Setelah Sang Naga Bebas Menari

Yusi A. Pareanom, Setiyardi, Levi Silalahi, Andari Karina Anom, Fitri, Wahyu Dhyatmika
tempo.co.id

Seputar Tahun Baru Imlek pekan lalu, budaya Cina menjadi item atraktif. Stasiun-stasiun televisi tak mau kalah berlomba menyuguhkan acara yang memiliki unsur kecinaan. Sebuah film baru berjudul Ca Bau kan, yang diangkat dari novel Remy Sylado yang mengangkat budaya Cina, ikut meluncur memanfaatkan momentum ini. Iklim kebebasan yang dimulai pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid jadi faktor utama kemeriahan ini. Namun, setelah 30 tahun lebih terpasung, ada upaya agar kesenian Cina bisa kembali berekspresi. Ikuti liputan TEMPO tentang kesenian dan kebudayaan Cina, yang kembali bersinar di Indonesia.

Sang Ular menggeliat meninggalkan sebuah masa. Gumam doa dan asap hio wangi seperti tak henti membalur ruang sembahyang Vihara Dharma Bhakti menyambut derap kaki sang Kuda. Sinar ratusan lilin dan lampion merah menyala membuat warna keemasan meja ibadah memantul di tiang-tiang vihara. Suasana di rumah ibadah berusia sekitar 500 tahun di kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat, ini memang begitu semarak Senin malam pekan lalu. Ribuan pengunjung keturunan Tionghoa silih berganti datang memanfaatkan saat-saat terakhir Tahun Ular (tahun 2552 penanggalan Cina) untuk meminta berkah keselamatan menyongsong Tahun Baru Imlek yang datang esok harinya, Tahun Kuda 2553.

Warga Petak Sembilan sebetulnya sudah menyiapkan acara istimewa pesta rakyat agar perayaan Imlek kali ini lebih meriah. Yang sedianya akan tampil adalah kelompok barongsai, wayang potehi, dan tanjidor. Namun, acara dengan bujet Rp 100 juta ini terpaksa batal. Alasannya, tidak pantas menggelar acara semacam itu di tengah situasi keprihatinan akibat bencana banjir. Apa boleh buat, awal Tahun Baru Imlek, yang di daratan Cina adalah hari pertama musim semi (seperti halnya di kebanyakan negara Asia Tengah lain), di Indonesia selalu bertepatan dengan musim hujan.

Walau pesta rakyat batal, kemeriahan Imlek di Jakarta toh masih tetap terasa. Tengok tayangan televisi swasta. Layar kaca penuh sesak dengan acara yang dicocok-cocokkan dengan situasi Imlek. Persoalan mutu sering jadi pertimbangan kesekian. Ferry Salim mungkin salah satu orang yang tersibuk mengisi acara seputar Imlek. Tiap malam, model dan bintang sinetron ini muncul di Metro TV membawakan siaran langsung acara ramal-meramal berdasar astrologi Cina bersama Putri Wong Kam Fu. Selain itu, ia ikut sibuk dalam promosi film Ca Bau Kan, yang memasangnya sebagai tokoh utama Tan Peng Liang. Pendeknya, tak lengkap menyebut tontonan Imlek tahun ini tanpa menyertakan nama Ferry. Tahun lalu, pria yang mewarisi darah Cina dari ibunya ini juga main dalam sinetron Loe Fen Koei karya Hanny Saputra, yang diputar kala Imlek. Bukan tidak mungkin, tahun depan permintaan serupa akan datang pada Ferry.

Imlek, dalam dua tahun terakhir, jadi item yang kian memikat untuk dijajakan. Selain tayangan televisi swasta, longok hiruk-pikuk spanduk merah bertuliskan Gong Xi Fat Chai di pusat-pusat perbelanjaan, serta berbagai merchandise Imlek yang kini sudah mulai menjadi fashion dan sudah menjadi bagian dari kewajaran kehidupan di Indonesia.

Pengamat budaya Ong Hok Kam tak menampik bahwa banyak aspek Imlek telah tersentuh secara komersial. Namun, ia tidak risau. “Keramaian ini baik untuk mengajarkan toleransi karena menunjukkan kepada masyarakat bahwa kebudayaan kita majemuk,” tutur Ong.

Mungkin Ong benar. Soalnya, keragaman budaya yang datang menyertai Imlek adalah kemewahan yang mustahil dijumpai semasa Orde Baru berkuasa. Di masa itu, siapa pun yang berupaya mencoba membawakan atraksi kesenian dengan bau-bau budaya Cina bisa dituduh subversif. Jangankan di tempat publik, di lingkungan sendiri pun warga keturunan Cina sering kali dipersulit saat menjalankan upacara dengan adat-istiadat leluhur mereka.

