Mengungkap Makna Ta’dib al-Attas bagi Pendidikan

Yudhi Fachrudin

Pendidikan menjadi benteng harapan terakhir dalam mengatasi solusi permasalahan-permasalahan bangsa ini. Di sisi lain, begitu kompleknya permasalahan-permasalah yang terjadi pada lingkungan sosial kerap memasuki dunia pendidikan. Ketimpangan sosial, berlakunya budaya kekerasan, sifat-sifat individualis, hedonis matrealis serta perilaku-perilaku penyimpangan lainnya yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat turut serta mempengaruhi dunia pendidikan. Pilihan antara terlebih dahulu memperbaiki dunia pendidikan agar hadir menjadi solusi bagi masyarakatnya atau memperbaiki lingkungan sosial agar tidak menjadi “virus” bagi pendidikan.

Pendidikan menjadi kian urgen karena berurusan langsung dengan manusia. Manusialah yang berkepentingan mulai dari input, proses sampai output pendidikannya. Manusia menjadi nilai, nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku universal tanpa terikat perbedaan bangsa, bahasa, agama untuk mencipta pendidikan berlandaskan manusia. Pendidikan yang memanusiakan. Sekolahnya manusia. Kearah sana manusia berupaya lewat pendidikannya mencipta pemahaman baru yang lebih manusiawi. Sebuah pemahaman akan pendidikan yang mampu menghadirkan manusia-manusia yang baik.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi sekarang bisa jadi karena pemahaman yang kurang akan pemahaman arti dan makna dari pendidikan itu sendiri. Kekerasan dalam pendidikan, tawuran antar pelajar, bisa jadi manusia produk mesin yang dapat diperjual belikan. Mengungkap makna pendidikan. Upaya pemahaman pendidikan yang lebih memanusiakan mengharuskan pengerahan segala potensi, akal, pikiran, pengamatan, pengalaman serta penelitian yang teruji sehingga dari sana timbul sebuah makna dan pemahaman yang dapat menjadi inspirasi dan motivasi baru untuk bisa lebih proporsional, objektif, serta ilmiah dalam mencermati dan melakukan perilaku-perilaku yang mencerminkan makna pendidikan yang dikehendaki. Upaya pemahaman tentang pendidikan telah melewati catatan sejarah yang panjang. Berbagai teori pendidikan muncul antara pandangan idealism dan realism, antara keturunan hereditas dan lingkungan, antara tabularasa dan pengalaman. Tak pelak lagi pemahaman makna pendidikan dapat merujuk ranah agama. Terlebih Islam sebagai worldview, keuniversalitas ajarannya solusi bagi manusia guna mewujudkan kehidupan bahagia dunia dan akhirat. Banyak para cendekiawan muslim merumuskan konsep pendidikan Islam.

Dalam Islam, istilah pendidikan sering digunakan Tarbiyah dan Ta’lim. Perguruan tinggi Islam yang membuka jurusan keguruan, familiarnya dengan Fakultas Tarbiyah. Penggunaan istilah Tarbiyah dan Ta’lim dirasa kurang mewakili makna pendidikan yang sejatinya, salah seorang ilmuan muslim Syed Naquib al-Attas lebih menyukai penggunaan Ta’dib untuk pendidikan Islam.

Menurut Syed penggunaan Ta’dib untuk pendidikan ini timbul karena dengan berbekal pemahaman yang utuh, komprehensif, tentang pendidikan. Terlebih pemahaman pendidikan yang selaras dengan Islam, dari sana segala hal yang terkait tentang pendidikan, baik Tujuan, strategi, metode dan unsur-unsur pendidikan lainnya mencerminkan pandangan pendidikan yang lebih pas dan sesuai seharusnya pendidikan. Dengan penggunaan istilah Ta’dib, Syed Naquib al-Attas berupaya merekonstruksi pemahaman pendidikan yang selama ini terabaikan.

Konsep Ta’dib Naquib al-Attas

Syed Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin Al Attas lahir 5 September 1931 di Bogor, Al-Attas sebagai guru besar di International Institute of Islamic Thoughts and Civilization (ISTAC) yang berbasis di Malaysia. Al-Attas salah satu tokoh agamawan yang berakar pada ilmu-ilmu Islam tradisional juga kompeten dalam teologi, filsafat, metafisika, sejarah sastra sehingga tidak ayal lagi dia telah menulis dua puluh tujuh karya otoritatif tentang berbagai aspek pemikiran Islam dan peradaban, terutama pada tasawuf, kosmologi, metafisika, filsafat dan bahasa Melayu dan sastra.

