Ballada Lelaki-lelaki Tanah Kapur
Para lelaki telah keluar di jalanan
dengan kilatan-kilatan ujung baja
dan kuda-kuda para penyamun
telah tampak di perbukitan kuning
bahasa kini adalah darah.
Di belakang pintu berpalang
tangis kanak-kanak, doa perempuan.
Tanpa menang tiada kata pulang
pelari akan terbujur di halaman
ditolaki bini dan pintu berkunci.
Mendatang derap kuda
dan angin bernyanyi :
-‘Kan kusadap darah lelaki
terbuka guci-guci dada baja
bagai pedagang anggur dermawan
lelaki-lelaki rebah di jalanan
lambung terbuka dengan geram serigala!
O, bulu dada yang riap!
Kebun anggur yang sedap!
Setengah keliling memagar
mendekat derap kuda
lalu terdengar teriak peperangan
dan lelaki hidup dari belati
berlelehan air amis
mulut berbusa dan debu pada luka.
Pada kokok ayam ketiga
dan jingga langit pertama
para lelaki melangkah ke desa
menegak dan berbunga luka-luka
percik-percik merah, dada-dada terbuka.
Berlumur keringat diketuk pintu.
– Siapa itu?
– Lelakimu pulang, perempuan budiman!
Perempuan-perempuan menghambur dari pintu
menjilati luka-luka mereka
dara-dara menembang dan berjengukan
dari jendela.
Lurah Kudo Seto
bagai trembesi bergetah
dengan tenang menapak
seluruh tubuhnya merah.
Sampai di teratak
istri rebah bergantung pada kaki
dan pada anak lelakinya ia berkata:
– Anak lanang yang tunggal!
kubawakan belati kepala penyamun bagimu
ini, tersimpan di daging dada kanan.
*
Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.
Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.
Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
– Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang.
– Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala.
– Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ke tiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
la telah membunuh bapanya.
*
Ballada Sumilah
Tubuhnya lilin tersimpan di keranda
tapi halusnya putih pergi kembara.
Datang yang berkabar bau kemboja
dari sepotong bumi keramat di bukit
makan dari bau kemenyan.
Sumilah!
Rintihnva tersebar selebar tujuh desa
dan di ujung setiap rintih diserunya
– Samijo! Samijo!
Bulan akan berkerut wajahnva
dan angin takut nyuruki atap jerami
seluruh kandungan malam pada tahu
roh Surnilah meratap dikungkung rindunya
pada roh Samijo kekasih dengan belati pada mata.
Dan sepanjang malam terurai riwayat duka
begini mulanya:
Bila pucuk bambu ngusapi wajah bulan
ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya
dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam pertama
malam muntahkan serdadu Belanda dari Utara.
Tumpah darah lelaki
o kuntum-kuntum delima ditebas belati
dan para pemuda beribukan hutan jati
tertinggal gadis terbawa hijaunya warna sepi.
Demi hati berumahkan tanah ibu
dan pancuran tempat bercinta
Samijo berperang dan mewarnai malam
dengan kuntum-kuntum darah
perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang.
Terkunci pintu jendela
gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada
ngeri mengepung hidup hari-hari
Segala perang adalah keturunan dendam
sumber air pancar yang merah
bebunga berwarna nafsu
dinginnya angin pucuk pelor, dinginnya mata baja
reruntuklah sernua merunduk
bahasa dan kata adalah batu yang dungu.
Maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu
dan perawan-perawan menangisi malamnya tak ternilai
kerna musuh tahu benar arti darah
memberi minum dari sumber tumpah ruah
nyawanya kijang diburu terengah-engah.
Waktu siang mentari menyadap peluh
dengan bongkok berjalan nenek suci Hassan Ali
di satu semak menggumpal daging perawan
maka diserunya bersama derasnya darah:
– Siapa kamu?
– Daku Sumilah daku mendukung duka!
Belanda berbulu itu membongkar pintu
dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia.
– Duhai diperkosanva dikau anak perawan!
– Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!
Takutku punya dorongan tak tersangka
tersungkur ia bersama nafsunya ke sumur.
– O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah
koyak-moyak bajumu muntahkan dadamu
lenyaplah segala kerna tiada lagi kau punya
bunga yang terputih dengan kelopak-kelopak sutra,
– Belum lagi! Demi air daraku merah: belum lagi!
