Kebudayaan, Pendidikan, Persekolahan

Daoed Joesoef *
majalah.tempointeraktif.com

TANGGAL 2 Mei sudah diresmikan oleh pemerintah sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ia diambil dari tanggal kelahiran pejuang kemerdekaan dan perintis pembangunan pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara. Namun, sementara memegang moto didaktis dari Ki Hadjar, pemerintah, terutama yang berkuasa di era reformasi, makin mengabaikan asas-asas dasar pendidikan nasional yang dia kembangkan yang sesungguhnya masih relevan. Tak aneh kalau urusan pendidikan kini menjadi salah satu kebingungan terbesar dalam kehidupan rakyat. Padahal soliditas capaian kegiatan pendidikan ini amat menentukan kepastian masa depan Indonesia.

Walaupun lembaga eksekutif tertinggi urusan pendidikan kini sudah dibaptis menjadi “Kementerian Pendidikan Nasional”, ia tak bisa menyembunyikan kenyataan tidak adanya suatu sistem pendidikan nasional. Yang berlaku adalah suatu anarki persekolahan, berbagai sistem persekolahan, sekolah-dalam-sekolah, masing-masing berupa komponen dari suatu komunitas spesifik. Maka, sebelum kebingungan berubah menjadi kekacauan sosial-politik yang tak terkendali, marilah kita renungkan sebab pokok hal itu dan memikirkan cara mengatasinya.

Pemerintah terkesan tidak menyadari perbedaan vital antara pendidikan (education) dan persekolahan (schooling). Cuatan ketidaksadaran itu terjadi justru di era reformasi, ketika Abdurrahman Wahid, sebagai presiden, merenggut “kebudayaan” dari “pendidikan”. Konon, alasannya simpel: kebudayaan adalah urusan setiap orang. Apakah segala sesuatu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bukan urusan setiap orang? Justru karena kebudayaan adalah urusan setiap orang, ia menjadi masalah yang harus ditangani secara efektif oleh pemerintah.

Ada keyakinan bahwa dengan menguasai pengetahuan dan keterampilan, orang melangkah di jalan yang tepat untuk mencapai apa yang diimpikan. Artinya, persekolahan dinilai sebagai prolog dari kehidupan yang menyamakan impian dengan realitas, suatu usaha efektif untuk memperbaiki “a poor fit” dari individu pada masyarakat dan kehidupan, apakah ia diidentifikasi sebagai “poor health, poor status, poor self-esteem”. Dengan kata lain, orang menganggap “schooling” sebagai “the educational system”. Padahal pendidikanlah, dengan sistemnya yang relevan dan solid, yang esensial dan sentral bagi pemecahan semua masalah tersebut.

Di era Ki Hadjar, perbedaan pendidikan dengan persekolahan tidak dirasa mendesak. Ketika itu, kehidupan relatif sederhana dan lembaga-lembaga religius, adat, keluarga, melalui nilai-nilai kemanusiaan yang dipegangnya, masih efektif mempengaruhi perilaku individu. Walaupun begitu, Ki Hadjar sudah mendasarkan pendidikan kebangsaannya pada kebudayaan, agar natur pembelajaran tidak tergelincir ke luar rel pendidikan dan demi pengukuhan kesadaran berbangsa dan bertanah air sama. Dia mengetahui Plato di zamannya dulu sudah berpendapat bahwa demi mencapai “the good life and the fulfillment of self-expectation” perlu dibedakan pendidikan dengan persekolahan.

Pendidikan, sebagai bagian konstitutif dari kebudayaan, adalah suatu proses yang membiasakan anak didik mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna bagi dirinya, keluarganya, humanitas, bangsa, dan negara. Persekolahan adalah bentuk institusional dari pendidikan yang berusaha, karena resmi ditugasi oleh pendidikan, menetapkan bentuk-bentuk yang relevan dari nilai-nilai tadi-aneka pengetahuan, keterampilan, seni, norma, dan lain-lain-dan mentransmisikannya kepada anak didik. Sekolah memang yang melayani “keseluruhan pendidikan untuk anak” (the whole of education for the child), tapi pendidikanlah yang mendidik “keseluruhan pribadi anak” (the whole child).

Maka pendidikan adalah usaha yang mempengaruhi hidup dan kehidupan, di dalam dan di luar sekolah, yang mengakibatkan perubahan dalam perilaku individu, apakah dalam kebiasaan, karakter, atau intelektualitasnya. Perubahan ini terjadi selama hidup, tak perlu berkaitan dengan kelulusan atau suatu kejadian tertentu yang bersifat publik atau privat. Artinya, pendidikan terjadi dalam situasi dan institusi di luar sekolah-dalam pendidikan nonformal, di rumah, atau pendidikan informal, dan dalam pergaulan sehari-hari (media massa, peer group dan non-peer group, dan lain-lain). “Pendidikan” yang terakhir disebut ini tak jarang merusak karena sulit dimintai pertanggungjawabannya.

Selain meremehkan kaitan natural antara kebudayaan dan pendidikan, pemerintah melupakan dua asas fundamental konsep dan praksis pendidikan kebangsaan dari Ki Hadjar, yaitu “persamaan” (equality) dan “kesetaraan yang adil” (equity). Hal ini jelas sekali tecermin dalam proyek sekolah bertaraf internasional (SBI). Ketika membela “blunder” pendidikan nasional ini, Menteri Pendidikan Nasional mengatakan dengan enteng di Bali, “Kalau sudah tahu biaya sekolah tersebut (SBI) mahal, mestinya mereka (rakyat) mencari alternatif sekolah yang lain.” Nada sinis yang menyakitkan ini persis sama dengan ucapan Marie Antoinette di abad XVIII. Ketika mendengar keluhan rakyat yang kelaparan, permaisuri Raja Louis XVI dari Prancis ini berujar, “S’ils n’ont pas de pain, qu’ils mangent de la brioche”-kalau mereka tidak punya roti, mestinya mereka makan kue tar.