Gagasan-gagasannya tentang pendidikan Islam dapat kita baca lewat buku Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas karya Wan Mohd Nor Wan Daud. Sebuah buku tentang konsep pendidikan yang ideal. Syed al-attas menekankan Maksud dan tujuan pendidikan bahwa Negara atau pekerja yang baik dalam sebuah Negara sekuler tidak sama dengan manusia yang baik; sebaliknya manusia yang baik sudah pasti seorang pekerja dan warga Negara yang baik. Tujuan pendidikan Islam tiada lain menciptakan manusia yang baik.

Penekanan pendidikannya adalah nilai-nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga Negara dalam kerajaannya yang mikro, dan sebagai sesuatu yang bersifat spiritual. Pendidikan bukan semata berdasarkan kegunaannya bagi masyarakat, Negara, dan dunia. Nilai manusia yang bukan sebatas entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi Negara, masyarakat dan dunia.

Al-Attas mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang baik. Dalam artian baik yang menyeluruh, yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Al-attas menyebut orang yang benar-benar terpelajar menurut persfektif Islam didefinisikan sebagai orang yang beradab.

Dalam uraiannya yang lebih dalam pendidikan menciptakan manusia yang beradab ada dalam pengertian yang komprehensif yang menekankan pada adab. Adab adalah cakupan suatu pengenalan dan pengakuan mengenai tempat secara benar dan tepat, dalam pencapaian kualitas, sifat-sifat, dan perilaku yang baik untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa.

Adab mensyaratkan ilmu pengetahuan dan metode mengetahui yang benar agar mampu menjaga mansuia dari kesalahan. Ilmunya adalah yang dapat mendorong lahirnya perilaku mulia ini adalh kebijaksanaan (hikmah) yang menghasilkan keadilan pada diri individu dan masyarakat serta Negara.

Dengan merujuk kepada sebuah hadis, “Tuhan telah mendidikku (addabini), maka sangat baiklah mutu pendidikan ku”. Addabani secara literal berarti telah menanamkan adab pada diriku. Sehingga arti hadis tersebut, “Tuhan telah mendidikku dan menjadikan pendidikanku sebaik-baik pendidikan”. Dalam artian hadis yang lebih luas lagi, “Tuhanku telah membuat aku mampu mengenal dan mengakui, dengan adab yang ditanamkan-Nya dalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu dalam susunan penciptaan, sehingga adab tersebut membawa kepada pengenalan dan pengakuan terhadap tempat-Nya yang sebenarnya dalam susunan being dan eksistensi dan dengan ini Dia menjadikan pendidikan sesuatu yang sangat baik”.

Selanjutnya al-Attas mendefinisikan, Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan spiritual.

Al-Attas menggunakan konsep ta’dib sebagai konsep yang tepat untuk pendidikan Islam, ia lebih lanjut mengatakan, “Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsure-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam tiga serangkai konotasi tarbiyah-ta’lim-ta’dib”.

Menurutnya terminology Ta’dib sendiri sebagai istilah pendidikan telah dipakai oleh para tokoh sufi. Para tokoh sufi yang menonjol dalam pengembangan pribadi Islam melalui pengembangan indera, akal, dan moral. Menggunakan Ta’dib dengan menekankan sebagai bagian daripada proses pendidikan, adab seorang pelajar muslim dan kelompok professional seperti hakim, jaksa, politisi, perwira militer, musikus, guru, dan pelajar menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.

Naquib al-Attas mengatakan, setidaknya ada tujuh konsep dalam pendidikan. Pertama, konsep din (agama). Kedua, konsep insan (manusia). Ketiga, konsep ilmu dan makrifat. Keempat, konsep hikmah (kebijakan). Kelima, konsep keadilan. Keenam, konsep amal dan adab. Ketujuh, konsep kuliyyah jami’ah (perguruan tinggi).

Dalam Metodologi pendidikan menurutnya memiliki satu tujuan, yakni Islamisasi dari tubuh, pikiran dan jiwa yang berpengaruh pada kehidupan pribadi dan kolektif Muslim serta yang lain, termasuk spiritual dan lingkungan non-fisik manusia.