Biang perkara adalah Inpres No. 14 Tahun 1967, yang memberangus kebebasan warga keturunan Cina. Menurut Arief Budiman, pengajar di Universitas Melbourne, Australia, kelahiran peraturan ini tak lepas dari rivalitas Angkatan Darat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu, PKI punya hubungan kental dengan Republik Rakyat Cina, “Soeharto lalu enak saja mengidentikkan komunis dengan Cina,” kata Arief.

Inpres tersebut memang masih memperbolehkan pesta agama dan adat diselenggarakan, asal tidak mencolok dan dalam lingkungan intern. Prakteknya, aparat kantor sosial-politik sering punya tafsir tersendiri yang sering kali “menggelikan” karena merambah ke mana-mana. Sutradara teater N. Riantiano pernah punya pengalaman pahit pada tahun 1988 saat mementaskan Sampek Engtay. Di Jakarta, pertunjukan ini nyaris dilarang badan intel. Riantiarno berargumentasi, ini drama percintaan, bukan cerita politik. Izin turun, tapi ada syarat tak boleh ada huruf Cina, tak boleh membakar hio, dan liong (naga) hanya boleh ditaruh di dalam gedung. Di Medan, ia tak seberuntung itu. Polisi melarangnya karena belum ada izin turun dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Padahal, sepuluh izin dari instansi lain—salah satunya Dinas Mental Pemerintah Daerah—sudah beres.

Departemen Penerangan tak mau kalah “kreatif” dalam urusan larang-melarang. Tayangan orang sembahyang di kelenteng, aksi barongsai, atau penggunaan bahasa Cina dilarang keras ditayangkan di layar kaca. Menurut Ishadi S.K., bekas Direktur Jenderal RTF (Radio, Televisi, dan Film), saat itu yang berkembang adalah pemikiran dogmatik satu arah. “Pelarangan itu dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Cina di sini melupakan budaya mereka agar mereka mudah masuk dan beradaptasi dengan budaya kita,” kata Ishadi.

Lucunya, peraturan ini menyimpan keganjilan. Film Mandarin boleh saja diputar di bioskop dengan bahasa aslinya. Alasannya, film ini produk luar negeri. Jadi, tidak apa-apa. Tapi, jika film itu masuk ke ruang keluarga lewat siaran televisi, film itu wajib disulih suara. Maka, yang tampil adalah tontonan dari dunia antah-berantah, aktor-aktor berpakaian Tiongkok Kuno tetapi bertutur bahasa Inggris atau Indonesia. Produk tayangan dari negara yang menggunakan bahasa penutur non-Inggris—seperti telenovela Amerika Latin (bahasa Spanyol), sinetron Filipina (bahasa Tagalog), atau sinetron India—juga kena imbas. Padahal, menurut staf ahli Menteri Komunikasi dan Informasi, Chairul Zein, sulih suara ini sekarang tidak lagi jadi kewajiban. Alasan Departemen Penerangan apa lagi kalau bukan demi melindungi persatuan nasional. Wah.

Satu-dua perkecualian tentu ada. Tengok kasus Yayasan Senopati dari kawasan Perak, Surabaya. Yayasan ini lahir pada tahun 1946 dengan nama Hwa Chiaw Ing Yok Se (Perhimpunan Musik Warga Tionghoa). Paguyuban ini sejak awal punya misi bersahaja, yaitu melestarikan kesenian tradisional Tionghoa. Tahun 1966, kegiatan yayasan ini mandek. Personelnya tetap berlatih dalam kelompok kecil secara diam-diam. Ketika hubungan diplomatik Indonesia dengan RRC dipulihkan, Chandra Wurianto—generasi kedua Hwa Chiaw—menghidupkan kembali paguyuban mereka dengan nama Senopati. Mereka mampu bertahan, bahkan bisa mementaskan barongsai di depan pejabat pemerintah. Kiatnya, mereka tak keberatan membawakan tema pembauran versi pemerintah. “Yang penting, kami mendapat kelonggaran lebih dahulu,” kata Chandra, ketua umum yayasan.

Namun, yang namanya perkecualian tentu terbatas. Selama puluhan tahun lebih, banyak yang diberangus. Arief Budiman menyebut hal ini berakibat serius karena stimulasi menarik dari kesenian macam barongsai atau potehi tak sempat muncul. Padahal stimulasi ini bisa jadi sumber rangsangan kebudayaaan baru. “Budaya kita jadi kurang kaya. Sebab, budaya Cina bukan cuma salah satu sumber keberagaman, ia juga jadi pembentuk,” kata Arief.

Belenggu semacam itu baru putus setelah peraturan kolot tersebut dicabut oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid lewat penerbitan Inpres No. 6 Tahun 2000. Peraturan baru ini membolehkan warga Tionghoa kembali menjalankan aktiv-itas kebudayaan mereka secara bebas.

