Teuntra Atom, Anak Haram Konflik Aceh


Thayeb Loh Angen *
blog.harian-aceh.com

Novel Teuntra Atom telah beredar di Aceh, Medan dan Jakarta, segera dilaunchingkan pada 14 Februari 2010 di International Boarding School Fajar Hidayah, Blang Bintang Aceh Besar. Acara launching dan bedah novel tersebut bertajuk “14 Februari Hari Bahasa untuk Perdamaian,” yang acara utamanya workshop menulis untuk remaja.

Novel ini sedang disiapkan untuk cetakan kedua dan penerjemahan ke dalam bahasa Inggris yang sebelumnya dipresentasikan dalam Festifal Sastra Galle di Sri Lanka pada 28 Januari – 1 Februari 2010.

Tidak ada ukuran pasti baik dan buruk tentang sebuah karya, namun novel Teuntra Atom memang memenuhi standar sastra, walau masih menyisa ruang untuk dikritisi bahkan dihujat habis-habisan. Novel Teuntra Atom, terbitan CAJP (Center for Aceh Justice and Peace), cetakan pertama pada Agustus 2009, tebal: 362 halaman, bisa dipahami dari beberapa sisi, tergantung cara pandang dan pembacanya.

Dalam resensinya tentang novel Teuntra Atom di Tabloid Nasional Gatra, 22-28 Oktober 2009, berjudul “Konflik Aceh dalam Fiksi-Sejarah,” Teuku Kemal Fasya menulis “Meski tidak sama, metode Thayeb mengingatkan saya pada Pramoedya Ananta Toer; novelis sejarah Indonesia yang paling berpengaruh di dunia. Pram mampu memberi energi tempat dan mengumpulkannya menjadi sentral penceritaan. Secara faktual Paloh Dayah hanya desa miskin biasa di pinggiran Kota Lhokseumawe. Akan tetapi dalam novel ini ia menjadi Blora-nya Ananta Toer.

Sejarah utama Teuntra Atom adalah 1999, ketika Aceh mulai dilanda konflik berkepanjangan pasca pencabutan DOM. Sang pengarang mendemistifikasi heroisme yang kerap tergambar penuh kemewahan dan berlebihan oleh penulis Aceh lainnya. Penulis Aceh lain tentu akan berfikir panjang untuk memilih cara narasi Thayeb, misalnya mengungkap kasus korupsi di kalangan kombatan.”

Selain di Taboid nasional Gatra yang ditulis Teuku Kemal Fasya, seorang kritikus sosial politik yang sering menulis di media nasional, resensi novel ini pun telah diulas oleh Boy Nasruddin Agus di Harian Aceh dan oleh Masriadi Sambo di Tabloid Kontras.

Cerita dalam novel ini diawali dan diakhiri di Kawasan Budaya Paloh Dayah, Muara Satu Lhokseumawe. Paloh Dayah adalah sebuah kampung yang pada era konflik 1999-2002 jadi basis gerakan di seputar Lhokseumawe. Namun kali ini kita tidak mengulas tentang Paloh Dayah, yang tadinya bahkan tidak dikenal di Kecamatan Muara Satu sendiri, tapi setelah jadi latar utama novel ini dan disebut sebagai Kawasan Budaya, maka telah dikenal.

Sastrawan Malaysia, Profesor Siti Zainon Ismail, Jauhari Samalanga, Dr Wildan, Dr Rajab, D Kemalawati, Arafat Nur, Musmarwan Abdullah, Said Jaya, telah mengunjungi kampung yang berpenduduk seribu jiwa ini.

Memahami Novel Teuntra Atom

Bila ada yang ingin membaca cerita perang seheboh film pembantaian di Vietnam maka tidak ada dalam buku ini, karena buku ini ditulis untuk mengatakan bahwa perang tidak baik untuk manusia, yang baik adalah perdamaian. Cerita perang hanya menimbulkan dendam dan merusak moral generasi, maka dalam novel ini cerita itu dihindari. Jangan pernah mengenang, kalau memang terpaksa, maka kenanglah keberhasilan dan kebaikan saja.

Pada Bab 12 berjudul Sumur-Sumur Tengkorak, ditulis kata-kata seorang perempuan gunung, “Sehebat apapun kemenangan perang, tidak aku bangga kehancuran karenanya.”

Perang Aceh yang dimulai oleh Belanda pada 26 Maret 1873 telah menghancurkan fisik Aceh, dan kehancuran terparah adalah serangan mental yang diluncurkan penjahat intelektual Snouck Hurgronje. Sampai kini mental Aceh belum pulih, namun sedang dipulihkan sebab era Snouck telah berakhir. Peradaban Aceh sedang diperbaiki.

Sebagian besar novel ini otobiografi, kecuali bab 19 yang berjudul Retina dengan tokoh Elli. Bab 19 adalah rangkuman novel ini, bahwa konflik Aceh di era pergantian abad 20 dan masuk abad 21 adalah konflik yang tidak diselesaikan dengan baik, bahkan ideologi pemicunya pun kerap diselewengkan.

Inti utama novel Teuntra Atom adalah filosofi perang dan damai serta pendidikan, semuanya dinyawai oleh kemanusiaan, bahwa yang paling utama adalah menjadi manusiawi. Mawardi Hasan, seorang penjabat di Majelis Pendidikan Aceh sekaligus dosen IT untuk S 2 di Unsyiah mengatakan bahwa sebaiknya intisari filosofi dan pendidikan dalam novel Teuntra Atom disusun dalam dua buah buku saku terpisah agar mudah dipahami.

Sementara Musmarwan Abdullah, seorang cerpenis di Aceh mengatakan, butuh seorang pengulas handal untuk membuat khalayak bisa memahami novel Teuntra Atom dengan baik dan lengkap, karena dalam novel ini banyak kalimat yang perlu dijelaskan dengan bahasa sederhana.

Intinya, ini pembuktian bahwa kita di Aceh bisa menulis cerita sendiri. Aceh jangan hanya dikenal dengan perang dan bencana serta korupsi pejabatnya, tapi Aceh juga bisa dikenal dengan karya anak bangsanya. Mari membangun peradaban baru di Aceh. Cintailah Aceh, banyak membaca, menulis. Kata penyair Portugal, berjuanglah dengan senimu, dan musuh kita hanyalah senjata.

Maka, berjuanglah membangun peradaban Aceh. Pertahankan dan majukan budaya Aceh yang baik, ciptakan budaya baru kita dan ambil budaya orang yang sesuai dengan amanah indatu. Cucu indatu yang baik adalah cucu yang memajukan peradaban.
***

*) Thayeb Loh Angen, Wartawan Harian Aceh, Inisiator Lembaga Budaya Saman. /16 Jan 2010.

Bahasa »