Haris Firdaus
Suara Merdeka, 17 Mei 2009
“Mulai saat ini, jika hendak menulis tentang semiotika, Anda jangan memakai teori Jacques Derrida, Umberto Eco, atau Jacques Lacan lagi! Teori ketiganya punya kelemahan dasar yang tak bisa dimaafkan,” begitu kira-kira provokasi Saifur Rohman, redaktur Suara Merdeka, saat mengisi sesi pertama Workshop Semiotika Sastra di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Solo, pada 9-10 Mei lalu.
Dalam workshop yang terselenggara berkat kerja sama TBJT, Suara Merdeka, Kabut Institut, dan Bale Sastra Kecapi itu, Saifur mengajak para peserta untuk tidak larut dalam arus kelatahan saat mempraktikkan semiotika. Menurutnya, praktik semiotika di Indonesia cenderung terus-menerus merujuk pada teori-teori yang dikembangkan Derrida, Eco, atau Lacan. Padahal, kata Saifur, pandangan ketiga tokoh itu punya kelemahan-kelemahan yang sangat mencolok.
Jacques Derrida, melalui teori dekonstruksinya, menyebut tidak ada kenyataan di luar teks. Bagi Saifur, anggapan semacam itu tidak benar karena teks tidak bisa mencakup segalanya. “Banyak ekspresi-ekspresi manusia yang tidak bisa terangkum dalam ragam bahasa apapun,” ungkap Saifur.
Umberto Eco, dalam buku The Limit of Interpretation, mengungkap soal ketakterbatasan proses tafsir sebuah teks karena petanda atau isi sebuah teks dianggap tak memiliki demarkasi. “Relativitas yang tak punya batas inilah yang menjadikan teori Eco sangat lemah,” terang Saifur.
Setelah mengungkap kelemahan Derrida dan Eco, Saifur berlanjut mencela Lacan. “Teori Metabahasa Lacan—yang berkait dengan erat dengan ketidaksadaran manusia—mirip dengan cerita humor tanpa pembuktian,” tegasnya.
Sebagai “sesi pertama” dari sebuah kegiatan yang disebut sebagai “Workshop Semiotika Sastra”, materi Saifur—yang berjudul “Kelatahan dan Kreativitas: Kasus Praktik Semiotika Kontemporer”—tentu saja merupakan sebuah bahan ajar yang “tak lazim”. Galibnya, sebuah workshop akan dimulai dengan pemaparan bahan yang sederhana dan elementer dulu, baru berlanjut ke materi pendalaman, dan diakhiri dengan materi yang sedikit “dekonstruktif” untuk mempertanyakan kembali semua pemahaman awal yang didapat sebelumnya. Tapi, mau bagaimana lagi, workshop yang sedang digelar di TBJT ini memang sebuah workshop tak biasa.
Mengikuti workshop tersebut, ibarat sedang bermain puzzle. Para peserta disodori sejumlah gagasan, serangkaian wacana, gelontoran ide-ide, lalu dibiarkan mengarungi sendiri lautan ide yang telah mereka dapat, untuk kemudian memilah dan memilih mana gagasan yang harus diserap dan mana yang mesti disingkirkan. Semua materi workshop tersebut bagaikan potongan-potongan puzzle yang jika dilihat satu per satu akan tampak tak koheren, mencong di sana-sini, dan mungkin membuat tersesat. Akan tetapi, jika semua potongan puzzle tadi sudah dikumpulkan, lalu ditata menjadi satu, maka akan tampak sebuah pola, sebentuk sketsa, semacam gambar, yang meskipun samar-samar tapi beraturan. Untuk membuat gambar tadi menjadi benar-benar jelas dan sistematis, para peserta harus membaca buku lagi, berdiskusi lagi, belajar dengan tekun terus-menerus.
