist sastra ini telah menyampaikan bagaimana serangan Israel selalu mematikan terhadap warga sipil, termasuk di Palestina. Puisi Grass ini cukup beralasan. Karena, Israel adalah satu-satunya pemilik senjata nuklir di Timur Tengah yang tak pernah mengizinkan inspeksi fasilitas nuklir miliknya. Israel juga menolak bergabung dengan Perjanjian Non-Proliferasi (NPT). Inilah larik-larik puisi Gunter Grass, menghadapi hari-hari buruk itu:

Mengapa aku mengatakan itu hanya sekarang,
lama dan dengan tinta terakhir:
kekuatan nuklir Israel
ancaman perdamaian dunia?
Karena harus dikatakan
apa yang bila terucap besok akan terlambat;
Karena kepada kita juga — sebagai orang Jerman dan dengan
cukup kesalahan di masa lalu –
kita bisa memprediksi sebuah pengantar
kejahatan, dan tidak ada alasan akan menghapus keterlibatan kita.

Bersama Heinrich Boll, Grass merupakan penyair penting Jerman sesudah Perang Dunia Kedua. Penerima Nobel Sastra pada 1999 (pengarang Jerman pertama setelah Jerman besatu), lahir pada 1927. “Satu-satunya cara untuk menulis Auschwitz, prosa atau puisi, adalah dengan menyusun kenangan dan mencegah masa lalu supaya tidak berakhir”. Demikian Pidato Nobel yang disampaikan Grass.

Ia mengingatkan akan kamp konsentrasi Nazi yang terbesar, tempat 1,5 dan 4 juta orang terbunuh pada 1941 dan 1945, terletak di Polandia Utara. Dengan pidatonya, merupakan penolakan dari sebuah larangan, seperti kata Theodor Adorno : Adalah barbar untuk menulis syair tentang Auschwitz , dan itulah mengapa telah menjadi mustahil untuk menulis puisi sampai hari ini. Grass menyadari, dengan begitu hakikat menulis telah “berhenti”.

Dan Grass menolak Adorno, karena ia yakin betapa tugas sastra adalah meletakkan posisi berkelanjutan. Bila ia benar mengikuti anjuran Adorno, maka tak ada lagi “bersambung” padahal Grass meyakini dengan sepenuh hati dan jiwanya: menulis adalah pekerjaan “bersambung”.

Hakikat puisi adalah pemberi kabar tentang nilai-nilai hakiki manusia. Kebenaran yang dipersepsikan penyair, karenanya, bertumpu pada nilai-nilai itu: kebebasan. Sensitivitas terhadap nilai-nilai kemanusiaan menjadi titik pusat orientasi. Penyair bukanlah seorang ahli sejarah, bukan seorang filosof atau moralis serta bukan pula orang awam. Tapi, penyair mempunyai tanggung jawab terhadap kebenaran. Kebenaran yang meletakkan manusia pada posisi terhormat, sebagaimana teks-teks suci yang mengabarkan bahwa Tuhan menitahkan kepada malaikat dan jin agar tunduk kepadanya.

Meski penyair tak berhubungan langsung dengan sejarah, filsafat moral dan segi kehidupan yang memberikan wibawa moral di balik keawaman, namun ia memasuki segi-segi lain atau jenis-jenis kebenaran lain yang bersumber dari sejarah dan filsafat moral tersebut.

Karena itu, ketika Gunter Grass menulis puisi “The Sea Battle”, ia sesungguhnya hendak mengatakan sesuatu, meski terkesan yang disampaikan secara samar. Barangkali, lebih tepatnya kerap pula dilakukan orang Jawa dengan semonan (pasemon). Inilah jejak panjang penyair yang terusik dan tergoda untuk tak mendiamkan nilai kemanusiaan ternodai.

Penyair Jerman yang lahir pada 1927 ini, mendedahkan kekesalannya, atau mungkin kekhawatiran akan kedamaian dunia yang mudah tercabik karena kekuatan teknologi yang justru membahayakan kehidupan. “Sebuah kapal induk Amerika, dan katedral Gothic, secara bersamaan tenggelam sama lain, di tengah lautan Pasifik. Untuk yang terakhir, para pendeta muda yang tak henti memainkan organ. Sekarang pesawat terbang dan malaikat, menggantung di udara, dan punya tempat untuk tanah.” (“The Sea Battle”, Gunter Grass, Encounter, April 1964, hlm 48-49).

Terdapat hubungan timbal balik antara peristiwa kesejarahan dengan gagasan yang terdapat dalam puisi. Puisi dapat mengambil gagasan atau pokok pikiran tentang masalah kehidupan suatu negara, suatu bangsa dan masalah politik pada suatu masa tertentu.Pada sisi lain, puisi mampu menggambarkan kembali sebuah peristiwa historis, mampu mengabadikannya untuk masa kemudian.

Di sinilah, pemaknaan semata-mata berorientasi pada struktur internal terasa belum mencukupi. Pemahaman latar historis yang berkaitan dengan peristiwa kesejarahan pada suatu zaman, konvensi penciptaan atau ideologis yang dianut serta biografi penyair, menjadi seperangkat kunci pemahaman kandungan makna puisi yang diapresiasi.

Maka bila kemudian sebuah puisi berhadapan dengan kekuasaan (atau sebuah rezim di sebuah negeri yang menerjang dan mencabik-cabik wajah kemanusiaan), di situlah hari-hari buruk bagi puisi. Hari-hari ketika meneguhkan sikap sang penyair agar tak gentar untuk berseru, dengan kebenaran puisi yang diyakininya itu.
***

*) RIADI NGASIRAN adalah esais dan Ketua PC Lesbumi NU Kota Surabaya.

Bahasa »