Romansa Perjalanan Esai
Raudal Tanjung Banua
Bali Post, 21 April 2013
ANDA tentu pernah mendengar nama Tapanuli. Namun ini merujuk wilayah yang sangat luas di kawasan Sumatera Utara, tepatnya di pantai barat hingga ke perbatasan Danau Toba. Mulai dari Natal dan Sidempuan di selatan (berbatasan dengan Sumatera Barat), Sigolga dan Barus di utara (berbatasan dengan Aceh), sampai Tarutung dan Balige di pegunungan. Di kawasan ini menyebar sejumlah etnis, yang utama tentu saja Batak dan Mandailiang, selain Nias, Minang, Aceh dan seterusnya.
Tapi tahukah Anda asal kaat Tapanuli? Akan kita jawab nanti.
KETIKA ERA OTONOMI membuka pintu, daerah-daerah di kawasan Tapanuli sempat menyatukan diri hendak membentuk propinsi sendiri, terpisah dari Sumatera Utara. Calon ibu kotanya Sibolga atau Tarutung. Namun harapan tersebut kandas saat massa yang tak sabar merangsek gedung DPRD Sumut dan menewaskan sang ketua dewan.
Tapanuli dilewati Jalan Lintas Sumatera yang kondisinya rusak parah. Sementara truk pengangkut sawit melintas setiap saat. Meskipun demikian, menyusuri Tapanuli mata kita dimanjakan oleh panorama alam yang indah: sungai, sawah dan perbukitan. Pula, kampung-kampung yang bersahaja terlihat bersahabat: pasar tumpah di sebuah pekan, bapak-bapak duduk di lepo tuak, ibu-ibu di depan rumah, serta babi-babi yang mencari makan di tepi jalan. Babi merupakan hewan ternak lain yang banyak dipelihara masyarakat Tapanuli. Maklum, selain beragama Islam, sebagian penduduk Tapanuli beragama Kristen. Karenanya, masjid dan gereja terlihat silih-berganti, atau bisa pula dilihat dari keadaan makam penduduk.
ANTARA makam yang bernisan bulan-bintang dan makam bertanda salib, lengkap dengan patung sang mendiang, gampang ditemukan di tiap sudut kampung. Orang Kristen di Batak biasa membuatkan patung orang meninggal dengan berbagai ekspresi, kemudian ditarok di samping atau di atas makam. Patung-patung itu mencerminkan profesi mereka ketika hidup, misalnya, jika petani, maka dibuatkan patung orang bercaping menyandang cangkul; atau perempuan dengan ulos-nya, guru dengan tasnya, dan seterusnya. Selain bernilai memorial, juga unik. Makam mereka pun terbilang besar-besar, sementara gereja lebih terlihat sederhana, beda dengan Minahasa di mana banyak gereja besar dan megah.
KEBERAGAMAN memang menjadi identitas yang melekat dengan Tapanuli, realitas, sehari-hari yang tidak sekalipun memunculkan pertentangan apalagi konflik terbuka. Secara historis, Islam masuk ke Tapanuli semenjak abad ke-7 dengan pelabuhan Barus atau Singkil (yang sekarang masuk Provinsi Aceh), kemudian diperkuat ketika era Perang Padri pimpinan Imam Bonjol. Kristen masuk setelahnya, dengan Nomansen sebagai misionaris terkenal yang sekarang memunculkan Gereja HKBP. Hal yang tak kalah unik, di acara kampung seperti mantenan, jamak kita lihat karangan bunga ucapan selamat dalam ukuran besar-besar.
SETELAH MELEWATI JALAN yang rusak, sampailah saya di Kecamatan Tapian Nauli yang berbatasan langsung dengan Kota Sibolga. Ya, tapian nauli dalam Bahasa Batak berarti tepian yang cantik. Ternyata dari kecamatan kecil inilah nama Tapanuli berasal. Sesuai namanya. Tapian Nauli memang cantik dengan lengkung tekuk di bibir Samudera Indonesia.
Tentu kurang afdol jika saya tak meneruskan perjalanan ke Sibolga. Sebab Sibolga merupakan salah satu kota penting di bekas Karesidenan Tapanuli, bahkan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera. Kota ini hanya memiliki luas 45 km persegi dengan penduduk sekitar 95.185 jiwa. Di samping laut, Sibolga juga diapit Bukit Barisan. Alhasil, tata ruang kota ini hanya memanjang dari utara ke selatan sepanjang tak lebih 12 km.
Kantor Wali Kota Sibolga berdiri anggun dan terkesan sederhana. Tak jauh dari situ, terpisah oleh sebuah jembatan pendek yang antik, terdapat kantor Polresta yang memiliki sebuah prasasti bertulisan nama-nama pendiri Sibolga.
Sibolga merupakan kota bersejarah. Letaknya yang strategis di pantai barat Sumatera, menghadap Pulau Nias di Samudera Indonesia, menjadikannya pelabuhan penting sejak zaman Belanda. Sibolga bahkan mampu mengimbangi Medan yang kaya akan perkebunan di pantai timur. Selain pintu masuk ke Nias, Sibolga juga gerbang ke pedalaman. Tapanuli lewat seutas jalan mendaki ke Tarutung, terus ke Balige.
SIBOLGA memiliki lengkung teluk yang luas sehingga sanggup menampung kapal berbagai jenis. Mulai kapal penumpang ke Nias dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Poncan Gadang, Poncan Ketek, Sarudik dan Pulau Panjang. Ada pun Pulau Mursala yang terkenal dengan air terjunnya yang digencar dikembangkan sebagai tujuan wisata. Sibolga juga disinggahi kapal Pelni ke segala jurusan. Tak ketinggalan kapal barang dan ekspedisi.
Pada zaman Perang Dunia II, kapal perang dan kapal selam Dai Nippon bersiaga di Sibolga. Tapi seiring surutnya pelayaran pantai barat, peran Sibolga seolah diambil alih oleh Medan yang ramai di Selat Malaka. Tinggallah Sibolga menjadi kota tua yang susah payah merengkuh sisa kejayaan pelabuhan lautnya. Susutnya peran Sibolga, menjadi pertanda susutnya peran Tapanuli dalam percaturan social, politik dan ekonomi. Sekaligus simbol dari mati surinya pelayaran pantai barat, dan pada akhirnya menunjukkan kegagalan kita sebagai bangsa maritime membangun peradaban samudera.
***
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=18&id=75455