Wijaya Hardiati *
Menjadi ibu itu sebuah karir, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, sepanjang tahun, sepanjang hidup. Tiada cuti, tiada gaji, tiada bonus, tiada uang lembur, tiada tunjangan, dan kadang tak dihargai. Namun saya bahagia serta bangga, tersebab surat tugasnya langsung ditandatangani oleh-Nya.
27 Juni 2000, saya mulai karir sebagai ibu untuk buah hati saya yang pertama, bernama Zinedine Zidney Arrad-Mizan. Lahir lewat operasi caesar, dengan berat lahir 1,7 kg. Dia tumbuh di antara kondisi perekonomian keluarga kami yang boleh dikata kekurangan. Hidup di rumah kontrakan sederhana, tak ada TV, tak ada tempat tidur, bahkan lemari pakaian kami memanfaatkan kardus bekas yang dibeli dari pasar loak. Sekuat daya, saya dan suami berusaha membuat hari-hari bisa ceriakan anak, seperti keluarga lainnya.
Malam sebelum tidur, bapaknya selalu mendongeng cerita boneka yang diadaptasi dari acara TV Teletubbies, dan diberi judul Teddy dan Po. Suatu malam, di antara riuh suara hujan di luar rumah, seperti biasa suami bercerita tentang Teddy si boneka beruang dan Po si boneka tubbies. Di ceritakan dalam kisah itu, Po tak sengaja temukan jam raksasa di tepi hutan. Di guyur hujan deras disertai angin kencang, sendirian Po kecil berusaha sekuat tenaga bawa pulang jam raksasa. Langkahnya tertatih bawa beban di punggung yang jauh lebih berat, sedari berat tubuhnya sendiri.
“Aduuhh, berat sekali!” keluh Po berkali-kali. Tiba-tiba Zidney beranjak dari duduknya, lalu dengan cekatan tangannya ambil alih jam itu. “Aku bantu ya Po, biar tidak berat” kata Zidney dengan pandangan penuh iba. Seketika bapaknya berseru, “Loh kakak, jangan dibantu! Biar Po berusaha sendiri. Nanti ceritanya langsung bubar dong kalau jamnya sudah berhasil dibawa sampai rumah Po.” “Nggak apa, Po kan masih kecil. Kasihan dia sendirian kehujanan.” Zidney bersikeras membantu Po, lalu menyelimuti tubuh boneka kecil itu. “Lain kali tak boleh diulangi lagi ya Po. Kalau pergi pulangnya harus tepat waktu, dan jangan ambil barang yang bukan milikmu!” katanya sambil mengelus kepala Po.
Saya terharu. Diam-diam ada perasaan bersalah menyeruak di hati. Teringat sebuah bola plastik yang saya temukan tergeletak begitu saja di depan rumah kosong, beberapa blok dari kontrakan kami, sebelum kejadian itu. Saya mengambilnya, dan memberikannya pada Zidney. Tapi dia menggeleng kuat-kuat, menolak benda bulat yang biasa jadi mainan favoritnya. Rupanya dia sudah paham, bola itu bukan miliknya, jadi tak mau menerimanya. Kemudian hati saya tiba-tiba gerimis, seperti hujan di luar rumah malam itu. Maafkan ibu, anakku. Tak akan lagi terjadi peristiwa serupa bola plastik itu. Walau tak punya banyak uang, tak ada alasan mengambil apapun yang bukan hak kita.
Ketika umur Zidney 3 bulan, saya hamil anak kedua. Menurut dokter, kelak jika lahir harus melalui operasi caesar juga, karena kelahiran pertama dengan operasi, dan jarak kehamilan belum ada 2 tahun. Antara sedih-senang kami terima kabar itu. Senang karena sebentar lagi ada si kecil baru yang menambah ceria suasana rumah. Sedih karena jujur waktu itu belum tahu bagaimana mencari uang untuk biaya persalinan caesar si calon adik. Setiap hari saya dan suami berikhtiar mencari dana dengan menghubungi segenap keluarga. Tapi sampai kehamilan berjalan 7 bulan, hasilnya nihil.
