MELUPAKAN JAKARTA? TAWARAN SASTRA DARI (TEPI) SUMATRA

Ragdi F. Daye
ragdifdaye.multiply.com, 11 April 2007

Riau tak ubahnya replika Indonesia dalam soal keragaman etnis atau subkultur masyarakatnya, seperti juga Jakarta dan Yogya. Di daerah ini hidup masyarakat etnis Minangkabau, Jawa, Batak, Banjar, Bugis, Cina, dan lainnya yang memberi warna pluralitas atas dominasi budaya Melayu. Bila Malaysia bisa dengan percaya diri mengklaim diri sebagai truly Asia, Riau sebagai daerah yang bahasanya merupakan induk dari bahasa Indonesia, masih terkesan malu-malu menampilkan diri sebagai salah satu puncak budaya Indonesia, termasuk dalam sastra.

Apakah karena jemu akan romantisme masa lalu sehingga terkesan melupa pada buah cipta anak Melayu yang begitu terkenal seperti gurindam dan hikayat serta tarian zapin yang mengingatkan rentak. Seperti bertakzim pada penjuru lain yang disyahkan sebagai acuan, yang menyebabkan lunturnya cinta dan bangga pada keunggulan yang dimiliki. Atau karena nasib sebagai orang yang dikalahkan berulang-ulang menyebabkan ciut untuk menegakkan kepala merasa sama tinggi.

Sungguh, tak sedikit sebenarnya cemburu saya pada Riau, dengan potensi keragaman yang dimilikinya, lahan sastranya berharapan tumbuh subur karena didukung oleh ‘pengairan’ dan ‘pupuk’ yang lebih dari cukup di samping bibit-bibit yang baik. Sebagai bandingan, Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) memiliki anggaran belanja pertahun tak sampai 100 juta rupiah, sedangkan Dewan Kesenian Riau (DKR) dari informasi yang saya simak mendapat kucuran dana APBD 6 miliar setahun. Dengan dana sebesar itu, sudah tentu bisa dibayangkan lahan yang kritis pun dapat diupayakan menjadi subur. Maka tak ayal, insan seni dan sastra di Riau dapat menggelar iven-iven akbar seperti festival Melayu, mengadakan Kongres Cerpen, Lomba Menulis Cerpen tingkat nasional dan menerbitkan buku karya sastrawan setempat. Sangat berbeda dengan di Sumbar, lebih khusus di Padang, untuk sekedar mengadakan diskusi sastra atau jumpa pengarang saja DKSB sudah kelimpungan, boro-boro menerbitkan buku walaupun secara kuantitas cukup banyak penggiat sastra yang karyanya layak dibukukan.

Begitupun dengan media massa, Riau memiliki media-media yang apresiatif terhadap dunia sastra, seperti Riau Pos, Riau Mandiri, Riau Tribune, majalah Sagang, majalah seni Berdaulat, dan lain-lain, bahkan Riau Pos sudah dapat menjalankan tradisi menerbitkan buku kumpulan karya (cerpen, puisi, dan esai) pilihan setiap tahunnya. Alangkah hebatnya. Sedikit banyak hal itu telah menjadi tindakan konkret untuk melepaskan diri dari bayang-bayang hegemoni Jakarta sebagai pusat dan sekaligus puncak kebudayaan yang dijadikan ukuran.

Semangat desentralisasi dengan upaya-upaya menawarkan alternatif lain atas hegemoni pusat Jakarta, terutama atas ‘kekuasaan’ Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dengan Taman Ismail Marzuki (TIM)-nya dan majalah sastra Horison sejak awal 1990-an telah menyebabkan kekuatan dan potensi sastra Indonesia tidak lagi terpusat di Jakarta. Konstelasi sastra Indonesia terpecah (terdekonstruksi) ke dalam kelompok-kelompok besar dan kecil yang masing-masing menyumbangkan sekaligus mencoba mempengaruhi perkembangan serta kecenderungan estetik sastra Indonesia kontemporer (Herfanda, 2005). Komunitas-komunitas berusaha mengimbangi dominasi DKJ, sedangkan majalah sastra Horison dibendung dengan munculnya ruang-ruang sastra-budaya di surat-surat kabar yang menimbulkan jenis sastra koran.