Sang Menteri tak mau tahu bahwa SBI otomatis menciptakan “kastanisasi” di kalangan rakyat demokratis. Dia membenarkan hal itu dengan alasan kompetensi. Dia mengesampingkan kenyataan bahwa kompetensi ini terkait dengan uang, bukan dengan kecerdasan atau kemauan belajar. Apakah dia lupa bahwa founding fathers dulu menganggap kekastaan sebagai “penyakit masyarakat” yang justru hendak dibasmi habis oleh revolusi kemerdekaan yang mereka cetuskan? Mereka berantas itu dengan ide kerakyatan yang diilhami revolusi Amerika dan Prancis, yaitu “equality” dan “equity”. Kedua asas kembar ini ada dalam dokumen politik, sosial, dan ekonomi yang terbuka untuk dibaca dan dikutip oleh setiap orang.

Masih ada lagi beberapa ide pokok pendidikan kebangsaan yang dikhianati oleh praksis persekolahan nasional pada khususnya dan kebijakan pendidikan pemerintah pada umumnya. Maka, jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin mewariskan “a legacy that is worthy by the name” bagi rakyat yang dicintainya, itu seharusnya berupa konsep pendidikan nasional yang futuristik sebagaimana yang dulu dibuat Ki Hadjar. Kita tidak perlu meng-copy imaji masa depan Ki Hadjar. Sebab, biar bagaimanapun, masa depan dia sangat berbeda dengan masa depan yang menantang respons kita sekarang.

Konsep futuristik sebagai respons atas tantangan masa depan dengan sendirinya mencakup gambaran keseimbangan yang sehat dalam collaborating environments tempat pendidikan dan persekolahan berada, yaitu ekologi capaian (the ecology of achievements). Natur dari keseimbangan ini diusahakan dalam konteks fungsi-fungsi pokok pendidikan dan persekolahan, yaitu apa yang harus diajarkan, bagaimana mengajarkannya, kepada siapa, bilamana, dan di mana. Mengenai kepada “siapa” ini harus jelas pula apa “individu” atau “citizen”, dan kalau kedua-duanya, bagaimana metode dan konsekuensi pembelajarannya. Hal ini mengingat UUD 1945 dalam pembukaannya mengamanatkan secara eksplisit “mencerdaskan kehidupan bangsa”, bukan sekadar melayani warga agar bisa “fulfill his/her gifts in the pursuit of individual excellence and special destination”.

Keberadaan “homeschooling”, misalnya, yang menjamur di kota besar dapat dipahami. Orang tua terdidik dan relatif mampu makin khawatir terhadap mutu pendidikan dalam sistem persekolahan luas yang pembiayaannya tidak dicukupi sepenuhnya oleh pemerintah. Sebaliknya, sebuah sekolah tunggal, dengan jumlah murid terbatas, dapat mengakomodasi pembelajaran berskala human. Anak didiknya tidak hilang di dalam massa. Namun justru karena jumlah mereka yang relatif sedikit dan biasanya berasal dari keluarga yang homogen dipandang dari sudut apa pun, dalam dan selama proses pendidikannya, mereka diabstraksi dari realitas keindonesiaan yang kita banggakan, yaitu kemajemukan dan keanekaragaman. Sedangkan kota besar seperti Jakarta memberikan banyak kesempatan membiasakan diri dengan ciri khas bangsa kita yang dibanggakan itu. Homeschooling berisiko membuat anak didik menjadi “orang asing” di lingkungan bangsanya sendiri.

Ini bukan hendak mengatakan bahwa persekolahan dan pendidikan terpisah. Ini hanya mengingatkan bahwa anak-anak yang kelak menjadi dewasa itu jangan menganggap tanah air cuma dalam artian fisik (lahan tempat tinggal, tempat mencari nafkah, dan tempat peristirahatan terakhir) atau dalam artian formal (entitas yang memberi dia identitas manusia merdeka), tapi juga dalam artian mental, yaitu entitas yang punya martabat, kebutuhan, dan masalahnya sendiri yang harus dia hayati sepenuhnya sebagai masalah pribadinya sendiri, selaku warga yang bisa diandalkan memecahkannya setiap waktu dalam keadaan apa pun.

Sekarang adalah momentum bagi kita untuk mereformasi bidang pendidikan yang sengaja dilupakan selama ini. Kita sebagai bangsa sudah mengalami hantaman gelombang demi gelombang perubahan yang serba cepat. Beberapa negeri yang dulu dikualifikasi sebagai “developing countries”, diremehkan dan tidak diperhitungkan dalam percaturan internasional, kini sudah memasuki “postindustrial age” dan membangun potensi menjadi pemimpin industrial dan teknologis.

Kita harus berani melakukan lompatan kuantum berdasarkan konsep pendidikan yang andal. Semua partai politik dan organisasi masyarakat yang kini sibuk membangun kekuatan demi kekuasaan, dengan para elitenya yang sedang asyik membina dinasti keluarga di situ, hendaknya turut berpartisipasi dalam penyusunan konsep tersebut. Dengan begitu, mereka membuktikan bahwa mereka bukanlah parasit demokrasi dan bangsa serta tidak memanfaatkan anak-anak sebagai alat belaka dalam pertarungan psikososial mereka sendiri.
***

*) Mantan Menteri Pendidikan Nasional /03 Mei 2010