Akhirnya suatu hari merasa perut saya mulas-mulas, dan ketika diperiksakan ke dokter, ternyata si adik sudah siap lahir. Dengan hanya bawa uang hasil menabung, 500 ribu rupiah, kami berangkat ke RSUD Dr. Soejono. Begitu selesai diperiksa seperlunya, perawat langsung beri informasi bahwa saya harus dioperasi caesar dan disuruh menyiapkan uang 5 juta rupiah. Kami hanya bisa pasrah dan terus memohon kepada Allah untuk memudahkan jalan bagi kelahiran anak kedua.
Ternyata benar, disaat semua jalan terlihat buntu, saat itulah pertolongan Allah datang. Tepat jam 19.00 tanggal 19 Mei 2001, anak kedua kami lahir dengan berbagai keajaiban. Karena ukurannya kecil (berat lahir 1,6 kg) dokter memutuskan melakukan persalinan normal. Dengan melampirkan Surat Keterangan Gakin dari kelurahan, biaya persalinan hanya sebesar 81 ribu rupiah. Malam itu sempurnalah kebahagian atas kelahiran bayi cantik, putri kedua yang kami beri nama Niswana Salsabila Arrad-Mizan.
Begitulah kedua anak saya mempunyai kondisi lahir yang sama premature. Karena usia mereka cuma selisih 11 bulan, cukup menguras tenaga dan pikiran dalam pengasuhannya. Suatu siang saat bapaknya kerja di kantor, seperti biasa saya asuh kedua anak sambil menyetrika baju. Lala yang waktu itu berusia 8 bulan, tiba-tiba bergelayutan di pundak saya, seperti sedang mencari pegangan untuk berdiri. Orang Jawa menyebut trantanan. Karena sedang sibuk dan merasa gerak terbatas oleh pundak dipegangi seperti itu, dengan kasar sambil mengomel, saya tepis tangan Lala, “Adik, jangan ganggu. Ibu lagi sibuk. Adik jangan pegangan pundak seperti itu. Ayo duduk!”
Serta-merta badan Lala terhempas ke lantai, duduk. Tapi dia tak menangis, malah berusaha berdiri berpegangan pundak lagi. Tentu saya jengkel dan membentak lebih keras. Lala tetap tak mau menyerah meraih badan saya. Tiba-tiba Zidney memegang tangan adiknya, berkata, “Sini dik, pegangan pundak kakak saja. Nanti kakak ajarin main puzzle ya!” sambil matanya tetap memilih-milih kepingan puzzle.
Sontak saya tersentuh, seperti ada serpihan kaca menggores hati. Buru-buru hentikan aktifitas nyetrika baju. Saya tatap kedua buah hati dalam-dalam. Masyaallah, si kakak ini sedang asyik bermain puzzle, tapi sama sekali tak merasa terganggu ulah adiknya. Sementara saya ibunya, dengan tega menghempaskan tubuh kecil itu dengan dalih tak bebas bergerak karena nyetrika baju. Sungguh saya menyesal sekaligus malu. Zidney baru berumur 2 tahun, jauh lebih sabar daripada saya. Tak terasa air mata mengalir tak tertahankan. “Maafkan ibu ya Dik Lala. Maaf.” Saya peluk erat-erat Lala, sambil menyeka air mata. Dalam hati berjanji, esok hari dan seterusnya akan bangun lebih awal, memulai aktifitas rumah pagi-pagi sebelum anak-anak bangun, sehingga siangnya hanya menemani mereka bermain.
Pada umur 3 tahun Zidney, saya daftarkan masuk play group. Berharap cepat mandiri, sehingga saya bisa fokus merawat adiknya sambil mengerjakan kegiatan rumah. Tapi apa yang saya temui ketika hari-hari awal menunggui Zidney di sekolah? Dia tak mau berpisah dengan saya. Begitu saya tak terlihat, dia langsung menangis mencari-cari. Dan ketakutan jika pintu kelasnya ditutup oleh guru. Dari kejadian ini, saya introspeksi. Ternyata pola asuh yang mungkin terlalu disiplin, membuat Zidney tertekan. Dia tak ekpresif serupa teman-temannya, pun terlihat takut berbuat salah. Sedih meyadari ini, setelah itu saya tak lagi terlalu menerapkan disiplin pada anak. Setiap membuat keputusan, selalu melibatkan mereka memilih beberapa opsi. Kemudian, berangsur-angsur berubah ceria lagi, seperti teman-temannya.
