Novel Borjuis dan Konsep Bersastra STA

Ahmadun Yosi Herfanda *
Republika, 08 Juni 2008

PEMIKIRAN dan karya-karya sang renaisans Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana (STA), masih tetap menarik untuk dikaji. Selalu ada hal-hal baru yang ditemukan oleh para pengkaji yang tajam dan kritis.

Menyusul diterbitkannya beberapa buku tentang STA, karya dan pemikirannya, berbagai seminar dan diskusi pun digelar dalam rangka 100 tahun sang tokoh Angkatan Pujangga Baru tersebut. Salah satunya adalah Memorial Lecture 100 tahun STA yang diadakan oleh Akademi Jakarta (AJ) di Teater Studio, TIM, Jakarta, pada 29 Mei 2008, dengan pembicara Dr Ignas Kleden dan Dr Harimurti Kridalaksana.

Menarik untuk mencermati pembahasan Ignas Kleden, yang mendialogkan antara (pemikiran) pengarang (STA) dengan cerita (novel) yang ditulisnya. Ignas mencoba melihat sejauh mana konsistensi STA, antara pemikiran dan novel-novelnya.

Secara kritis Ignas melihat apakah STA mewujudkan pemikiran-pemikirannya itu dalam novel-novel yang ditulisnya, atau sebaliknya, mengingkarinya, sehingga terjadi pertentangan atau inkonsistensi antara pemikiran (STA) dan karyanya.

Dilihat dari pemikiran-pemikirannya, dalam bersastra (menulis novel) STA memiliki prinsip yang cenderung pragmatik, bahwa seni (sastra) bukan sekadar untuk seni, tapi untuk kebermanfaatan intelektual dan pencerdasan masyarakat.

Karena itu, sastra (novel), menurut STA, tidaklah bisa bermewah-mewah dengan keindahan untuk mencapai kepuasan seseorang dalam mencipta, tetapi harus dilibatkan secara aktif dalam seluruh pembangunan bangsa. Sastra, harus membuat orang (pembaca) lebih optimis dan menghadapi hidup dengan semangat juang yang tinggi untuk mengatasi berbagai masalah dan situasi kritis.

Namun, menurut hasil pembacaan Ignas, STA tidak selalu mempraktekkan pemikirannya itu dalam novel-novel yang ditulisnya. Ada pertentangan, atau semacam inkonsistensi, antara pemikiran STA dengan novel-novel (cerita) yang ditulisnya, terutama novel-novel awalnya, seperti novel Tak Putus Dirundung Malam dan Dian yang tak Kunjung Padam. Kedua novel tersebut justru ‘menyanggah’ pemikiran STA sendiri tentang peran sastra dalam mendidik masyarakat. Kedua novel tersebut tidak menggambarkan sikap yang optimis dan semangat juang yang tinggi.

Meskipun begitu, karena kedua novel tersebut adalah novel-novel masa awalnya sebagai pengarang, dan kalau dilihat pada novel-novel berikutnya, seperti Layar Terkembang (serta Kalah dan Menang), maka istilah yang tepat bukanlah ‘inkonsistensi’ tapi proses yang berkembang menuju kematangan, dengan puncak kematangan pada novel Kalah dan Menang.

Menurut Ignas, sifat amtenar dalam novel STA mulai muncul dalam novel Layar Terkembang, karena lingkungan tempat cerita itu bermain adalah lingkungan amtenar. Dalam novel ini baru terlihat perwujudan pemikiran STA bahwa sastra harus dapat membuat orang (pembaca) lebih optimis dan menghadapi hidup dengan semangat juang yang tinggi untuk mengatasi berbagai masalah dan situasi kritis.

Novel borjuis
Dari novel amtenar, lalu STA merambah ke novel bojuis, dan ini sangat terlihat pada novel Grotta Azzura. Ini novel tentang orang-orang yang tidak pernah lagi mengalami persoalan dengan uang, dengan basic needs, tetapi yang tiap hari berdiskusi tentang berbagai topik politik, seni, filsafat, dan pandangan hidup, di kota-kota di Eropa.

Tetapi, menurut Ignas, novel yang oleh sementara kritikus disebut sebagai ‘novel ide’ ini lebih mengasyikkan dibaca sebagai pengantar pelajaran tentang berbagai hal, daripada sebagai sebuah novel yang berhasil dan menarik. Latar dan adegan (cerita) hanya dijadikan semacam ‘alat’ untuk menyampaikan pemikiran tentang seni, budaya, politik, etika, dan filsafat.

STA mempunyai kecenderungan epik yang kuat dalam menulis novel. “Renaisans Eropa baginya merupakan the epic past, sedangkan dunia sekarang, juga Indonesia, harus merujuk ke masa lampau itu,” kata Ignas.

Tampak sekali bahwa pewujudan Renaisans di Indonesia menjadi obsesi besar STA, dan ini sangat mempengaruhi novel-novelnya, yang menampakkan kecenderungan sangat kuat untuk dijadikan media Renaisans dan pencerdasan masyarakat.

Seperti kritik Asrul Sani, STA memang seorang guru dan besar jasanya sebagai seorang guru yang mengajarkan pada kita tentang banyak hal, tetapi penghayatannya sebagai seorang penulis sastra memang kurang jelas. Dalam menulis novel, STA lebih cenderung bersikap ‘mengajar’ daripada bercerita. Bahkan, keinginannya untuk mengajar tampak tidak tertahankan dalam novel Grotta Azzura, sehingga novel ini lebih mirip pengantar pengajaran daripada sebagai sebuah cerita.

Meskipun begitu, menurut Ignas, konflik antara peran STA sebagai guru dan novelis, antara pengetahuan dan penghayatan, antara novel dan epik, serta antara pengarang dan cerita, tetap menjadi pelajaran berharga bagi para penulis masa kini yang hendak melibatkan diri dalam penulisan novel.

* Ahmadun Yosi Herfanda, Redaktur Sastra Republika
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/06/wacana-novel-borjuis-dan-konsep.html

Bahasa ยป