Ubud Writers & Readers Festival, Nobel dan Selembar Kisah Usang

Aziz Abdul Ngashim

Biasanya saya ingat setiap oktober selalu ada sebuah festival sastra terbesar di asia tenggara, sayangnya festival sebesar ini justru tenggelam dalam hiruk pikuk maling ATM dan banjir Jakarta. tapi biarkanlah kita yang tetap mengapresiasi festival tersebut. dibalik ingatan saya tentang Ubud Writers &Readers Festival ternyata saya tidak tahu kalau sebelum itu ada lomba menulis “fiksi mini”, tahunya setelah beberapa kawan berbagi link tulisan. sudahlah yang penting saya sudah berpartisipasi sebagai voter untuk kawan-kawan.

tapi ada satu hal di masa lalu yang tiba-tiba terlintas dalam ingatan saya yang sangat terbatas ini, pertama kisah tentang seorang sastrawan yang menolak nobel hingga esai saut situmorang tentang Ubud Writers &Readers Festival 2006. yang mengomentari sastrawan Teater Utan Kayu dalam keikutsertaannya dalam festival tersebut. sebelum bercerita jauh tentang sastrawan penolak nobel mari tengok sebentar esai saut berjudul “Dusta”. dimana saut begitu bahagia membaca “laporan” Chavchay Syaifullah di Media Indonesia berjudul “karya bagus argumentasi lemah” tentang “kegagapan forum” orang-orang TUK di arena sastra “internasional” berbahas inggris seperti Ubud Writers &Readers Festival.

“kegagapan forum” yang dimaksud disini yaitu adanya kekurangan bahasa di arena “internasional”. masih menurut saut, ketidakmampuan itu bisa dilihat dari buruknya terjemahan cerpen-cerpen Jose Luis Borges yang dialih bahasakn oleh Hasif Amini. jika apa yang ditulis C. Syaifullah dan dikutip oleh saut itu benar adanya, jika sastrawan-sastrawan TUK saja terpeleset begitu dalam maka rasanya saya seperti terjebak dalam “keterkecilan” diri untuk berpartisipasi dalam festival besar tersebut.
***

dalam bidang sastra, nobel prize pernah bermasalah dengan 3 orang, diantaraya Boris Pastrenak, Samuel Barclay Becket, dan Jean-Paul Sartre. jika Boris Pastrenak gagal mendapat nobel karena campr tangan uni sovyet dan Barclay Becket menerima nobel tapi menolak ikut upacara dan memberi pidato tapi tetap menerima hadiah uangnya, uang tersebut dia bagi-bagiakan kepada teman-teman sastrawannya dan dia tidak menerima sepeserpun. kisah unik juga menimpa Jean-Paul Sartre.

Jean-Paul Sartre menolak “anugerah” Hadiah Nobel untuk Sastra tahun itu! Apa Sartre sudah gila? Apa mungkin cacat matanya membuat saraf otaknya tidak mampu lagi bekerja normal, seperti para sastrawan Nobel lain yang normal itu? Entahlah, tapi yang pasti Sartre tetap menolak Hadiah Nobelnya sampai dia meninggal dunia. Kita tentu bertanya-tanya: kenapa Sartre menolak Hadiah Nobelnya? Apa sebabnya?

Menurut yang empunya cerita, konon hanya ada dua alasan yang diberikan Jean-Paul Sartre untuk menolak menerima Hadiah Nobel Sastra untuk tahun 1964 itu: pertama, menurut Sartre seharusnya penyair Komunis dari Chile bernama Pablo Neruda yang lebih pantas untuk mendapat Hadiah Nobel Sastra tahun itu, dan kedua, Sartre tidak mau karyanya dibaca hanya karena dia menang Hadiah Nobel yang nota bene, menurutnya, merupakan produk/simbol dari masyarakat borjuis-kapitalis yang direpresentasikan oleh Akademi Swedia itu sendiri. Sartre berargumentasi, dari Uni Soviet hanya para pengarang yang melawan rejim komunis saja yang mendapat Hadiah Nobel Sastra. Nah, kan.

biarkan para peraih nobel di masa lalu dengan egoisme dan idealismenya, dan biarkan juga saut bertahan dengan anti KLA’y, biarkan taufik ismail dan mohtar lubis panas dingin mendengar Pramodya mendapat magasay award. yang penting mari kita semua mengapresiasi setiap lembaga maupun orang yang memberi ruang dan penghargaan untuk para penulis dan sastrawan. Biarkan Ubud Writers &Readers Festival dengan cara penilaian yang dianggap terbaik. Biarkan KLA menggunakan sistem penilaiannya sendiri. Biarkan pula Pena Kencana menggunakan sistem penilaian seperti Indonesian Idol, yang menggunakan SMS. Biarkan pula Yayasan Ramon Magsaysay menggunakan kriteria dan sistem penilaiannya sendiri. dan biarkan Akademi Swedia dengan cara pandang sendiri tentang siapa yang terbaik, toh yang pasti apapun cara, bentuk dan namanya setiap penghargaan selalu berarti dan memiliki nilai tersendiri.

***

Bahasa »