Jika menyimak secara intensif semua materi yang disampaikan, akan tampak bahwa workshop semiotika sastra itu memang mirip dengan permainan puzzle. Setelah materi dekonstruktif dan menghentak dari Saifur Rohman, peserta dihadapkan dengan kesistematisan, kedalaman, sekaligus keluasan berpikir St. Sunardi. Mengisi sesi kedua, Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini dengan runtut membicarakan konteks kemunculan semiotika, asumsi-asumsi filosofisnya, dan pengaruh semiotika dalam kajian ilmu lain. Diawali dengan pembahasan soal munculnya semiotika dalam kajian linguistik yang diperkenalkan Ferdinand de Saussure, dilanjutkan dengan pemaparan sejumlah filsuf yang pemikirannya bertolak dari semiotika seperti Derrida, Lacan, Baudrillard, dan Laclau, materi Sunardi diakhiri dengan menyebut dampak semiotika di bidang sejarah dan berbagai kajian lintas disiplin seperti kajian media, kajian perempuan, kajian film, dan lain-lain.
Budi Irawanto yang mengisi sesi ketiga mengayakan pembahasan semiotika sastra dengan pembahasan mengenai semiotika dan media. Budi yang merupakan pengajar ilmu komunikasi Universitas Gajah Mada ini menekankan, semiotika membuka pandangan baru bahwa teks tidak bisa ditafsirkan atau dimaknai dengan cara pandang tunggal. Semiotika di bidang iklan, film, maupun sastra, sama-sama memiliki semangat pluralitas pemaknaan yang tak memperkenankan hadirnya otoritas penafsir yang tunggal.
Sesi workshop keempat yang dimulai pada Minggu pagi diisi oleh Kris Budiman. Kris bicara dengan sistematis tentang kritik sastra dalam perspektif semiotika. Setelah mengungkap genealogi kritik sastra dari zaman paling lampau hingga masa kontemporer, dari gerakan New Criticism sampai pascastrukturalisme, Kris yang telah menulis beberapa buku tentang semiotika ini lalu menyodorkan perspektif baru tentang apa itu “kritik sastra”. Menurutnya, kritik sastra tidak hanya bisa dianggap sebagai penghakiman baik-buruk tentang karya, tapi juga mungkin dipandang sebagai upaya pemeriksaan teks sastra untuk kemudian menempatkannya ke dalam kondisi kritis.
Triyanto Triwikromo, sastrawan dan redaktur Suara Merdeka, melanjutkan perjalanan semiotika sastra dengan pembahasan mengenai semiotika dan puisi. Yang paling menarik dari materi Triyanto adalah pendapatnya tentang kontribusi semiotika dalam proses penciptaan puisi. Selama ini, semiotika—apalagi secara akademis—cenderung hanya dipahami sebagai alat penafsiran dan bukan alat penciptaan. Triyanto membalik pandangan ini dengan menyebut bahwa pemahaman semiotika adalah modal mutlak seorang penyair yang baik. Dengan yakin, ia mengatakan: “Penyair yang tak memahami semiotika hanya akan menghasilkan puisi-puisi yang berada dalam ‘ketidaksengajaan sejarah’”.
Kepingan puzzle terakhir dilengkapi oleh Tjahjono Widijanto, esais dan penyair asal Ngawi. Membahas tentang laku semiotika dalam novel, Tjahjono menjelaskan cukup teknis tentang prosedur pemaknaan melalui semiotika. Apa yang disampaikan Tjahjono, pada akhirnya, menjadi pelengkap dan penutup yang baik terhadap berbagai materi sebelumnya. Meskipun begitu, dipastikan para peserta tidak akan pulang dengan tenang setelah workshop selesai. Bagaimanapun, workshop itu agaknya memang tidak diniatkan sebagai “jalan kilat” untuk memahami semiotika sastra. Tugas para peserta masih ada: menyusun semua potongan puzzle yang didapat selama workshop menjadi sebuah gambar utuh semiotika sastra.