RESPONS TERHADAP TULISAN HERWANDI
Hendriko Firman
harianhaluan.com
Menarik sekali membaca tulisan dari Prof Herwandi tentang ide pemisahan Dinas Kebudayaan dari Dinas Pariwisata (Haluan, Selasa, 18/1), yang juga dikomentari Sudarmoko dan Alfian Jamrah (Haluan, Selasa, 25/2), Suryadi dan Nelson Alwi (Haluan, Selasa 1/2), serta Undri (Haluan, Selasa, 22/2).
Sudarmoko dan Suryadi melihat masalah ini agar kebudayaan dirumuskan dan dibina dulu sebelum adanya pemisahan, sedangkan Alfian Jamrah mengatakan, hadirnya dinas kebudayaan sebuah kewajiban, Undri sepakat terjadinya pemisahan karena akan membawa masalah pengelolaan kebudayaan ke arah yang lebih baik.
Seyogyanya gagasan pemisahan ini sangat baik, karena apabila tetap terus disatukan, maka seperti yang dikatakan Herwandi sendiri, ibarat memasukkan durian dan mentimun ke dalam karung yang sama, yang implikasinya akan membuat kebudayaan menjadi bertambah hancur.
Benar sekali, tetapi ada satu hal yang perlu ditambahkan dan paling fundamental dari pemisahan ini, yaitu kebudayaan harus memiliki sinerginitas dengan masalah yang sering kita lupakan, yaitu masalah pendidikan.
Lalu, apa kaitannya dengan pendidikan? Jawabannya sederhana sekali. Jika kebudayaan dan pendidikan dalam konteks sinergitas tentu akan memacu kian menguatnya etno-nasionalisme. Hubungannya akan semakin menonjol demi mencerdaskan dan memoralkan kehidupan berbangsa. Apabila pendidikan disinergikan dengan kebudayaan, dampaknya pada pendidikan adalah terbangunnya ciri lokal genius yang membuat mentalitas dan karakter anak didik menjadi asertif terhadap kebudayaan bangsanya.
Pendidikan sebagai bagian konstitutif dari kebudayaan, adalah suatu proses yang membiasakan anak didik mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna bagi dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Hal inilah yang tidak kita lihat pada saat sekarang pada anak didik. Anak didik tidak bisa mengembangkan ciri lokal kebudayaannya. Ini terjadi karena telah bercerainya pada tataran praktis antara pendidikan dan kebudayaan. Karena itulah penting sekali kenapa pendidikan dilibatkan dan dipikirkan juga sebelum terjadinya pemisahan antara dinas pariwisata dan dinas kebudayaan.
Pariwisata dan Pendidikan
Pariwisata yang diwakili perannya oleh dinas pariwisata tidak memiliki dampak langsung (direct) terhadap pendidikan, tapi ia memiliki dampak secara tidak langsung (indirect) dalam pendidikan. Dampaknya yaitu mandeknya nuansa serta etos pendidikan yang berbasiskan pemahaman kultur (kultur verstehen) dan tak berjalannya proses pembudayaan kepada peserta didik di sekolah.
Hal ini terjadi akibat visi dinas pariwisata yang sengaja disinkronkan dengan dinas kebudayaan, sehingga akhirnya kebudayaan tidak kebagian lahan untuk menggarap pendidikan. Karena apabila dinas pendidikan hanya bekerja sendiri dalam membentuk karakter anak didik ia tidak akan melahirkan hasil yang maksimal.
Dinas kebudayaan juga harus berperan dalam memberikan sentuhan yang cantik pada pendidikan pada anak didik, yakni dalam tataran praktis dinas pendidikanlah yang mengurus semua hal yang menyangkut pada otak kiri anak didik, dan akhirnya tugas dinas kebudayaanlah menyempurnakannya dengan mengurus otak kanan anak didik. Tapi hal itulah yang tidak terlihat dari proses penerimaan anak didik dalam hal pembelajaran di sekolah-sekolah pada saat sekarang ini.
Hal di atas terjadi karena tidak berjalannya diferensiasi fungsi seperti yang dicetuskan oleh Max Weber dan Emille Durkheim. Di mana dalam kasus ini, kerja yang saling overlapping antara dinas pariwisata dan kebudayaan harusnya memiliki haluan kerja yang berbeda, tapi kenyataannya dinas kebudayaan malah mengikuti haluannya dinas pariwisata.
