Zulfikar Akbar
“Pekerjaan yang terlihat kecil, satu waktu kelak boleh jadi akan menjadi sejarah besar”
Kalimat tersebut terloncat keluar dari pikiran saya, saat seorang rekan, Deasy Maria, mengabarkan, ia dan rekan-rekan di komunitas bernama Kampung Fiksi mengadakan Workshop Perempuan: Menulis dan Blogging—di Bekasi Cyber Park (26/11). Seketika, rasa kagum menyeruak. Betapa, perempuan tidak pernah kehabisan cara dalam berkreasi.
Kemunculan komunitas Kampung Fiksi, sudah saya amati dari sejak beberapa bulan lalu. Komunitas dimaksud muncul dari kesamaan hobi kalangan penulis perempuan yang mengawali kepenulisannya dari blogging. Terdapat sederet nama di sana, seperti Winda Krisnadefa yang notabene sebagai penulis yang sudah akrab dengan beberapa penghargaan kepenulisan, Meliana-Indie, G. Siahaya, Deasy Maria, Ria Tumimomor, Sari Novita, Endah Raharjo, Indah Wd dan beberapa nama lainnya (cat: semua nama tersebut awalnya adalah penulis Kompasiana).
Dari yang saya perhatikan—terkait dengan fenomena keberadaan komunitas itu—mereka berangkat dari berbagai latar belakang agama, suku, latar belakang pendidikan, profesi dan usia. Beberapa dari mereka adalah ibu rumah tangga. Sebagian lainnya menjalankan peran ganda, sebagai ibu rumah tangga sekaligus karyawan di berbagai perusahaan. Selain, beberapa memang masih sebagai pelajar/mahasiswi.
Merenung-renung keberadaan komunitas dimaksud. Pertama, saya terkagum-kagum dengan keberhasilan mereka dalam meng-transformasi dari ‘sekadar’ perempuan, mewujud dalam pengabdian. Iya, apa yang mereka tunjukkan terlihat sekali sebagai sebentuk pengabdian.
Kedua, mereka sudah berhasil mengambil satu posisi gerak, dari sekadar hal-hal yang lazimnya identik dengan keperempuanan. Berpindah ke gerak dari sudut yang demikian bergengsi: kepenulisan. Bukan sekadar kepenulisan biasa, namun merambah ke satu titik yang lebih “serius”, dan itu sastra. Siapa yang akan mengatakan sastra sebagai sesuatu yang sederhana di tengah arus perkembangan peradaban dunia?
Ketiga, mereka membangun suatu budaya yang tergolong baru di Indonesia (dan mungkin juga di negara-negara Dunia Ketiga lainnya). Budaya dimaksud adalah dalam membangun pola pikir yang progressif, maju dan punya daya ledak. Artinya, kesibukan mereka sebagai perempuan, berbagai aktifitas yang melingkupi tanggung jawab mereka sebagai perempuan, tidak dijadikan sebagai alasan untuk berhenti berkreasi.
Berkaitan dengan transformasi yang saya maksud sebelumnya. Coba saya lihat dari kultur yang masih melekat di Indonesia, yang cenderung masih mendudukkan perempuan sebagai “pemain kelas dua” dalam berbagai aktifitas. Artinya, dalam berkegiatan, kendati bisa disebut leluasa, namun dalam berbagai hal masih kerap menempatkan perempuan: mereka hanya bisa melakukan hal-hal sederhana. Tidak lebih dari kegiatan yang tidak jauh-jauh dari keperempuanan mereka. Sampai menggiring pada kesimpulan bahwa aktifitas pun memiliki kelamin. Terjadi pendiferensiasi, pembedaan peran yang terkadang tidak masuk akal. Di luar munculnya pembagian peran yang berangkat dari logika, bahwa yang “ter”—terbaik, terpantas, dlsb— itu hanya bisa dimainkan lelaki.
Kemunculan komunitas ini menggebrak kultur dimaksud. Selain, mereka juga melakukan transformasi dengan melabrak sekat-sekat. Saya sebut begitu, karena memang Indonesia masih lazim tersekat-sekat dengan soal ideologi, agama, suku, dlsb.
Dengan keberadaan komunitas yang mengakomodir kegiatan tanpa tersekat persoalan-persoalan ideologi/agama dan sejenisnya itu. Sedikitnya, mereka menjadi ‘penyumbang’ beberapa nilai yang memang masih dibutuhkan di negeri ini.
Nilai dimaksud: bahwa dalam perbedaan latar belakang, sejatinya yang dibutuhkan adalah mencari titik kesamaan yang bisa memunculkan sesuatu yang positif, alih-alih berkutat pada pertikaian ideologis yang tidak jelas konsekuensi negatif-positifnya. Apalagi toh, persoalan ideologis dan agama—sebagai misal—lebih sebagai sesuatu yang tertanam dari keberagaman pengalaman, kesempatan pendidikan, lingkungan yang kadangkala tidak bisa dipilih.