Semestinya, hal tersebut melegakan. Namun, kritik tajam telah datang karena masih banyak ihwal hak asasi warga Tinghoa yang tidak serta-merta bisa menggelinding mulus. Masalahnya, produk hukum tersebut tak disertai peraturan pelaksanaan lain di bawahnya yang punya semangat sama. Akibatnya, sampai sekarang masih saja ada warga keturunan Cina yang menikah secara Konghucu tak bisa mencatatkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil karena Konghucu belum diakui sebagai agama resmi seperti halnya Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha.

Produk Abdurrahman Wahid ini bernasib sama dengan Inpres No. 4 Tahun 1999, yang diteken B.J. Habibie, yang berisi penghapusan semua aturan tentang surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Soalnya, dalam praktek, saat seorang warga Tionghoa mengurus dokumen di kantor pemerintah, ia tetap saja diminta melampirkan SBKRI.

Meskipun begitu, inpres yang dikeluarkan telah berhasil membuat publik ingin menengok kekayaan tradisi yang sempat terpojokkan. Situasi ini bersifat timbal balik karena banyak seniman jadi tertantang untuk menggali dan mengolah kekayaan budaya Cina dalam karya mereka. Nia Di Nata, sutradara Ca Bau Kan, menyebut ketertarikannya membuat film dari novel Remy Sylado ini antara lain karena banyak informasi tentang kesenian Cina yang belum dikenal publik. “Siapa yang menyangka gambang kromong asalnya dari Cina,” kata Nia.

Namun, tampaknya pengenalan kebudayaan Cina boleh dibilang baru sebatas permukaan. Ketika disebut budaya Cina, ingatan mungkin akan lebih banyak melayang ke barongsai. Ong Hok Kam menyebut hal ini tak terelakkan “Ekspresi yang paling menonjol dan gampang dikenali dalam kebudayaan mana pun adalah arak-arakannya. Untuk Cina, ya barongsai,” kata Ong.

Padahal warisan kebudayaan Cina tidak cuma tarian naga itu. Di bidang pertanian, pendatang Cina memperkenalkan budidaya padi, tebu, dan sayur-sayuran seperti kol dan caisim. Dari bidang ini juga lahir seni kuliner yang kelezatannya masih digemari hingga kini. Teknologi pengolahan logam untuk senjata tajam, perakitan senjata api, pelapisan bagian dalam kapal juga datang dari Tiongkok. Di bidang seni pertunjukan, titilaras slendro, gambang kromong, dan lenong juga hadir berkat kontribusi warga keturunan Cina di sini.

Celakanya, tak banyak seniman Tionghoa yang menyodorkan kesenian selain barongsai. Secara bisnis, hal ini bisa dimengerti karena barongsai yang paling laris ditanggap. Bentuk pertunjukannya yang atraktif dan dinamis jadi alasan penguat keikutsertaan generasi mudanya. Namun, harga yang dibayar tidak kecil. Dalang wayang potehi Thio Tian Gie di Semarang tak menutupi kecemasannya akan masa depan kesenian yang ditekuninya. Soalnya, tiga anaknya tak ada yang mau belajar mendalang. Semuanya lebih suka main barongsai.

Tawaran yang agak berbeda datang dari Yayasan Senopati. Menu atraksi mereka tak cuma barongsai dan wushu. Mereka juga memembuka kursus gratis tari klasik Cina dan musik tradisional macam da ruan (alat petik mirip gitar), pai xiao (gabungan 24 seruling yang dijadikan satu), er hu (alat musik gesek tradisional yang mirip biola), dan ku chen (sejenis kecapi Tionghoa), selain pelajaran wushu dan barongsai. “Kalau mencari tempat di mana semua tari klasik Tionghoa masih dipelajari dan dipentaskan, di sini tempatnya,” kata Chandra dengan bangga.

Sementara tari klasik Cina masih terpelihara di Senopati, tidak demikian dengan musiknya. Pilihan mereka adalah campursari, gabungan diatonik dan pentatonik. Lagu yang dimainkan juga kebanyakan lagu pop Indonesia atau Jawa. Lagu klasik tradisional Tionghoa masih dimainkan, tapi oleh generasi yang lebih tua saja. Menurut seniman serba bisa Remy Sylado, perkembangan ke arah seperti ini tak terelakkan. “Soalnya, seniman Tionghoa di sini praktis sudah putus hubungan dengan perkembangan seni di Cina daratan sana,” kata Remy.

Arief Budiman termasuk yang tidak risau bila kesenian Cina di Indonesia mengalami perkembangan bentuk yang mungkin jauh berbeda dengan yang aslinya. Ia malah tidak setuju jika kebudayaan harus diatur-atur. Lantas, apa namanya budaya dari Cina yang sudah beradaptasi di sini? Budaya Cina Indonesia? “Bukan, namanya budaya Indonesia,” kata Arief.

Tempo, No. 51/XXX/18 – 24 Februari 2002

Bahasa »