Ini terlihat saat Zidney masuk SD. Kata wali kelasnya, dia punya sosialisasi bagus. Hampir semua anak kelas 1 dikenalnya, bahkan sebagian kakak kelas juga. Tapi kebiasaannya selalu banyak gerak, kadang membuat guru-gurunya kewalahan. Saat istirahat pun dalam kelas, senantiasa tak mau diam, berjalan ke sana-sini tak kenal lelah. Juga tak pernah mau disuruh menulis oleh gurunya. Setiap pulang sekolah, saat saya periksa buku tulisnya, lelembarannya kosong tanpa coretan sedikit pun. Sudah diimingi berbagai hadiah supaya mau menulis, tetap tak berhasil. Ini berlangsung beberapa bulan sejak masuk kelas 1. Sampai suatu hari, saya temukan di lembar buku tulisnya tak lagi kosong. Ada sebaris kalimat pendek berbunyi: “aku ingin sholeh.” Seperti anak kecil baru dapat permen, saya senang mendapati tulisan itu. Saya sebut “tulisan ajaib”. Sebuah kalimat pendek dengan huruf yang ditulis besar-besar berantakan, khas tulisan anak SD kelas 1.
Esoknya saya temukan tulisan lain di bukunya. Karena penasaran, saya tanya kepada guru kelasnya. “Bu, dua hari belakangan ini, saya lihat buku Zidney sudah tak kosong lagi. Hadiah apa yang ibu berikan, sehingga anak saya mau menulis? Sungguh saya berterima kasih pada ibu.” Sambil tersenyum sabar, ibu guru yang mengenakan seragam orange menjawab, “Tidak ada yang saya hadiahkan, ibu. Saya cuma bilang sama Zidney, nanti kalau tetap tak mau menulis, saya akan panggil ibu Zidney ke sekolah dan saya marahi.” Saya tertegun atas jawaban itu. “Waktu itu Zidney langsung duduk di bangkunya, mengeluarkan buku tulis dan pensil, lalu menulis satu kalimat yang saya perintah. Sepertinya, dia tidak rela ibunya dimarahi” ibu guru menambahkan.
Ada hawa sejuk tiba-tiba menyapa hati, bagai setetes air di padang pasir. Saya begitu damai mendengarnya, dia melakukan ini untuk saya, demi saya. Ya Allah, terima kasih. Saya berjanji menjadi ibu yang lebih sabar untuk kedua buah hati. Berhenti mengeluh, semoga Allah senantiasa mengalirkan kasih-Nya melalui jari-jari ini, untuk melimpahi anak-anak dengan kasih sayang lebih.
Saya tak menuntut mereka punya prestasi bagus di sekolah, hanya berharap selalu bahagia dengan apapun yang dijalani. Raport pertama Zidney di kelas 1 semester 1 mendapat peringkat 27 dari 27 siswa. Sedikitpun saya dan suami tak kecewa atau memarahi, Alhamdulillah prestasinya meningkat sedikit demi sedikit dari tahun ke tahun. Beda dengan Lala, dari kelas 1 sampai sekarang, hasil rapotnya mendapat peringkat 10 besar. Tapi tak sekalipun saya dan suami membandingkan keduanya. Karena bagi kami, tak ada anak yang bodoh, masing-masing punya kecerdasannya sendiri-sendiri. Walau Zidney di kelas tidak terlalu pintar, tapi saya amati pandai menggambar. Motorik kasarnya juga bagus; pandai sepak bola, badminton, dan cepat bisa dalam olah raga, pun lekat menghafal arah jalan. Belakangan ini dia tekun berlatih main rubic cube, dan dalam hitungan hari, sudah ahli dengan rekor tercepat menyelesaikan rubik hanya 23 detik.
Tak terasa peristiwa tulisan ajaib itu terjadi 5 tahun lalu. Kini Zidney kelas 6, sudah banyak perubahan yang dialami. Dia sekarang sedang menjalani hari-harinya untuk persiapan UN. Hampir tiap hari pulang selepas maghrib, karena ikuti bimbingan belajar. Pula berlanjut di rumah, dia minta saya menemaninya belajar matematika, hingga larut malam. Saat inilah kesabaran saya sebagai ibu punya dua karir, di rumah dan di kantor sedang diuji. Bersamaan kantor saya persiapan akreditasi, tentu menyita perhatian banyak, pun harus menyediakan ekstra tenaga serta kelapangan hati menemani Zidney persiapkan UN. Tapi melihat semangatnya, tidak tega menolak permintaannya untuk menemani belajar, walau sudah sangat lelah dan mengantuk. Ternyata ujian sabar itu tidak hanya sampai di sini.