Al-Attas menulis dalam bukunya Risalah untuk kaum Muslimin, “Orang yang baik itu adalah orang yang menyadari sepenuhnya akan tanggung jawab dirinya kepada Tuhan yang haq, yang memahami dan menunaikan kewajiban terhadap dirinya sendiri dan orang lain yang terdapat dalam masyarakatnya, yang selalu berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kearah kesempurnaan sebagai manusia kearah kesempurnaan sebagai manusia yang beradab”.

Konsep ta’dib yang diusung oleh Naquib al-Attas ini dapat mudah kita pahami jika kita merujuk pada gagasannya secara keseluruhan. al-Attas satu diantara para cendekiawan muslim terkemuka dalam upayanya, Islamisasi ilmu pengetahuan. Baginya Islamisasi sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas dari nilai atau netral, sehingga pemahama ta’dib mengajak kita memahami islamisasi ilmu pengetahuan. Al-Attas mengenalkan ta’dib ini sebagai konsep yang asli, integral, komprehensif dan merupakan framework yang kokoh bagi teori dan praktek pendidikan Islam kita.

Islamisasi ilmu pengetahuan

Istilah Islamisasi ilmu dalam bahasa Arab disebut “Islamiyyat al-Ma’rifat”, dalam bahasa Inggrisnya “Islamization of Knowledge”. Upaya Islamisasi ilmu pengetahuan dilakukan para tokoh ilmuwan Islam seperti Syed Hussein Nasr, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Jaafar Syeikh Idris, Ismail Raji Al-Faruqi, Fazlur Rahman, dan beberapa ilmuwan Islam di Indonesia yang telah berjasa, meletakan dasar-dasar islamisasi ilmu di zaman modern.

Penganjur Islamisasi ilmu pengetahuan lainnya yang terkenal adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas. Menurut Al-Attas, Islamisasi ialah “pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan kemudian dari penguasaan sekuler atas akal dan dan bahasanya”. Al-Atas menegaskan bahwa Islamisasi diawali dengan Islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Dalam proses Islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama: Pertama, proses mengasingkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat dari ilmu tersebut; Kedua, menyerapkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam kedalamnya.

Para penggagas islamisasi ilmu pentahuan lainnya, Syed Husein Nasr, tokoh pertama dalam pembicaraan wacana baru tentang ilmu pengetahuan dan Islam, seorang sarjana falsafah dan sarjana sains Islam kelahiran Teheran, Iran, tahun 1933. Ia mengutarakan perlunya usaha Islamisasi ilmu modern. Beiau meletakan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan pratikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976).

Sementara Ismail Raji al-Faruqi pendiri International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington tahun 1981 dalam bukunya yang terkenal, “Islamization of Knowledge”, (1982) menganjurkan pendekatan perbandingan antara sains modern dengan khazanah Islam. Lembaga yang didirikannya yakni IIIT aktif mempromosikan program-program Islamisasi pengetahuan ke berbagai belahan dunia.

Maurice Bucaille melalui bukunya “La Bible, le Coran et la Science” (Bibel, Qur’an dan Sains Modern) turut serta menambahkan dalam wacana Islamisasi ilmu pengetahuan. Maurice Bucaille melakukan apa yang disebut I’jazul Qur’an yakni mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Al-Qur’an. Namun mengingat penemuan ilmiah yang mengalami perubahan di masa depan, cara Maurice Bucaille kerap mendapatkan kritikan, yang bila terjadi perubahan pada penemuan itu berarti Al-Qur’an juga bisa berubah.

Naquib al-Attas yang pertama kali mampu memberi penjelasan yang sistematik secara konseptual tentang islamisasi pendidikan. Islamisasi sains dan Islamisasi Ilmu. Al-Attas telah melahirkan ide-ide beliau pada satu persidangan pendidikan yang sangat penting dalam sejarah umat Islam kontemporer, yaitu Persidangan Pertama Pendidikan Islam Sedunia di Makkah pada 1977. Persidangan itu berhasil mengumpulkan 313 sarjana dan pemikir Islam dari seluruh pelosok dunia

Dengan konsep Ta’dib sebagai konsepsi islamisasi pendidikan dalam rangka mempertemukan integrasi yang lebih baik antara ilmu agama dan ilmu umum. Sebuah konsepsi dan prakteknya oleh ummat Islam. Ta’dib menunjukkan sebuah konsep pendidikan yang terbaik dapat memecahkan beberapa krisis yang terjadi pada pendidikan barat modern. Karakter-karakter manusia di dalamnya.

