Damiri Mahmud
Jurnal Nasional, 21 Apr 2013
ADA dua peristiwa penting dalam Sastra Indonesia Modern yang saya hadiri baru-baru ini dan ikut berperan di dalamnya. Pertama, Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI) di Makasar akhir tahun 2012. Kedua, Maklumat Hari Sastra Indonesia (HSI) di Bukittinggi, 24 Maret 2013.
Pertemuan di Makasar itu terutama membicarakan kemungkinan terbentuknya satu organisasi pengarang Indonesia yang akan memungkinkan fungsi dan kedudukan para pengarang dalam sosok yang jelas. Selama ini sangat dirasakan posisi pengarang berada dalam keadaan yang sangat lemah sehingga keberadaannya antara ada dan tidak di kalangan masyarakat dan pemerintah. Padahal karya-karya mereka dibaca oleh masyarakat, dipelajari di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Tapi kehidupan pengarangnya selalu dilupakan, bahkan mereka cenderung diremehkan. Telah menjadi mitos bahwa pengarang atau sastrawan (baca: seniman) seorang yang pemalas, acak-acakan, punya ego tinggi, dan terutama tak punya penghasilan financial.
Di mata penerbit dan pemilik koran dan majalah, para pengarang hampir tak punya posisi tawar yang jelas. Para penerbit buku hanya mau menerbitkan buku-buku yang dianggap laku dan cocok dengan selera pasar sehingga akan menjadi best-seller. Padahal buku-buku yang seperti itu belum tentu bermanfaat dan mencerdaskan masyarakat bahkan mungkin hanya menjadi racun belaka. Pada sisi lain, buku-buku yang laku tersebut belum tentu memberikan imbalan yang sepantasnya kepada si pengarang oleh karena posisi yang tidak jelas antara pengarang dan penerbit.
Untuk itu para pengarang harus berada pada posisi yang setara dengan pemerintah sehingga kedua belah pihak dapat saling isi mengisi dalam mencapai tujuan dan misi yang diharapkan. Begitu juga terhadap penerbit buku dan pemilik koran dan majalah. Kalau posisi pengarang telah kuat tentu mereka dapat berbicara secara seimbang.
Timbul pertanyaan, sosok organisasi yang bagaimanakah yang akan kita wujudkan? Belajar dari sejarah, kita telah pernah memiliki organisasi seperti Lekra, LKN, Lesbumi, dan sebagainya di mana sebagian besar pengarang ikut masuk ke dalamnya. Organisasi ini bisa kuat oleh karena disokong secara ideal dan financial oleh partai politik pada waktu itu. Tetapi setelah partai politik yang menghidupinya bermasalah atau bahkan padam — seperti Lekra yang berafiliasi ke partai Komunis Indonesia — lenyap pulalah organisasi itu.
Dalam pertemuan di Makasar itu disepakati bahwa organisasi yang akan dibentuk itu adalah sebuah organisasi profesi yang lepas dari segala ikatan dengan pemerintah dan partai politik. Oleh karena singkatnya waktu pertemuan, disepakati dibentuknya Tim Perumus yang terdiri atas tujuh orang. Mereka diberi kepercayaan oleh Sidang untuk dapat mewujudkan sosok organisasi itu di samping terus berkomunikasi dengan para peserta dan penanda tangan dalam mengambil keputusan bersama.
Pada peristiwa yang kedua, oleh Taufiq Ismail dkk, timbul pertanyaan bahwa kita belum mempunyai suatu hari yang disebut Hari Sastra Indonesia. Hal ini penting karena kita memiliki tradisi sastra yang luhur dalam mencerdaskan dan memanusiakan masyarakat kita.
Sebutlah misalnya Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Ronggowarsito, Abdoel Moeis, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Sanusi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, Ali Hasjmi, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Bokor Hutasuhut, Rendra, Taufiq Ismail dan lain-lain. Mereka telah menuliskan karya-karya ke dalam bentuk naskah dan buku yang ikut berjasa membina karakter masyarakat dan bangsa kita. Lagi pula, Hari Sastra dapat dijadikan sebagai momentum supaya masyarakat dan terutama generasi muda dapat menghargai dan membaca karya sastra terus berkesinambungan sampai ke masa yang akan datang.
Maka berkumpullah sekitar 50 orang Sastrawan Indonesia yang datang dari berbagai penjuru tanah air di Rumah Puisi Taufiq Ismail, Padang Panjang, Sumatera Barat. Para peserta telah bersepakat memilih hari kelahiran Abdoel Moeis pada tanggal 3 Juli 1883 di Bukittinggi sebagai Hari Sastra Indonesia itu. Karya Abdoel Moeis yaitu Salah Asuhan (1928) diakui sebagai karya yang monumental dalam kebangkitan Sastra Indonesia Modern.
Abdoel Moeis dengan pena sastranya telah dengan tajam mengantisipasi ke depan bahwa generasi muda Indonesia yang kebarat-baratan akan mengalami disharmonisasi dan disintegrasi sehingga mengalami kegagalan dalam kehidupan. Abdoel Moeis pun sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya telah menunjukkan keselarasan dengan karya-karya yang ditulisnya. Dia komitmen, jujur dan arif dalam memperjuangkan bangsanya yang ketika itu masih dalam penjajahan.
Dia aktif dalam pergerakan Indonesia Merdeka. Sebagai intelektual pula, Abdoel Moeis yang berpendidikan Sekolah Kedokteran itu, ikut mendirikan ITB di Bandung, yang kemudian menjadi Perguruan Tinggi yang berwibawa. Dia kemudian dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno tanggal 30 Agustus 1959.
Maklumat Hari Sastra Indonesia itu telah dilaksanakan di SMA Negeri 2 Bukittinggi (dahulu gedung ini adalah Sekolah Radja atau Kweekschool), pada hari Ahad, 24 Maret 2013. Dimulai dengan upacara Nasional mengumandangkan Indonesia Raya membawa suasana yang mencekam dan diiringi dengan pembacaan Maklumat Hari Sastra Indonesia oleh penyair Upita Agustin (dia juga seorang Guru Besar dengan nama resmi: Prof. Dr. Raudha Thaib) sebagai berikut:
= Untuk menghargai karya sastra yang telah menyumbangkan makna kehidupan bagi keindonesiaan kita.
= Untuk menumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra anak bangsa.
= Memupuk silaturahim dan kreativitas antarsastrawan.
=Melanjutkan cita-cita memberi makna luhur bagi keindonesiaan kita.
Bukittinggi, 24 Maret 2013
Hari Sastra Indonesia yang jatuh pada tanggal 3 Juli itu kemudian disahkan oleh Prof. Wiendu Nuryanti, PhD, selaku Wakil Menteri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dengan mengetuk palu, di hadapan lebih dari lima puluh Sastrawan Indonesia.
Hadir dalam upacara itu Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat, beberapa walikota dan bupati se-Sumbar, berbagai tokoh seperti Taufiq Abdullah, Hasan Basri Durin, Azwar Anas, dan lain-lain, sehingga Ketua DPD RI, Irman Gusman, yang hadir dan memberikan kata sambutan, berdecak kagum mengatakan bahwa ia belum pernah menghadiri suatu acara di Sumbar dengan kehadiran tokoh-tokoh masyarakat yang begitu lengkap seperti sekarang ini.
Bagi kehidupan Sastra Indonesia Modern yang masih sangat muda dan selalu redup ini, mungkin fenomena di atas menjadi lampu hijau yang menyala untuk kemudian akan melahirkan karya-karya besar.
***
*) Damiri Mahmud, sastrawan berdomisili di Medan.