***
Hari itu, 2 April 2013, tiba-tiba suami mengirim pesan lewat facebooknya. Dia dan saya sama-sama sedang di kantor, waktu itu kira-kira pukul 10.00 WIB. Pesan singkat yang benar-benar tak terlupakan seumur hidup, “Ibu, bolehkah bapak menikah lagi tahun depan?” Sebenarnya saya tak perlu kaget, karena ini pernah kami bahas beberapa tahun lalu. Dulu hanya kalimat pengandaian, sekarang benar-benar permintaan nyata. Tetap saja, mendadak seperti ada ribuan bom meledak di kepala. Semua terasa gelap. Dengan sisa-sisa tenaga, saya berusaha terus sadar.
“Secepat itu? Apakah bapak yakin sudah mampu? Yakin bisa berlaku adil lahir-batin?” balas saya setelah menarik nafas sangat dalam. Beberapa menit kemudian muncul notifikasi pesan masuk di inbox facebook saya. “Ya. Insyaalloh tahun depan sudah cukup.” Lagi-lagi saya tarik nafas dalam-dalam, berkali-kali mengucap istighfar. Langsung saya sign out facebook, lalu kirim pesan lewat sms. Saya ingin masalah ini dibahas di rumah. Meminta suami pulang saat itu juga, dia pun menyanggupi.
Perjalanan dari tempat kerja suami ke rumah membutuhkan waktu kira-kira 1 jam, selama itu pula saya berusaha tenangkan hati, menenangkan diri. Saya baca banyak referensi poligami, tata caranya; menjalani sesuai tuntunan syari’at. Poligami memang dibenarkan dalam Islam, tapi tetap saja sebagai istri yang mencintai suami, hati ini terluka. Berbagai pikiran buruk muncul; Apakah suami selama ini menyimpan nama perempuan lain di hatinya? Apakah sudah punya calon? Mengapa secepat ini? Tahun depan? Seperti semuanya terkesan dipaksakan? Walau sejak suami lolos test PNS, bukankah secara materi saya masih bekerja untuk nafkahi keluarga? Bagaimana nanti suami mengatur keuangan dengan tambahnya 1 keluarga yang jadi tanggungannya? Bagaimana mengatur waktu untuk saya, anak-anak, dan istri keduanya? Sungguh saya tak mengerti jalan pikirannya kali itu.
Teringat kembali kebersamaan kami hari-hari lalu. Sudah 14 tahun menikah, bertahan dengan kondisi finansial serba kekurangan, lalu berangsur membaik. Teringat dulu dia bersabar menunggui saya sendirian di Rumah Sakit Bersalin ketika melahirkan anak pertama dan kedua, bagaimana dia rela tidur di kolong ranjang, sewaktu-waktu terbangun jika saya butuhkan sesuatu. Bagaimana dia tanpa keberatan sedikit pun membantu mengerjakan pekerjaan rumah, ngepel, mencuci piring, dan sebagianya. Begitu banyak jejak kebaikannya yang tak bisa saya lupa. Pelan-pelan hati saya luluh. Sungguh sedih, tapi ikhlas. Mungkin ini wujud cinta terbesar saya, kepada suami juga anak-anak.
Pukul 12.00 WIB tepat saya sudah sampai di rumah, kemudian suami datang 30 menit setelahnya. Langsung saya utarakan jawaban sebelum hati berubah.“Saya mengijinkan, menikahlah jika itu yang bapak inginkan” dia menatap lekat-lekat, tapi saya berusaha berpaling, menyembunyikan kelopak mata yang sembab habis menangis. “Sungguh ibu mengijinkan? Ikhlas? Kalau tidak diijinkan tidak apa-apa.” “Insyaallah ikhlas demi anak-anak, demi keutuhan jiwanya.” Sungguh ini demi anak-anak. Saya tak ingin membuat mereka terluka andai saya menyerah, memutuskan berpisah darinya. Di tempat mereka sekolah, SDIT Qurrota A’yun, pelajaran fiqih sudah mereka dapatkan sedari kelas 1. Dengan bimbingan dari ustadz dan ustadzah, saya yakin mereka dengan mudah memahami keputusan saya mengijinkan suami berpoligami. Teringat kembali, dulu Zidney rela menuruti gurunya untuk menulis, demi saya. Sekali lagi butir-butir kristal di hati memecah, tetapi kali ini terasa lebih ringan. Ya Allah, saya ikhlas.
