Samsul Bahri *
Bali Post, 31 Maret 2013
SEJAK catatan Damar Juniarto mengenai “cacat” novel Laskar Pelangi dipublikasikan di jejaring komunitas Kompasiana pertengahan Februari lalu, para penikmat sastra di Indonesia gencar membicarakan karya Andrea Hirata yang memang sudah lebih dulu populer itu. Terlebih setelah novel itu diadaptasi menjadi film layar lebar garapan sutradara Riri Riza dengan judul yang sama. Tak kurang ratusan komentar menanggapi catatan tersebut.
Catatan berjudul “Laskar Pelangi Antara Klaim Andrea Hirata dan Fakta Sebenarnya” itu setidaknya menjelaskan dua hal yang paling sensitif; pertama mengenai sikap jumawa penulis Laskar Pelangi, Andrea Hirata, yang dalam sebuah wawancara menyebutkan bahwa; hampir seabad belum ada karya penulis (sastra) di Indonesia yang mendunia, kecuali setelah booming Laskar Pelangi (terjemahan Inggris: The Rainbow Troops) yang berhasil menembus pasar dunia dengan diterjemahkan ke dalam lebih dari dua puluh bahasa dan mendapat label international best seller. Klaim Andrea Hirata ini dinilai “mengerdilkan” peran para penggawa sastra Indonesia sebelumnya, semisal Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Remy Sylado juga Putu Wijaya yang karya-karya mereka telah lebih dulu membawa nama sastra Indonesia ke panggung dunia internasional dibanding Laskar Pelangi.
Kedua, mengenai kebenaran informasi yang diutarakan Andrea Hirata bahwa Tetralogi Laskar Pelangi (Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov) dicetak oleh penerbit Farrar Straus and Giroux (FSG), sebuah penerbit bergengsi di Amerika yang banyak menerbitkan novel karya penulis peraih nobel sastra dunia semisal Pablo Neruda, T.S. Elliot, Herman Hesse, Yasunari Kawabata dan sederet nama beken lainnya. Nyatanya, menurut Damar Juniarto, Laskar Pelangi bukan diterbitkan oleh FSG, melainkan oleh Sarah Crichton Books, imprint FSG yang lebih menekankan pada sisi komersial sebuah karya dan bukan mutu karya sastranya.
Pernyataan terkait penerbit FSG ini kemudian dibantah Andrea Hirata yang menganggap Damar Juniarto telah menyebar fitnah dan bermaksud menempuh terowongan hukum guna memperkarakan pernyataan Damar. Andrea Hirata menyatakan, dia benar-benar memiliki bukti hitam di atas putih mengenai kebenaran FSG yang menerbitkan Laskar Pelangi.
Di tengah “kecamuk” polemik tersebut, beberapa sastrawan turut menyumbang komentar, antara lain sastrawan Saut Situmorang yang menyatakan edisi bahasa Indonesia (tulisan asli penulisnya) memang jauh berbeda dengan edisi terjemahan. Edisi terjemahan memiliki kualitas lebih bagus ketimbang edisi aslinya. Itu artinya, menurut Saut, andil penerjemah dan editor edisi terjemahan sangat besar di dalam mengubah isi Laskar Pelangi. Ia menilai edisi Indonesia Laskar Pelangi buah tangan Andrea Hirata sendiri, kualitasnya tak seberapa bagus untuk disebut sebagai sebuah karya sastra berkelas.
Yang mengejutkan adalah dimunculkannya hasil posting catatan blog Win Wan Nur tahun 2008 berjudul Koreksi Linda Christanti: Laskar Pelangi di Ubud Writers and Readers. Catatan itu berisi curhat aktivis sastrawan Linda Christanti mengenai pencantuman komentar atas nama dirinya di sampul belakang buku ketiga Tetralogi Laskar Pelangi: Edensor. Di sampul belakang Edensor memang tertulis kutipan Linda Christanti: “Andrea Hirata membuat saya mabuk kepayang”. Suatu pernyataan menggelikan yang menurut Linda Christanti tidak pernah dinyatakan oleh dirinya melainkan dibuat sendiri oleh Andrea Hirata. Catatan blog pada momen Ubud Writers and Readers itu mengulas muasal munculnya kutipan Linda Christanti tersebut.