Setelah tahun 1990, di luar Jakarta mulai muncul dan berkembang komunitas-komunitas sastra seperti Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) oleh Kusprihyanto Nama (Ngawi) dan Beno Siang Pamungkas (Semarang), Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ) yang dimotori Korrie Layun Rampan dan Slamet Sukirnanto, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Jabotabek yang dimotori Wowok Hesti Prabowo dkk, Komunitas Gorong-gorong di Depok yang dimotori Sitok Srengenge, Teater Utan Kayu (TUK) di Jakarta yang dimotori Gunawan Mohamad, Forum Lingkar Pena yang dimotori Helvy Tiana Rosa, Yayasan Multimedia Sastra (YMS) yang dimotori Medy Loekito dkk, Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY) oleh Puthut EA dkk, Komunitas Rumahlebah oleh Raudal Tanjung Banua, komunitas Rumah Dunia yang dimotori Gola Gong, dan banyak lagi komunitas-komunitas di berbagai daerah di Indonesia.

Gerakan ini dapat dihubungkan dengan tuntutan untuk bersuara nyaring, hadir tidak sekadar sebagai tanggung jawab sosial, tetapi juga sebagai sebuah perjuangan sosio-kultural (Mahayana, 2005). Kesadaran kultural, sikap kebertanggungjawaban sosial, dan ingatan kolektif atas sejarah masa lalu mendasari gerakan melepaskan diri dari dominasi pusat (Jakarta) atau usaha merumuskan kembali identitas yang lepas dari hegemoni pusat. Di sana, tak dapat disembunyikan adanya semangat menggelegak dari perasaan kolektif luka yang terkoyak. Semangat itulah yang dapat menjadi pijakan ketika daerah-daerah mencoba menunjukkan eksistensinya, yakni dengan mendirikan komunitas sastra yang memiliki langgam kreativitas sendiri serta menerbitkan ruang sastra di media yang tak takluk pada koran-koran nasional keluaran Jakarta.

Itu juga yang terjadi di Sumatra, lebih khusus lagi Riau. Adanya berbagai ruang sastra di koran dan majalah yang dikelola secara apresiatif telah melepaskan opini publik bahwa pusat adalah ukuran mutlak. Penerbitan buku kumpulan karya pilihan Riau Pos oleh Yayasan Sagang setiap tahun seperti Seikat Dongeng Tentang Wanita (2004) dan Tafsir Luka (2005), setidak-tidaknya telah memberi warna konstelasi sastra (di Riau). Begitupun acara Kongres Cerpen Indonesia yang digelar di Pekanbaru akhir tahun 2005 yang mengusung wacana lokalitas dan dihadiri oleh pembicara dan peserta dari berbagai daerah di Indonesia memperlihatkan bahwa daerah pun mempunyai kontribusi terhadap perkembangan sastra.

Hanya saja, seperti yang saya tulis di awal tulisan, sepertinya Riau masih malu-malu atau setengah hati untuk tampil sebagai salah satu puncak sastra Indonesia. Dalam kata pengantar buku Tafsir Luka, secara tersamar Hary B. Kori’un menyampaikan bahwa upaya penerbitan buku karya pilihan Riau Pos bukanlah sebuah langkah genit untuk menyaingi harian Kompas, atau hendak berlagak sok bahwa karya dari daerah pun sebanding dengan keluaran Jakarta. Upaya ini lebih bertujuan untuk mengganti Jakarta sebagai kiblat tunggal sebab sebenarnya Indonesia yang luas dan besar ini terdiri atas puncak-puncak. Oleh karena itu sudah sepantasnya selain Jakarta ada titik-titik puncak atau pusat-pusat kebudayaan (dan sastra) lain, seperti Yogyakarta, Denpasar, Bandung, Makassar, Tanjungkarang, Tangerang, Banjar, Lampung, Padang, juga Pekanbaru.