Selanjutnya, dalam membidik ‘titik tembak’ kegiatan kepenulisan yang dikembangkan. Mereka memilih lahan sastra sebagai titik perhatian mereka. Di sini, saya salah seorang pecinta dunia kepenulisan yang tidak berani untuk mengatakan sastra sebagai sesuatu yang sederhana. Betapa tidak, berbicara perkembangan peradaban, sastra menjadi bagian yang berperan besar di tengah arus perkembangan itu.
Untuk jaman seperti sekarang. Sastra bisa menjadi lahan acuan yang tidak hanya sekadar untuk bisa dinikmati karena keindahan bahasa yang dipergunakan di dalamnya. Tetapi juga, sastra kerap dijadikan sumber inspirasi. Kitab-kitab suci berbagai agama nyaris bisa dipastikan memiliki bahasa yang ‘nyastra’, karena memang—mencoba membuat permisalan: bahasa yang indah lebih bisa dinikmati. Ketika bahasa tersebut bisa dinikmati maka ia bisa lebih mudah merasuk ke dalam ruang-ruang rasa, akal dan jiwa. Nah, jika sudah merasuk ke dalam ruang-ruang itu, maka kemungkinan yang mungkin muncul adalah pikiran pembaca sastra akan terpengaruh oleh tulisan-tulisan sastra yang pernah dibaca.
Dalam kaitan dengan itu, saya meyakini, semua yang terlihat hari ini adalah cerminan semua yang awalnya hanya ada dalam pikiran!
Menarik merujuk beberapa buku biografi tokoh-tokoh nasional dan bahkan tokoh internasional. Membaca biografi mereka, sering kali yang saya lakukan, selain mencari-cari “cara berpikir” mereka, juga mencari “buku apa saja yang mereka baca.” Yang membuat saya terpukau adalah, jika ada 10 dari tokoh itu, maka 9 dari 10 tokoh-tokoh besar itu adalah para penikmat sastra. Diakui mereka bahwa buku-buku sastra yang pernah mereka baca kerap memberi mereka ilham dalm berpikir dan bahkan dalam mengambil keputusan. Tentu, bukan sekadar keputusan yang berhubungan dengan sikap pribadi saja dalam keseharian, tetapi juga bahkan dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan negara sekalipun.
Dari sana, maka saya menyebut bahwa sulit untuk bisa memaksa-maksa diri melihat sastra sebagai sesuatu yang terlalu sederhana. Isyarat bahwa, yang dilakukan oleh perempuan Indonesia yang berada di payung Komunitas Kampung Sastra tersebut bukanlah sesuatu yang sederhana. Siapa bisa meramal jika kelak, bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi perempuan-perempuan penyebar inspirasi dalam ranah sastra di Indonesia.
Keluar dari soal itu. Tidak kalah menarik juga menelusuri pola pikir yang sedang mereka bangun lewat kegiatan komunitasnya. Acap kali, disebut dalam beberapa buku sosiologi dan psikologi, masyarakat di negara dunia-dunia ketiga (dunia berkembang) memiliki pola pikir dan mentalitas yang buruk, mentalitas dan pola pikir yang terlalu sempit, tidak jelas,dlsb.
Sedang di titik yang sama. Membangun sesuatu yang lama terjatuh, meningkatkan sesuatu yang kurang, membangkitkan sesuatu yang lemah. Jika hal-hal demikian menjadi keniscayaan—mengaitkan dengan usaha yang sudah dan sedang dijalankan komunitas Kampung Fiksi—maka mereka sedang membuka keran-keran pemikiran. Mereka membuka sungai-sungai kreatifitas. Dan, siapa bisa menolak kemungkinan jika suatu hari nanti mereka menjadi “air” yang tidak hanya mengisi keran dan sungai, tetapi kuasa merangsek ke lautan. Titik sastra memiliki kekuatan untuk melakukan itu.
Terakhir. Memang masih butuh proses lebih lama untuk mereka tiba ke titik-titik lebih tinggi, lebih besar dan “lebih” lainnya. Entah untuk bertumbuh menjadi sebuah komunitas yang bisa menggurita dan terkenal seperti Forum Lingkar Pena yang digerakkan Helvy Tiasa Rosa, Cs atau Rumah Dunia-nya Gola Gong. Atau bahkan, menginginkan bentuk tersendiri ke depan.
Setidaknya, karena yang menggerakkan komunitas bernama Kampung Fiksi dimaksud adalah kalangan perempuan. Saya meyakini, bahwa mereka adalah makhluk Tuhan yang tidak hanya ‘seksi’—karena terobosan yang dilakukan—melainkan juga manusia-manusia yang dari intuisinya pun ditakdirkan Tuhan lebih paham dalam melahirkan, merawat, menumbuhkan dan mendewasakan. Toh, jika orang-orang besar pun juga lahir juga dari rahim perempuan. Soal melahirkan terobosan dan karya besar, saya kira tinggal bagaimana rekan-rekan perempuan di Kampung Fiksi mengtransformasikan intuisinya sebagai ibu ke dalam kegiatan mereka di ranah besar bernama sastra.
Artinya, saya salah satu yang percaya bahwasanya, intuisi mereka sebagai ibu-ibu (atau calon ibu), bisa saja menjadi landasan filosofis dan “kerangka pikiran.” Dari mereka melahirkan komunitas dimaksud, merawatnya sampai dengan “mendewasakan” komunitas.