Jadi pertanyaannya kenapa tidak dihapus atau dipisahkan saja dinas kebudayaan, karena secara ideal dinas kebudayaan tidak memiliki peran yang terpisah dengan dinas pariwisata. Tentu saja hal ini menjadi aneh karena dinas kebudayaan ternyata hanya mengurus masalah kesenian an sich (satu dari tujuh unsur kebudayaan), dan tidak mengurus enam dari unsur kebudayaan lainnya, yang salah satunya yang krusial yaitu sistem pengetahuan atau pendidikan.
Terlemparnya Pendidikan
Pendidikan telah tercampakkan setelah terjadinya pemisahan antara dinas kebudayaan dan pendidikan pada masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Pendidikan yang harusnya menjadi bagian konstitutif dari kebudayaan yang mengajarkan proses yang membiasakan anak didik mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna bagi dirinya, keluarganya, humanitas, bangsa, dan negara menjadi tidak teraplikasikan dalam karakter anak didik dan tidak terterapkan lagi di sekolah-sekolah setelah terjadinya pemisahan ini.
Pendidikan tercampakkan karena tidak duduknya pemahaman para pengambil kebijakan yang selalu mengutak-atik dinas pendidikan dan kebudayaan. Faktanya jelas bahwa bicara tentang pendidikan kita akan berbicara tentang kebudayaan. Seharusnya pemerintah paham dan clear pada terminology ini.
Dalam hal ini, pemisahan dinas kebudayaan dengan dinas pariwisata menjadi harga mati demi menaikkan harkat martabat pendidikan di Indonesia. Ia juga menjadi harga mati demi kelangsungan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Seperti diketahui pendidikan adalah salah satu pilar terpenting untuk meningkatkan kualitas manusia, karena pendidikan digunakan untuk menghitung human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM) di suatu negara. Dari data Human Development Report 2007-2008, HDI Indonesia hanya sebesar 0,728 atau hanya berada di rangking 107 dari 177 negara. Jadi apabila kita bicara kualitas manusia maka kita akan merujuk kepada pendidikan. Dan faktanya pendidikan tidak berjalan maksimal di negara ini karena tidak berjalannya optimalisasi fungsi di dinas kebudayaan, pariwisata dan pendidikan.
Berdasarkan kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah, faktanya pemerintah telah menimbulkan dua anomali di antara ketiga dinas ini, yang pertama dinas pendidikan tidak bersinergi dengan dinas kebudayaan yang faktanya dua dinas ini adalah satu kesatuan. Kedua, dinas kebudayaan malah bersinergi dengan dinas pariwisata yang notabene hal ini adalah tindakan yang salah karena ruang lingkup dinas kebudayaan.
Faktanya lebih besar dan massif dari pada masalah mengurus devisa negara yang masuk yang idealnya diurus oleh dinas pariwisata saja.
Hadir Dinas dan Kebudayaan dan Pendidikan
Berbeda dengan tulisan Herwandi yang hanya menginginkan dinas kebudayaan saja. Menurut saya, yang penting adalah menggagas kembali dinas kebudayaan dan pendidikan. Karena secara ideal dinas ini lebih efektif karena saling isi mengisi. Terlepas dari kebijakan trial-error yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yang semena-mena terhadap dinas pendidikan dan kebudayaan sebelumnya, kalau kita lihat masalah kebudayaan yang simpang siur diurus saat ini, dan pendidikan yang tidak memiliki corak identitas nasional, maka pendirian dinas kebudayaan dan pendidikan adalah solusi efektif. Akan tetapi sangat disayangkan sekali karena pada masa Orde Baru, dinas ini diintervensi oleh para penguasa, sehingga pada saat ini masyarakat menjadi alergi memakai struktur lembaga ala Orde Baru, padahal secara normatif hal ini adalah wujud ideal dari dinas itu sendiri.
Kendati begitu, mendirikan dinas kebudayaan dan pendidikan sangat penting hari ini karena ia menjadi grand design mensejahterakan bangsa dan negara. Ia juga menjadi barometer bagaimana meningkatkan kualitas hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
Tapi kalau sekiranya pemerintah masih tetap bersikukuh mempertahankan pengelolaan kebudayaan dan pariwisata dalam satu dinas dan tidak memisahkannya ke dalam satu dinas kebudayaan dan pendidikan, maka ia tidak hanya membuat kebudayaan menjadi hancur seperti yang dikatakan oleh Herwandi, tapi ia juga membuat pendidikan akan menjadi sangat terbelakang di masa depan.
HENDRIKO FIRMAN, Berminat pada Masalah Sosial Budaya /06 Maret 2011