Medan Sebuah Karya
Inti dari kegamangan para pecinta sastra terkait Tetralogi Laskar Pelangi adalah bahwa booming Laskar Pelangi (pertama kali terbit tahun 2005 oleh Bentang Pustaka) sebetulnya tidak didukung oleh kualitas nilai sastranya, melainkan oleh gencarnya promosi, ditambah lagi setelah edisi adaptasi layar lebarnya dirilis (2008). Banyak yang meragukan kehandalan talenta Andrea Hirata sebagai penulis muda Indonesia, di hadapan misalkan para penulis muda Indonesia lainnya macam Eka Kurniawan (Cantik Itu Luka), Nukila Amal (Cala Ibi), Ayu Utami (Saman) dan Dinar Rahayu (Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch).
Masalahnya adalah mengapa sebuah karya macam Laskar Pelangi yang tidak banyak menarik perhatian para sastrawan untuk membahasnya tiba-tiba booming dan mendunia? Setiap tahun banyak karya muncul dari tangan para penulis, tapi mengapa Laskar Pelangi yang mendunia? Apa saja kondisi kemungkinan yang menjadikan Laskar Pelangi booming di antara sederet karya para penulis muda Indonesia berbakat lainnya?
Bagaimanapun, Laskar Pelangi dan tiga buku sekuelnya, tetaplah sebuah karya. Ia ditulis dari hasil kerja kreatif penulisnya. Konon ia menjadi bagian dari pengalaman pribadi penulisnya. Persoalan ini harus dilihat dalam kerangka medan sebuah karya. Istilah medan (field) saya pinjam dari Sosiolog Pierre Bourdieu dalam buku The Field of Cultural Production Essays on Art and Literature.
Lenyap atau bangkitnya sebuah karya di tengah jagat para pembaca tak lepas dari tarik menarik banyak medan kepentingan. Karena itu, sebuah karya (karya sastra) tak dapat berdiri sendiri. Ia didukung oleh kekuatan di luar dirinya. Kekuatan promosi misalnya. Eksis tidaknya sebuah karya sangat bergantung pada seberapa besar dia dapat meyakinkan pembaca bahwa karya ini “layak baca”. Tak jarang kita jumpai sebuah karya yang diberi komentar para tokoh publik, bahkan artis, di bagian sampul belakang buku. Selain itu, even semacam bedah buku, road show dialog penulis dan pembaca, pameran buku, resensi buku di media massa (apalagi jika diadaptasi ke dalam layar lebar), merupakan kanal-kanal yang dilalui oleh sebuah karya agar dapat diterima selera pembaca.
Bourdieu menyatakan bahwa selera kita sebenarnya dibentuk dan bukan sesuatu insting dari dalam diri. Selera adalah hasil konstruksi. Karena itu, tertarik tidaknya seseorang untuk membaca sebuah karya, pertama-tama tidak ditentukan oleh muatan mutu sebuah karya. Melainkan oleh hasil pencitraan atas muatan mutu karya tersebut.
Lantas berdosakah sebuah karya yang dicitrakan? Memang, selera pasarlah yang menentukan eksis tidaknya sebuah karya. Kita tak bisa sepenuhnya meratapi ganasnya logika bisnis dalam mendongkrak mutu citra sebuah karya. Kita tak juga harus menyesali bahwa hampir sebagian pembaca karya sastra di Indonesia lebih tertarik membaca karya yang menjulang karena didukung perangkat promosi yang canggih.
Sebagian orang mungkin nyinyir dengan kondisi ketika sebuah karya seni (seni sastra) harus lahir dan dibesarkan oleh kemauan pasar. Sebagaimana dulu Theodor Adorno dan Max Horkheimer mencemaskan derasnya arus budaya populer (mass culture) didukung kemajuan perangkat industrial dan pasar, yang mempengaruhi ruang lingkup karya seni. Tetapi kita tentu tak bisa mengelak dari kenyataan demikian. Laskar Pelangi lahir sebagai sebuah karya yang dibesarkan oleh selera pasar. Secara kebetulan ia telah berhasil menjadi sebuah karya yang mampu mengarungi kejamnya ombak persaingan dalam industri perbukuan di Indonesia dan juga di dunia.
*) Samsul Bahri, Alumnus Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Tinggal di Jembrana
Dijumput dari: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=15&id=74940