Sastra (Media) untuk Pembangunan Karakter Bangsa

David ZA *
Bali Post, 12 Mei 2013

MENYIKAPI tulisan saudara Arif Bagus Prasetyo (Bali Post, 17 Maret 2013) nampak bahwa kecenderungan saudara Arif Bagus Parsetyo akan kesangsian dari sastra untuk pembangunan karakter bangsa. Terlebih ketika di paragraf akhir ketika saudara Arif Bagus menulis “Saya sulit membayangkan sastra dapat dimanfaatkan perannya secara sehat dan wajar dalam proyek pembangunan karakter bangsa. Ada banyak masalah di sana. Jika sastra terus menerus memulihkan kesadaran saya, bagi saya itu sudah lebih dari cukup”.

Kenapa pesimis akan fungsi sastra? Mengapa hanya mengambil peran terendah dari karya sastra yang hanya memulihkan kesadaran? Kenapa tidak mengambil fungsi tertinggi dari sastra yang dia adalah memanusiakan manusia dan jembatan kebenaran? Meminjam istilah dari Martin Heiddeger ”language is the house of Being”. Karena kata, bahasa, dan susastra adalah rumah tanda. Dari rumah tanda adalah cikal bakal rumah kehidupan. Jangan lupa! Berdirinya Negara Israel dan bangkitnya kaum Yahudi, terinspirasi dari sebuah karya sastra karangan Theodoe Herzl yang berjudul “der Judenstaat” (Negara Yahudi).

Sastra tetap perlu diperhitungkan sebagai media untuk pembangunan karakter bangsa. Tentu saja selain dari aturan aturan hukum, keteladanan, norma, sastra memiliki peran yang tidak perlu dikesampingkan dan tidak bisa dipandang sebelah mata, walaupun dalam kenyataannya, di negeri ini sastra adalah sesuatu yang dikesampingkan dan dipandang sebelah mata.

Tidak hanya oleh pemerintah, namun sebagian besar masyarakat kita memandang sebelah mata. Lihatlah bagaiamana posisi tawar para penulis buku dan sastrawan di negeri ini? Tidak keren. Coba tanya anak remaja di sekitar kita, mungkin bisa dihitung dengan jari di antara mereka yang ingin jadi penulis, lebih lebih ketika ditanya yang ingin menjadi spesialis puisi semacam WS Rendra. Apakah sebanyak yang ingin jadi penyanyi hasil olahan pencarian bakat?, atau malah tidak ada. Tengok juga perbandingan jumlah pengunjung acara bedah buku sastra dengan acara konser musik. Terlihat jelas kalau kuantitas jumlah pengunjungnya sangat timpang.

Miris memang melihat realita ini, namun itulah kenyataannya. Hal ideal mengenai sastra di negeri ini bagaikan mencari jarum di antara jerami. Sulit dan terkesan mustahil. Tetapi sesuatu yang baik tetap perlu diperjuangkan, masalah hasil biarlah itu waktu yang menjawab.

Sastra memiliki keunggulan dalam masalah penyampainnya yang massif. Bagi penulis sastra, tulisan mereka merupakan jendela jiwa bagi mereka untuk mengapresiasi sisi lain dari jiwa mereka. Sehingga banyak tokoh tokoh besar yang membahasakan kelembutan jiwa dan kepekaan nurani mereka melalui guratan guratan puisi. Tentu saja tidak hanya masalah kelembutan, puisi dan satra juga mengajarkan keberanian. Maka tidak heran seorang Umar bin Khattab pernah berkata” ajarkan puisi pada anakmu, karna sastra dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani”.

Di kubu yang lain, Parta Chajertee seorang pemikir India, dan Reynaldo Ileto seorang pemikir Filipina mengakarkan nasionalisme bukan (hanya) pada mesiu, perundingan, perundingan barat, dan kapitalisme percetakan (printa capitalism), melainkan pada emosi Dionsiyan (passion) yang dipancarkan puisi dan daya kata (Chaterjee 1986; ileto 1989). Sehingga Kuntowijoyo juga mengatakan “Melawan mitos adalah dengan ilmu pengetahuan, karya sastra, dan tentu saja dengan agama”.

Karakter

Bukan sastra itu yang menjadi Pembangun karakter bangsa, tetapi sastra sebagai media pembangun karakter bangsa. Tetapi pemikiran di belakang karya sastra itulah yang diperhitungkan. Sama seperti acara TV saat ini, TV hanyalah media netral, namun tangan tangan dan kekuasaan di belakang media itulah yang membuat TV nampak menjadi brutal. Bisa dilihat dari tayangan yang menghiasai TV sehari hari. Kekerasan, materialisme, pornografi, korupsi dan segudang kebobrokan tayangan berita yang kurang etis namun laris manis, itulah yang diburu, bukankah itu prinsip utama kuasa kapitalisme. Yang menghasilkan itulah yang diutamakan. Masalah norma, etika, moral bagaimana? itu bisa dipinggirkan dulu untuk keadaan di negeri ini.

Jikalau pikiran yang di belakang satra itu baik. Maka satra itu akan menjadi penyalur kebaikan yang terpancar dari pemikiran sang sastrawan yang kemudian tergurat dalam pahatan pahatan karya sastra. Siapa yang menyangkal akan keindahan dan pesan pesan bijak dari tulisan tulisan Leo Tolstoy, Goethe, dan Rumi? Dunia pun mengakui akan pesan pesan bijak dari karya mereka.

Tidak usah juga ditanyakan bagaiamana efek tulisan karya sastra yang dimuati tendensi negatif penulisnya. Karya sastra Niccolo Machiavelli yang berjudul “Sang Penguasa”, menjadi inspirasi bagi diktator kelas wahid semacam Mussollini untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.

Menanggapi juga kekhawatiran Arif Bagus akan pendiskriminasian karya satra tertentu. Saya kira itu sudah menjadi risiko dan pilihan. Jikalau memang tidak siap dengan risiko karya kita yang dibredel karena monopoli penguasa , ya sudah, tidak usah menerjunkan diri jadi penulis atau sastrawan. Tentu masih terekam dalam sejarah tentang perjuangan seorang Parmoedya Ananta Toer yang sebagian besar umurnya hidup di tahanan dan pengasingan. Tapi beliau tetap menulis dan selalu menulis. Pak Hatta juga yang saat diasingkan tapi beliau tetap menulis, dan tidak mandul berkarya. Begitu juga dengan Hamka yang saat di penjara, malah menghasilkan karya monumentalnya. Semua berkarya. Semua melegenda. Mungkin mereka semua sudah tiada, namun karya karya mereka masih bisa ditemui dalam lembaran lembaran tulisan hasil pemikiran mereka.

Sastra hanya media. Di belakang media itulah yang perlu diperhitungkan. Apakah bersifat membangun karakter bangsa? Ataukah hanya merusak jiwa insan bangsa.

*) David ZA, Universitas Negeri Jember.
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaindex&kid=18&id=76020