Hari-hari berikutnya, jujur saya tak sanggup menatap wajah suami. Tangis saya selalu saja ingin tumpah jika berhadap muka dengannya. Saya lebih banyak diam jika hanya berdua saja di rumah dengannya. Tapi ketika anak-anak sudah pulang sekolah, berkumpul dengan mereka, terasa membaik kembali. Saya percaya, tidak sehelai pun rambut saya bisa jatuh tanpa ijin-Nya. Saya serahkan sepenuhnya masalah ini kepada Allah.
“Saya tidak jadi poligami,” kata suami tiba-tiba, kala saya baru pulang dari kantor, sedangkan dia sepertinya sudah beberapa saat di rumah. “Benarkah? Apakah ini cuma candaan?” “Benar! Saya akan menemanimu seumur hidupmu, tanpa ada wanita lain. Saya juga tak pernah punya calon. Poligami itu hanya sebagai wacana saja, tapi saya sudah memutuskan untuk tidak berpoligami selamanya.” “Apakah bapak akan minta sesuatu dariku, sebagai ganti permintaan poligami?” “Tidak. Hanya saja, kalau ibu mengijinkan dan anak-anak tidak keberatan, saya ingin liburan nanti bisa naik gunung dengan teman-teman.”
Saya memandang mata laki-laki di hadapan saya itu, apakah ada kesungguhan di sana? Ataukah dusta? Saya memilih berpikir positif, bahwa pernyataannya itu benar adanya. Sekali lagi saya beristighfar, tetapi bukan dengan beban kesedihan seperti hari lalu. Sungguh, Allah tak kan menguji seseorang melebihi kemampuannya. Baru 5 hari saya menyiapkan mental, membunuh semua luka untuk memulai mengikhlaskan akan adanya perempuan lain dalam rumah tangga saya tahun depan. Tapi ternyata Allah berkehendak lain, dan saya bersyukur, karena diberi kesempatan untuk membuktikan komitmen demi keutuhan keluarga ini. Saat kondisi rumah tangga ditempa badai, di sinilah kekuatan perempuan diuji. Sanggupkah kecewa dalam kemarahan, kesedihan, tetap memainkan peran sebaik mungkin sebagai ibu, terus berjuang agar batin anak-anak sehat? Sekali lagi bersyukur, bahwa saya salah satu ibu yang dipilih untuk menjalani peran ini. Dan anak-anak, insipirasi sekaligus kekuatan saya.
Hari itu, sorenya kami sekeluarga menghabiskan senja di teras rumah. Melihat si adik asyik bermain bekel, dan si kakak tak jua melepas konsentrasinya ke kubus rubik yang dimainkan. “Hei lihat, ada pelangi di balik pohon sawo itu!” seru bapaknya menunjuk langit. Sepertinya, gerimis seharian tadi menyisakan pelangi senja. Anak-anak spontan mengikuti telunjuk bapaknya. “Ibu, aku ingin punya baju ungu seperti warna pelangi itu!” kata Lala. “Bajumu kan sudah banyak? Masih saja pengen yang baru lagi. Huuhh!!” kakaknya menimpali.
Saya pandangi kedua buah hati bergantian. Semoga Allah SWT senantiasa mengucurkan kasih sayang seluas samudra untuk ibu sampaikan pada kalian. Kecil atau besar, anak-anak selalu butuh ibunya, untuk jadi matahari dikala langit gelap, dan memberi kehangatan disaat udara di sekitar terasa dingin. Terimakasih anak-anak, tanpamu tak kan tegap langkah ini meniti karir ibu. Saya berencana mengambil cuti 3 hari saat UN Zidney nanti. Karir sebagai ibu, lebih penting daripada akreditasi di kantor saya.
*) Wijaya Hardiati, lahir di Ponorogo, 5 Mei 1976, adalah Wali dari Ananda Zinedine Zidney Arrad-Mizan (siswa kelas 6-Abu Bakar) dan Niswana Salsabila Arrad-Mizan (siswi kelas 5-Abu Bakar). Alamat sekarang di Jl. Sumbawa 2 Ponorogo. Penulis adalah istri dari Mohamad Rotmianto.