Radhar Panca Dahana *
Gatra, 9 Juli 2009
Ir. Soekarno membantah tudingan para sejawatnya soal ide Pancasila yang ia cetuskan pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, sebagai hasil analisis yang mentah dari data yang miskin. Ia menjelaskan dengan panjang lebar riwayat negeri ini, jauh sebelum Hindu (India) datang, riwayat negeri-negeri yang jauh, dengan cermat, detail, dan di luar kepala. Hingga kutipan ujar-ujar pemikir dan filsuf ternama di masa lalu hingga yang kiwari.
Semua menjadi bahan renungan untuk mendapatkan nilai terdalam dan terbaik dari bangsa-bangsa di kepulauan ini, yang dapat dijadikan landasan hidup bersama mereka dalam masa yang baru, masa merdeka, masa depannya di tengah dunia. Hasil kontemplasi serta ide dasar negara yang –pada awalnya– ia sebut sebagai Pancadharma itu sampai pada satu pengertian yang jelas dan kuat: Pancasila adalah dasar dan sebuah kerja kebudayaan, bukan sekadar ideologi politik.
Satu contoh, dharma kelima –yang kemudian menjadi sila pertama– ia rumuskan sejak dini, bukan dalam proposisi baku ”Tuhan yang Maha Esa”, melainkan sebagai ”Tuhan yang berkebudayaan” (garis miring dari cetakan buku pertamanya). Yakni religiusitas bangsa yang dilekatkan dan diintegrasikan dengan realitas kontekstual kehidupan masyarakat yang memilikinya.
Religiusitas yang –dalam pengertian Ir. Soekarno– sangat purba ini bukan sekadar aturan agama formal, melainkan inti lakon kehidupan bangsa kita dalam menjalankan ritus-ritus kehidupan sehari-harinya. Sebuah pandangan yang modernis, yang pada akhirnya melahirkan, antara lain, gagasan ”Islam Nusantara”, yang di awal 1970-an ide itu turut membesarkan nama-nama seperti Nurcholish Madjid, Bachtiar Effendy, dan Abdurrahman Wahid.
Apa yang dibuktikan Ir. Soekarno lewat paparan dan penjelasan berulang tentang makna kebudayaan Pancasila tak lain sebuah kapasitas dan kualitas seorang pemimpin bangsa yang berhasil ”melampaui” pemahaman, dimensi, atau kepentingan yang sektarian/partisan. Seorang pemimpin, sebelum ia menjadi seseorang yang mampu meng-”atas”-i sebuah negara (state man) alias negarawan, harus terlebih dulu meng-”atas”-i kebudayaannya, menjadi budayawan (man of culture).
Seorang presiden kebudayaan (yang budayawan) ini ditandai oleh kemampuannya melihat keseluruhan permasalahan, semacam komprehensi kultural, dari sebuah hal yang bahkan tampak kecil atau sepele. Terlebih, persoalan-persoalan yang substansial atau vital dalam penyelenggaraan negara, misalnya. Ia tidak cukup hanya ditunjukkan oleh retorika normatif atau sekadar data statistik yang kering dan steril.
Namun keluasan atau komprehensi itu ditunjukkan oleh pemahaman dan pengalaman yang multidimensional. Bukan melulu dari bacaan-bacaan yang luas, akses intelektual pada berbagai ilmu, pengalaman yang kaya, atau kontemplasi yang mendifusi seluruh asupan tersebut dengan kemampuan apresiasi yang tinggi, melainkan juga kapabilitas menggunakan khazanah simbolik dari (hasil) kerja-kerja kultural yang diapresiasinya.
Maka, dalam kerja kultural itu, katakanlah seni atau agama, seorang presiden dalam arti tertentu juga seorang yang artistik dan estetis, seorang yang mapan dalam religiusitasnya. Itu akan tampak dalam wacana (discourse) yang diutarakannya, dalam kode atau simbol-simbol linguistik (daya literer) yang digunakannya, dalam referensi yang menghiasinya, dalam kristal-kristal bening dan padat gagasannya.
Dari gambaran tidak terlalu ideal itu –standar penulis– kita pun dapat menakar apa yang kita temukan dan mungkin kita pilih dalam bursa calon presiden serta wakil presiden di final kompetisi demokrasi belakangan ini. Telah cukup banyak, bahkan overexposure, karena ulah media-media yang rakus sensasi, data serta pembuktian kapasitas dan kapabilitas para calon pemimpin bangsa itu, setidaknya kita dapatkan dalam dua bulan terakhir ini.
Anda dapat menilai sendiri, siapa di antara mereka yang memenuhi kualitas dasar seorang negarawan dari kemampuan mereka melihat persoalan, komprehensi masalah, visi ke depan, dan nilai kebudayaan dalam diri mereka. Dari berbagai debat, mimbar, panggung kampanye, hingga hasil wawancara mereka yang begitu pragmatis, praktis, kering, bahkan cenderung artifisial, banyak pihak menganggap kita sebenarnya tak memiliki (cukup) pilihan.
Tapi demokrasi mewajibkan kita memilih. Inilah paradoks demokrasi, kekerasannya yang otoriter membuat kita harus memilih ketika tak ada pilihan. Bagaimana bila hal ini dihadapkan pada siswa yang sedang menghadapi ujian akhir nasional? Apakah ia harus membuat pilihan jawaban tambahan? Sistem kita, ternyata, tak mengizinkannya.
***
*) Radhar Panca Dahana, Pekerja Seni.