Ilham Wahyudi
radarbanten.com May 18, 2013
Seringkali hidup kita terus mengikuti alur pada cerita ‘klise’. Selalu meniru apa yang kita lihat dan rasakan pada awal mula hidup kita. Tapi, tak mau mencari tahu lebih dalam tentang apa yang kita tiru tersebut. Demikianlah kita selalu menjadi bebek pada barisan paling belakang. Terus mengikuti pejalan terdepan yang menciptakan lajur. Anehnya meskipun kita mengikuti arah yang salah, kalau tetap pada lajur kelompok maka kita tidak merasa ada masalah. Kepatuhan bulat-bulat terhadap yang salah itulah yang kemudian menjadi berbahaya. Begitulah kira-kira dunia yang kita ciptakan selama ini. Gejala-gejala tersebut demikian mewabah dalam berbagai bidang kehidupan. Mulai dari pola pikir sampai pada penciptaan kebahagiaan sekalipun, wabah ‘klise’ tersebut menyebar luas. Barangkali dunia inilah yang ingin diungkapkan oleh Arip Senjaya dalam novelnya ‘Kebahagiaan Kita Sekalian di Abad ini.’
“Sebagian teman kita adalah orang-orang yang hanya tertarik dengan apa yang salah dari apa yang sudah biasa, padahal mereka sudah biasa menambahkan kata ‘naif’ atau ‘bersahaja’ pada hal-hal yang mereka kritik. “ (hlm. 7—8)
Wabah ‘klise’ yang demikianlah membuat kita tidak mampu berbuat lebih bebas. Tindakan kita selalu terbelenggu dengan berbagai macam peniruan bulat-bulat. Bahkan seringkali kita mengikuti hal-hal yang belum jelas asal-usulnya. Seandainya pun kita disuruh membuat sebuah gambar tentang seekor bebek secara mendadak, maka gambar yang akan kita buat pastilah seekor bebek seperti angka 2 yang sedang berdiri menghadapkan moncongnya ke arah kiri. Gambar tentang bebek itulah belakangan diketahui sebagai gambar yang diajarkan kepada kita sewaktu kecil. Hal demikian hanya salah satu contoh dari apa yang kita lakukan selama ini. Kita selalu berusaha mengambil jalan yang dirasa aman dengan cara tidak menyimpang dari lajur pada umumnya.
Seringkali wabah ‘klise’ tersebut muncul bukan hanya karena kita ingin aman dengan cara tidak menyimpang dari lajur yang ada. Wabah ‘klise’ tersebut juga seringkali muncul akibat adanya peniruan terhadap fenomena menarik. Sekali lagi kita suka meniru hal-hal yang sedang ramai dibicarakan. Saat berpakaian misalnya, kita cenderung mengikuti mode yang sedang tren di pasaran. Begitulah novel ini membahas tentang pola pikir manusia yang cenderung mengikuti sesuatu.
“Kawanku itu rupanya sudah dimakan ketidakpercayaan pada mungkinnya pembangkitan kembali tiap-tiap penciptaan benda yang membuat Sang Hasil menjadi yang terbaca. Entah siapa memulai! Tapi aku pikir kita biasa makan wabah, dari apa pun yang sedang sangat elok.” (hlm. 18)
Dengan mengarahkan telunjuk narator (aku) ke arah kawan tersebut, pengarang berusaha membongkar hal-hal yang selama ini kawannya lakukan. Pada akhirnya gejala-gejala yang dilakukan oleh kawan dari tokoh aku tersebut menjadi gejala kita semua. Demikianlah novel ini menggambarkan sebuah dunia yang terjungkal yang selama ini kita diami.
Kebahagian melalui cinta memang sebagai gejala individual yang tidak dapat diramalkan. Akan tetapi, kebahagiaan cinta macam apakah yang selama ini kita inginkan? Jangan-jangan kebahagian yang selama ini kita inginkan juga merupakan kebahagiaan ‘klise’ dari proses meniru. Padahal jelaslah bahwa cinta merupakan gejala-gejala individual yang rumit dan pelik. Rumit karena cinta selalu berhubungan dengan segala macam hal yaitu suku, agama, ras, kewarganegaraan, dan bahkan jenis kelamin itu sendiri. Pelik karena cinta selalu terbelenggu dengan semua hal yang telah disebutkan di atas. Melalui kisah sang narator (aku) dengan si Eve ini secara tidak langsung pengarang mencoba bertanya kepada pembaca bahwa inikah dunia untuk kebahagiaan cinta yang kita inginkan? Melalui pernyataan sepasrah demikian, pengarang berusaha untuk menguak dan mencari-cari arti kebahagiaan. Barangkali pengarang pun mulai ragu tentang arti kebahagiaan yang ada.
“Aku menghayati kisah-kisah macam itu seakan manusia selalu dirundung satu rumus paralel yang ganjil: jika aku ingin bahagia, maka orang lain harus kubahagiakan juga. Apakah ini namanya kalau bukan bahasa kaum yang sama-sama bermental pengemis.” (hlm. 39)
Melalui gaya penceritaannya pun pengarang sudah mencoba menerobos segala macam ‘klise’ yang selama ini kita lakukan. Dengan gaya penceritaan yang rumit, pengarang mencoba untuk abai terhadap pembaca yang selama ini bisa dikatakan sebagai raja. Barangkali memang para penulis prosa khususnya di Indonesia selama ini saat menulis selalu membayangkan pembaca yang akan mengkonsumsi aksara dalam kedai mereka. Apa lagi para penulis prosa (cerpen) untuk koran-koran Minggu. Mereka berusaha untuk memasak cerita sesuai dengan selera redaktur, menyuguhinya dengan tampilan yang biasa disukai oleh redaktur, dan berusaha untuk abai terhadap diri mereka sendiri sebagai koki dalam kedai yang mereka bangun. Tentu saja dengan harapan agar para redaktur mau untuk kembali mencicipi masakan yang mereka buat. Dengan begitu, kemungkinan-kemungkinan estetika yang akan muncul bisa terpendam dalam-dalam.
Dengan demikian, dunia yang selama ini kita tempati adalah dunia yang cenderung ‘klise’. Kita tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah karena kita hanya mengikuti segala macam wabah ‘klise’ tanpa menelusuri lebih dalam tentang asal-usulnya. Pada akhirnya novel ini menguak sebuah pola pikir manusia, kemudian mengajak kita untuk kembali merenungkan hal tersebut jauh lebih dalam tanpa pola pikir ‘klise’.
Cilegon, 2013
*) Ilham Wahyudi, lahir di Serang pada tanggal 11 November 1990. Sekarang tinggal di Kota Cilegon. Tercatat sebagai mahasiswa S1 program studi Pendidikan Seni, Sastra, dan Bahasa Indonesia di Untirta (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa), Banten. Aktif terlibat dalam diskusi rutin Kubah Budaya (Komunitas Untuk Perubahan Budaya) dan Belistra.
Dijumput dari: http://www.radarbanten.com/read/berita/140/11222/Dunia-yang-Klise.html