Siti Khoeriyah *
Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa. Itulah doa yang senantiasa terlantunkan, dengan harapan anak-anak jadi sholih-sholihah. Tiada orang tua yang ingin anaknya tidak baik, tentu semua berharap anaknya hebat, bisa membanggakan orang tua dan keluarganya. Namun dalam perjalanannya, orang tua tak selalu bisa bersikap baik dalam mengolah sang buah hati hingga menjadikan luar biasa. Sering kita sebagai orang tua lepas kendali dalam menyikapi ‘kenakalan’ anak. Semestinya, ‘kenakalannya’ patut disyukuri, seperti yang ditulis ustadz Miftahul Jinnan dalam bukunya: Alhamdulillah Anakku Nakal.
Kenakalan anak patut disyukuri, sebab menurut beberapa ahli pada buku-buku parenting, nakal identik dengan kreatif, pintar, dan banyak akal. Saya sering kewalahan menghadapi kenakalan anak lelaki, ada sisi positif yang terbayang di benak; ia memang pintar, Alhamdulillah. Yang benar, kita tak boleh memberi label nakal pada mereka. Label yang semestinya diberikan padanya ialah pintar, hebat, dan luar biasa.
Anak itu suci bersih; yang dirasakan, itulah yang dilontarkan. Saya takjub campur bahagia mendengar Mbak Rida, anak sulung saya yang berusia hampir 6 tahun, sedang menenangkan adiknya kala listrik di rumah padam. “Tenang dik, tidak usah takut. Kita takut hanya pada Allah.” Subhanallah, anak seusia itu bisa mengelola perasaannya, dan mampu memotifasi orang lain untuk tidak takut kegelapan.
Anak juga bisa jadi cermin. Cermin dari keyakinan dan perilaku orang tua, atau orang sekitarnya. Ada yang saya khawatirkan muncul dalam perilaku anak, yaitu perilaku saya yang kurang layak, salah satunya tak sabaran. Suatu sore sedang ngambek, karena marah dengan ketiga anak saya, tiba-tiba Dik Yumna, si bungsu berusia 3 tahun, bersandar di dinding dekat kamar mandi sambil mengelus dada berucap: “Ya Allah, paringono sabar ya Allah” Seketika marah saya hilang diganti senyuman, “Alhamdulillah” gumam saya sambil mengingat, seberapa sering saya berkata seperti yang diucapkan Yumna, sampai dia hafal dan bisa menerapkan sesuai keadaan.
Celoteh anak tidaklah statis, mereka perekam ulung, dan kita bisa dibuat kaget mendengar rekamannya. Dik Yumna dengan pamannya yang baru datang dari Surabaya, bawa buah tangan dari Thailand. “Ini nduk ada jajan” kata paman, sambil menunjuk toples permen warna-warni. Dik Yumna menerima toples, lalu melihat isinya. “Ini nggak sehat lho Om” kata Yumna sambil menaruh kembali toples permen tanpa ambil isinya. “Kenapa emangnya?” tanya pamannya. “Kan ada pewarnanya“ seru Yumna mengagetkan, karena mengira jawabannya permen membuat sakit gigi.
***
Anak banyak memberi pelajaran, kalau kita tak gengsi mengakuinya. Pernah saya merasa kasih sayang dan perhatian ini kalah dengan Mas Zidan, anak laki-laki saya yang masih TK. Bagaimana tidak, ketika saya cari sambil memanggil namanya, dia muncul dari arah kandang lalu melapor, ia telah memberi makan dan minum sapi. “Subhanallah, perhatian sekali anak ini” batin saya. Pembantu (khadimat) juga bercerita, pernah Mas Zidan mengingatkan untuk tidak lupa makan. Sedang di beberapa kesempatan, Zidan saya ajak ke acara pengajian, ia tak lupa bawakan makanan untuk adiknya yang ditinggal di rumah.
Banyak hikmah terperoleh dari interaksi dengan anak. Kita mungkin tak berharap anak berbuat sama persis, atas apa yang kita ajarkan. Tapi memberi contoh, tentu dengan kerja nyata, sedikit banyak, anak akan mengadopsinya. Hampir setiap kejadian lalai, Dik Yumna selalu minta maaf, dan mengulurkan tangan sambil menambahkan “nggak sengaja.” Saya dulu bukan termasuk orang yang mudah mengatakan “maaf,” tapi setelah dapat pelajaran dari si kecil, jadi ringan berkata “maaf” bila bersalah.
Anak-anak pun jadi contoh baik beribadah. Dalam berpuasa sunah, si sulung memberi motifasi. Suatu sore, kala puasa sunah Senin Kamis, Rida bercerita kalau tadi di sekolah pengen makan donat, karena melihat ustadzah makan di depannya. Lucu sekali mendengar dia bercerita, sampai saya tak bisa menahan tawa. Tapi melihat dia lemes, lalu saya bilang, kalau ustadzah tak tahu Mbak Rida sedang berpuasa. Jikalau tahu, tentunya tidak makan di depan Mbak Rida.