Demi berita noda teramat cepat karena angin sendiri
di mulut tujuh desa terucap Sumilah dan nodanya.
Dan demi berita noda teramat cepat kerna angin sendiri
noda Sumilah terpahat juga di hutan-hutan jati
lelaki-lelaki letakkan bedil kelewang mengenangnya
dan Samijo kerahkan segenap butir darah
lebih setan daripada segala kerbau jantan.
Bila dukana terkaca pada bulan keramik putih
antara bebatang jati dengan rambut tergerai
Sumilah yang malang mendamba Samijonya
menyuruk musang, burung gantil nyanyikan ballada hitam.
Satu tokoh menonggak di tempat luang
dan berseru dengan nada api nyala:
– Berhenti! Sebut namamu!
Terhenti Sumilah serahkan diri ke batang rebah:
– Suaramu berkabar kau Samijo, Samijoku.
Daku Sumilah yang malang, Sumilahmu.
– Tiada lagi kupunya Sumilah. Sumilahku mati!
– Belum lagi, Samijo! Aku masih dara!
Bulan keramik putih tanpa darah
warna jingga adalah mata Samijo
menatap ia dan menatap amat tajamnya.
– Padamkan jingga apimu. Padamkan!
Demi selaput sutraku lembut: belum lagi!
Bulan keramik putih bagai pisau cukur
sayati awan dan malam yang selalu meratap
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya.
– Samijo, ambil tetesan darahku pertama
akan terkecap daraku putih, daramu seorang
Batang demi batang adalah balutan kesepian
malam mengempa segala terperah sendat napas
Samijo menatap dan menatap amat tajamnya.
– Samijo, hentikan penikaman pisau pandang matamu
kaubantai daku bagai najis, mengorek dena yang tiada.
Padamlah padam kemilau yang menuntut dari dendam.
Wama pandangnya seolah ungkapan kutuk berkata:
– Jadilah perempuan mandul kerna busuk rahimmu,
jadilah jalang yang ngembara dari hampa ke dosa
aku kutuki kau demi kata putus nenek moyang!
Tanpa omong dilepas tikaman pandang penghabisan
lalu berpaling ia menghambur ke jantung hutan jati
tertinggal Sumilah digayuti koyak-moyaknya.
Sedihlah yang bercinta kerna pisah
lebih sedihlah bila noda terbujur antaranya
dan segalanya itu tak ‘kan padam.
Kokok avam jantan esoknya bukanlah tanda menang
adalah ratap yang juga terbawa oleh kutilang
karena warga desa jumpai mayat Samijo
nemani guguran talok depan tangsi Belanda.
Merataplah semua meratap
kerna yang mati menggenggam dendam
di katup rahang adalah kenekatan linglung tersia.
Kerna dendamnya siksa airmatanya terus kembara
menatap kehadiran Sumilah, dinginnya tanpa percaya
dan Sumilah jadi gila terkempa dada oleh siksa
gadis begitu putih jumpai ajalnya di palung sungai.
Sumilah! Sumilah!
Tubuhnya lilin tersimpan di keranda
tapi halusnya putih pergi kembara
rintihnya tersebar selebar tujuh desa
dan di ujung setiap rintih diserunya:
– Samijo! Samijo!
Matamu tuan begitu dingin dan kejam
pisau baja yang mengorek noda dari dada
dari tapak tanganmu angin napas neraka
mendera hatiku berguling lepas dari rongga
bulan jingga, telaga kepundan jingga
ranting-ranting pokok ara
terbencana darahku segala jingga
Hentikan, Samijo! Hentikan, ya Tuan!
***
W.S. Rendra bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun. Pendidikan SMA St. Josef, Solo. Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967). Kumpulan puisinya antara lain Ballada Orang-Orang Tercinta, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Potret Pembangunan Dalam Puisi, Disebabkan Oleh Angin, Orang Orang Rangkasbitung, Rendra: Ballads and Blues Poem, State of Emergency. Penghargaan yang pernah diterima : Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), Penghargaan Achmad Bakri (2006).
***
Judul : Ballada Orang-orang Tercinta
Penulis : Rendra
Cetakan : VII, 1993 (Cet. I, 1957)
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta (mulai cet. II, 1971)
Tebal : 52 halaman (19 judul puisi)
ISBN : 979-419-004-7
Gambar jilid : Jean Kharis
One Reply to “Balada-balada, W.S. Rendra”
Comments are closed.