Ta’dib dan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter mengemuka menjadi isu utama di dunia pendidikan saat ini, terlebih di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Merujuk UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa fungsi pendidikan adalah membentuk watak serta peradaban bangsa, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia. Hal ini bisa jadi sebagai reaksi dan kekhawatiran bersama atas kondisi pendidikan di Indonesia yang justru banyak melahirkan manusia cerdas namun bermoral rendah.

Pendidikan yang menghargai keunikan individu, serta menekankan kesadaran karakter dirinya sebagai manusia. Hal ini sesuai yang ditegaskan Al-Attas dalam Filsafat pendidikannya sangat jelas menekankan kepada pengembangan individu. Individu yang kebersamaan dengan itu sebagai bagian dari sosial dalam upaya pengembangan dirinya.

Lebih lanjut al-Attas mengatakan, “Ketika kami menyatakan bahwa tujuan dari pada ilmu pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, bukanlah berarti bahwa kami tidak bermaksud untuk melahirkan masyarakat yang baik, sebab masyarakat adalah terdiri daripada individu, maka melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah –pembuat- struktur masyarakat”.

Al-Attas menekankan pendidikan dalam rangka manusia beradab adalah invidu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan sadar akan hubungannya yang tepat dengan dirinya, tuhannya dengan masyarakat dan dengan alam yang nampak maupun yang ghaib.

Al-Attas selanjutnya memberikan ilustrasi betapa Adab hadir dalam berbagai tingkat pengalaman manusia. pertama, Adab terhadap diri sendiri. Bermula ketika seseorang itu mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsure, yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangannya, maka ia sudah meletakkan keduanya pada tempat yang semestinya dan oleh sebab itu dia telah meletakkan dirinya pada tempat yang benar. kedua, adab dalam kontek ilmu, berarti ketertiban budi yang mengenal dan mengakui hirarki ilmu berdasarkan kriteria tentang tingkat-tingkat keluhurusan dan kemulian. Kita mengenal fardhu ‘ayn (kewajiban bagi dirinya) dan fardhu kifayah (kewajiban bagi masyarakat) yang berarti bahwa segala sesuatu yang berisi petunjuk kehidupan jauh lebih mulia dari segala sesuatu yang yang dipakai dalam kehidupan. Sebagai konsekuensinya adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan berbagai bidang sains bagi kehidupan. Dengan kerangka ini maka rasa hormat terhadap guru sebagai salah satu wujud langsung dari adab terhadap ilmu pengetahuan. ketiga, adab berkaitan dengan alam, berarti pendisiplinan akal dalam berhubungan dengan susunan tingkatan yang menjadi karakter alam semesta sehingga seseorang itu bisa membuat keputusan yang tepat tentang nilai-nilai yang sejati dari segala sesuatu baik dalam kontesnya sebagai tanda-tanda Tuhan, sumber ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang berguna untuk perkembangan rohani dan jasmani manusia. Adab pada alam dan lingkungan berarti pula bahwa seseorang itu melettakkan tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, gunung, sungai, lembah dan danau, binatang dan habitat-habitatnya pada tempat-tempat yang sebenarnya. Keempat, adab terhadap bahasa, berarti pengenalan dan pengakuan adanya tempat yang benar dan tepat untuk setiap perkataan, baik tulisan maupun percakapan sehingga tidak menimbulkan kerancauan dalam makna, bunyi dan konsep. Keempat, adab pada alam spiritual, adab berarti pengenalan dan pengakuan terhadap tingkat-tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual, pengenalan dan pengakuan terhadap berbagai maqam spiritual berdasarkan ibadah, disiplin spiritual dengan benar memprioritas spiritual dan akal dari pada fisik.

Tak ayal lagi, Konsep ta’dib dalam kontek pendidikan yang baik tidak bisa dilepaskan kemanfaatannya dan sangat berhubungan dengan kata-kata kunci dalam pandangan hidup Islam, seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (adl), realitas dan kebenaran (haqq). Ta’dib sebagai konsep Pendidikan Islam, pendidikan karakter manusia-manusianya, agar lebih beradab dan manusiawi.

Gagasan-gagasan Naquib al-Attas tentang Ta’dib tiada lain konseptualisasi pendidikan Islam. Mempraktikkan gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan dalam pendidikan. Manusia-manusia baik yang layak menghuni bumi. Sebuah upaya mengungkap makna ta’dib bagi pendidikan agar menjadi arah dan bahan dalam rangka membangun pendidikan karakter manusia Indonesia.

***

Bahasa »