Daerah-daerah di Pulau Sumatra sendiri berpeluang menjadi puncak-pusat aktivitas sastra dengan corak dan dinamika yang khas dan mandiri. Di tahun 2000-an ini, Lampung tampak pesat memasok penggiat-penggiat sastra dengan munculnya sejumlah nama-nama baru produktif berkelahiran tahun 1980-an. Aceh, meski sempat porak-poranda dihantam tsunami tetap eksis kegiatan sastranya seperti pada Komunitas Tikarpandan yang dikelola oleh cerpenis muda Azhari. Sementara Padang, yang pernah lekat dalam memori kolektif Indonesia sebagai gudang sastrawan, masih memberi harapan melahirkan sastrawan-sastrawan baru walau belum begitu mampu menciptakan iklim yang cerah untuk tampil sebagai sebuah puncak sastra. Padang masih berjuang untuk tetap tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan karena bidang seni-budaya masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah menyebabkan para aktifisnya terpaksa berkeringat darah agar bisa bertahan hidup sambil terus mengembangkan kreativitas, sementara media yang ada, kalaupun redakturnya cukup apresiatif, namun tak bernyali menghadapi tuntutan kapitalisme yang mencengkram perusahaan sehingga tak sangup menghargai karya secara pantas apalagi menerbitkan karya-karya terbaik. Pekanbaru (Riau) mungkin bisa diharapkan, adanya kekompakan antara penggiat sastra, pemerintah (diwakili oleh dewan kesenian), dan media di daerah ini merupakan modal besar yang tak bisa diremehkan.

Puncak sastra di daerah setidaknya akan memberikan alternatif terhadap pencapaian di pusat. Ketika sastra Indonesia diguncang oleh tren sastra seksis, teenlit dan chicklit, atau mungkin juga fiksi islami, daerah yang memiliki orientasi sastra kuat tentu tak bergeming, seperti yang ditemukan dalam karya-karya di media massa Padang atau Pekanbaru. Karena itu memang tak salah bila daerah dengan percaya diri menampilkan identitas dirinya tanpa perlu harus meniru pusat. Namun ini bukan menyarankan untuk menghentikan proses pengamatan sebagai langkah studi agar tak menjadi katak dalam tempurung.

Ada yang menyatakan bahwa akhir-akhir ini Indonesia hanya menghasilkan karya-karya sastra kelas dua (Mujiarso, 2005), yakni karya sastra yang kehilangan nyali dan akhirnya menyerah pada tuntutan instan komodifikasi, sehingga tergagap-gagap mengais tema-tema “ganjil”, “sensitif” dan menjadikannya sebagai nilai jual. Sebuah tema tertentu ditonjolkan bukan untuk kepentingan eksplorasi bagi yang bersangkutan, melainkan hanya untuk dijual dengan harga murah, seperti tema seksualitas.

Apabila dirunut ke jati diri, kita adalah orang Timur yang dipandang sebagai sumber kearifan. Akan tetapi yang terjadi dalam sastra belakangan ini tak menunjukkan identitas tersebut. Karya sastra Indonesia telah tak Timur namun tak pula Barat; mengambang. Berbeda sekali dengan sastra di negara tetangga, Malaysia, yang mempunyai orientasi yang jelas dan kuat. Memang, untuk menyatukan arah sastra Indonesia dalam sebuah ketentuan akan sulit karena pluralitas itu, contoh dekat terjadi dalam polemik RUU APP. Namun apabila tak ada pijakan pondasi yang jelas, karya sastra Indonesia akan kehilangan identitas dan hanya hanyut ke mana tren membawa.

Budi Darma dalam sebuah seminar di Surabaya mengatakan bahwa sastra kita sebaiknya punya jatidiri seperti Malaysia, yakni akarnya jelas: tradisinya berbasis agama Islam, sedang modernitasnya berbasis moral (dalam Daery, 2005). Budi Darma bahkan mengkritik sastra Indonesia yang kini tidak punya jatidiri, Islam/agamis tidak, modern berbasis moral juga tidak. Akibatnya karya-karya yang memenuhi halaman-halaman sastra koran Indonesia pada umumnya hanyalah karya absurd, jungkirbalik tapi tidak punya moral, bahkan membuat seks dan pornografi sebagai ‘mainan literer’.

Maka dari itu, sangat baik bila daerah mulai menyadari bahwa tak sepatutnya mematok arah pada Jakarta (pusat) semata, sebab daerah juga mempunyai identitas dan kekayaan estetis yang tak kurang tingginya, tentu saja didukung oleh kegigihan menggali segenap potensi dan meningkatkan kualitasnya secara mandiri. Riau sepertinya mampu untuk itu, setidaknya Riau Pos telah membuktikan lewat buku dan komitmennya.
***

*) Bergiat di Komunitas Ilalangsenja Padang.

Bahasa »