***
“Ummi, punya uang receh?” tanya Rida di suatu malam jum’at. “Untuk apa?” tanya saya. “Mau tukar” jawabnya sambil perlihatkan uang pecahan Rp 5.000. “Memangnya untuk apa?” tanya saya penasaran, kok tukar, tidak minta saja. “Untuk infaq”. O iya besok kan jum’at, pikir saya sambil mengingat di mana menaruh uang receh tadi sore. “Coba lihat di atas kulkas”, Mbak Rida segera menuju kulkas dan menghitung uang receh yang dimaksud. “Jangan semua diinfaqkan, ya mbak?” pinta saya. “Memangnya kenapa?” tanyanya membuat saya kaget, dan sejenak kebingungan harus menjawab bagaimana. Infaq tak boleh banyak? Atau infaqnya seribu saja, atau… Saya ragu, karena kalau salah memberi jawaban bisa diskak. “Infaqnya berbagi sama adik ya?” Alhamdulillah, akhirnya bisa juga keluar jawaban yang baik. “Dik Yumna kasih seribu, ya” lanjut saya lega. Terus terang saya malu kalau ketahuan memilih sedikit berinfaq, dengan alasan uang memang tidak banyak. Astaghfirullah…
Anak juga mengajari bersabar menghadapi sakit, menggunakan obat herbal sebelum ke medis. Seperti yang terjadi pada anak sulung saya kala demam di malam hari. Dia tak mau diberi obat penurun panas, meski panasnya meninggi. “Ayolah nduk, minum obat ya?” bujuk saya cemas. Tapi tetap tak mau, dibawa ke puskesmas juga tidak mau, hingga mengingau nyaris kejang. Saat itu yang saya lakukan hanya mengompresnya dan memohon kepada-Nya agar diberi kesembuhan. Tegang, cemas, khawatir dan bingung mesti bagaimana. Di saat-saat menegangkan, tiba-tiba Mbak Rida minta dibuatkan kunyit dan madu saja. Segera saya ke dapur membuatkan jamu kunyit, madu dan jeruk nipis. Beberapa sendok jamu kunyit saya berikan, tak lupa parutan bawang merah dioleskan di sekujur badannya. Selang satu jam kala terbangun, saya periksa suhu tubuhnya Alhamdulillah menurun. Keesokan harinya sudah sehat seperti sedia kala.
Kejadian demikian berulang 2 tahun berikutnya. Sekitar jam 10.00 saya ditelfon guru kelasnya, diminta jemput Rida karena panas. Setelah menyelesaikan tugas saya di sekolah, segera meluncur ke SDIT sambil beruraian air mata, khawatir kondisi sang buah hati. Kala saya ajak ke Rumah Sakit, dia menolak, akhirnya kami pulang. Setelah banyak minum air putih, makan bubur halus, dan tidur sekitar satu jam, tiada perubahan, bahkan suhu tubuhnya meninggi. Diberi obat atau diajak ke puskesmas tak mau, justru minta dibuatkan kunyit dan madu.
Kenapa saya berpikir harus minum obat kimia, agar cepat sembuh, karena besok melakukan perjalanan jauh? Obat herbal kan reaksinya lambat? Ya Allah, mengapa saya egois? Hanya karena ingin bertemu ibu dan keluarga besar di acara pernikahan bulek, memaksa anak sedang sakit untuk cepat sembuh? Sakit ialah kehendak-Nya dan menyembuhkan pun hak-Nya. “Maafkan ummimu ya nduk,” batin saya perih. Alhamdulillah, keesokan harinya kami tetap bisa bepergian, dengan selalu melantunkan doa, Allaahumma ‘aafinii fii badanii Allaahumma ‘aafinii fii sam’ii Allaahumma ‘aafinii fii basharii.
***
Kadang pertanyaan anak membuat kita yang tadinya meneteskan air mata, tiba-tiba tersenyum. Di awal kepergian suami, saya sering menangis sendiri di kamar. Bagaimana tidak, suami meninggal di usia muda, 39 tahun. Anak-anak masih balita. Masih saja saya merasa bersalah karena belum sempat minta maaf atas kesalahan selama bersama suami. Suami koma di hari ke lima opname, sehari sebelum meninggal. Dan saya tiada di sisinya, pulang untuk menidurkan anak-anak.
“Ummi ingat abi, to?” tanya salah satu mutiara saya ketika melihat air mata di wajah umminya. Apakah anak-anak merasakan kesedihan yang saya rasa? Batin ini berbisik. Demi melihat ketiga buah hati, hilanglah duka di hati; riang, ceria, dan tegar. Ya, saya harus tegar, sabar! tekat saya. Sungguh banyak hikmah dari tingkah anak-anak. Mereka dapat jadi guru, sebab darinya bisa belajar tanpa harus buka buku.
*) Siti Khoeriyah, S.Pd, lahir di Bogor, 25 Agustus 1976, adalah Wali dari Ananda Farida Muthi’ah Fathin (kelas 3-Utsman), Syauqi Ahmad Zaidan, dan Sausan Aqila Yumna. Alamat sekarang di Jenangan Ponorogo. Penulis adalah istri dari Miftahul Muhtadin (almarhum).